Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Keluarga Pasien Minta Pelayanan Ditingkatkan

Melihat Reaksi Masyarakat Terhadap Kenaikan Iuran BPJS

Kamis, 17 Maret 2016, 09:51 WIB
Keluarga Pasien Minta Pelayanan Ditingkatkan
foto:net
rmol news logo Masyarakat ada yang setuju dan tidak setuju iuran Badan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinaikkan.

Bersama ibunya, Putra menunggu di depan loket Instalasi Farmasi yang terletak di lantai 1 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Peserta BPJS Kesehatan Kelas I itu duduk di deretan kursi besi tepat di depan loket, di uru­tan paling belakang.

Sudah dua jam lebih warga Cilandak ini menunggu namanya dipanggil, guna mendapatkan obat untuk ibunya, Widyawati yang terkena stroke. "Sudah dari jam 1 siang saya dan ibu saya nunggu ambil obat, tapi belum dipanggil. Padahal, pendaftaran sudah selesai jam 12 siang. Saya tiba di sini jam 11," ujarnya.

Di sekitar ibu dan anak terse­but, hanya ada 10 orang lain yang juga menunggu giliran untuk mengambil obat. Mereka duduk tersebar di deretan kursi yang berada di depan loket Pendaftaran Peserta BPJS dan Pengajuan Resep, yang ada di sebelah kanan dan kiri loket Instalasi Farmasi.

Mereka terlihat berupaya me­nyibukkan diri guna mengha­biskan waktu, dengan cara me­mainkan telepon genggamnya atau berbicara dengan keluarga yang datang bersamanya.

Beberapa warga yang tidak sabar menunggu, maju ke loket Instalasi Farmasi secara bergantian, meski namanya belum dipanggil. Mereka meminta kepastian, kapan obatnya bisa dida­pat. Dengan bantuan tongkatnya, Widyawati dua kali maju ke loket untuk menanyakan hal serupa. Namun, dia harus kembali ke tempat duduknya dengan kecewa, karena obatnya belum siap.

Menurut Putra, pakai BPJS memang lama. "Ini sebetulnya bisa dibilang masih untung, karena sepi. Coba bandingkan dengandi Fatmawati atau RSCM. Datang siang, dapat obatnya bisa besok. Saudara saya pernah di Fatmawati daftar jam 8 pagi, da­pat obat jam 4 sore," ceritanya.

Putra mempertanyakan, berdasarkan pengalamannya, apakah pelayanan bagi peserta BPJS dibedakan dengan pasien umum atau peserta asuransi swasta. Perbedaan pelayanan itu, kata dia, terasa sejak pendaftaran hingga saat dirawat.

"Contoh saudara saya ada yang pakai asuransi lain. Dia kalau nebus obat tak seperti ini. Paling lama sejam menunggu. Pas dirawat, dokter atau pera­watnya ramah," kata dia.

Lantaran itu, cerita Putra, saudaranya jadi tidak mau pakai BPJS. "Dia lebih suka pakai asuransi lain, meski preminya lebih mahal," tandasnya.

Kendati begitu, Putra setuju kenaikan premi BPJS. Dia mera­sa tidak keberatan, apabila premi untuk keluarganya naik dari Rp 59.500 menjadi Rp 80.000 per kepala. Asalkan, pelayanan yang diberikan kepada peserta BPJS juga dinaikkan. Meski ter­masuk kategori Kelas I, ia hanya meminta pelayanan selayaknya pasien umum.

"Saya tak muluk-muluk. Yang penting kalau antre tidak lama, tidak dioper-oper pas daftar. Kalau butuh dirawat, dapat kamarnya tidak sulit. Selayaknya pasien umum. Kalau itu dilakukan, Rp 100 ribu per bulan per kepala juga saya bersedia. Tapi kalau pelayanannya masih gini-gini saja, ya jangan dinaikkan," tegasnya.

Hal senda disampaikan Issa Almawadi, warga Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Pria yang pekerjaannya berwiras­wasta ini, tidak mempersoalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, asalkan diimbangi perbaikan pe­layanan yang tidak merepotkan.Misalnya menghilangkan proses rujukan dari faskes pertama.

"Pemerintah bikin aturan baru lah, rumah sakit wajib menerima pasien BPJS Kesehatan tanpa rujukan. Jadi, kenaikan iuran bukan sekadar menaikkan tanpa ada yang dirasakan lebih oleh warga," ucapnya.

Dalam sebulan, Issa harus membayar iuran BPJS Kesehatan kelas I sebesar Rp 238 ribu untuk empat anggota keluarganya. Jika iurannya menjadi naik sebesar Rp 80 ribu per orang, maka ia perlu merogoh koceknya lebih dalam, menjadi Rp 320 ribu per bulan. "Terasa juga naiknya. Tapi intinya boleh naik asalkan di rumah sakit tak ribet saat harus menggunakan kartu BPJS Kesehatan," ucapnya.

Dia pun meminta kepada pemerintah untuk memperbaikisistem ketika peserta BPJS Kesehatan berobat di rumah sakit. Pasalnya, peserta BPJS Kesehatan ketika ingin berobat di rumah sakit, seperti dinomorduakan, dibanding pasien yang memiliki asuransi swasta atau membayar secara pribadi.

"Kalau untuk pengguna BPJS, pihak rumah sakit sering menyampaikan bahwa ruan­gan rawat inap sudah penuh. Antreannya juga dibedakan dan panjang. Makanya saya punya BPJS Kesehatan dan asuransi swasta. Kalau sakit, saya guna­kan asuransi swasta," tuturnya.

Pernyataan agak berbeda diu­capkan oleh Sulistyono, warga Cilandak, Jakarta Selatan. Dia mengaku keberatan dengan kenaikan itu. Apalagi dengan tanggungan yang harus menjadi bebannya. Selama ini, sebagai karyawan swasta, Sulis harus me­nanggung dua orangtua dan istri.

"Ikut yang mandiri dan harus menyertakan semua anggota KK. Sebulan selama ini harus mem­bayar Rp 102 ribu untuk empat orang, berat juga," ucapnya.

Selama menjadi peserta BPJS, Sulis merasakan pelayanan yang masih belum maksimal. Pengalaman yang pernah dijalani selama mengobatkan orangtua, kerap mendapatkan pelayanan yang tidak memuaskan.

"Pelayanannya masih belum baik, pengambilan obatnya juga antre berjam-jam," curhatnya.

Namun demikian, dia men­gakui, BPJS Kesehatan sangat diperlukan untuk berjaga-jaga ketika anggota keluarga sakit. Karena itu, Sulis meminta pe­layanannya diperbaiki. "Mau bagaimana lagi kalau memang dinaikkan. Tetapi segera diikuti pelayanan yang baik. Kalau tidak, kasihan masyarakat yang ekonominya seperti saya," tegasnya.

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan peserta mandiri mulai 1 April 2016, tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itu sendiri diundang-undangkan pada 1 Maret lalu.

Dengan terbitnya perpres itu, besaran iuran kelas I yang se­mula Rp 59.500 menjadi Rp 80 ribu. Iuran kelas II yang semula Rp 42.500 naik menjadi Rp 51 ribu. Sedangkan iuran kelas III yang semula Rp 25.500 menjadi Rp 30 ribu. Sementara iuran jaminan kesehatan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) naik dari Rp 19.225 per orang per bulan, menjadi Rp 23.000 per orang per bulan mulai 1 Januari 2016.

Latar Belakang
Iuran Jaminan Kesehatan Naik 1 April


Pemerintah mulai 1 April 2016 resmi menaikkan iuran jaminan kesehatan. Kenaikan iuran ini, berlaku bagi peserta penerima bantuan iuran (PBI), peserta non PBI dari golonganpeserta bukan penerima upah (PBPU), dan peserta bukan pekerja.

Kenaikan iuran jaminan kesehatan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 tahun 2016, tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, yang berlaku sejak diundangkan, yakni 1 Maret 2016.

Dalam beleid itu, pemerin­tah menaikkan iuran jaminan kesehatan bagi peserta PBI dari Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan mulai 1 Januari 2016.

Sedangkan iuran jaminan kesehatan bagi peserta bukan penerima upah untuk kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 30.000 per orang per bulan, kelas II naik dari Rp 42.500 per orang per bulan menjadi Rp 51.000 per orang per bulan, dan kelas I naik dari Rp 59.500 per orang per bulan menjadi Rp 80.000 per orang per bulan.

Direktur Hukum, Komunikasi, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi menjelaskan perubahan iuran BPJS Kesehatan tersebut da­lam jumpa pers di RS Kanker Dharmais.

Menurut dia, iuran Jaminan Kesehatan peserta PBI serta penduduk yang didaftarkan pemerintah daerah, sebesar Rp 23.000 per orang per bulan. Sebelumnya, iuran untuk PBI sebesar Rp 19.225 per orang per bulan.

Sementara itu, iuran jaminan kesehatan bagi peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) yang terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI dan Polri, pejabat negara, pimpinan dan anggota DPRD, pegawai pemerintah non PNS sebesar 5 persen dari gaji atau upah per bulan.

"Iuran ini dibayarkan dengan ketentuan 3 persen dibayar pemberi kerja, 2 persen dibayar peserta. Adapun untuk proporsi iuran untuk peserta PPU Badan Usaha Swasta tetap sama dengan sebelumnya, yakni 4 persen diba­yarkan pemberi kerja, 1 persen dibayar peserta," ujarnya.

Bayu menyatakan, penyesua­ian iuran BPJS Kesehatan dilaku­kan guna menjaga keberlanjutan program. "Penyesuaian iuran yang tertuang dalam Perpres tersebut sudah merupakan per­hitungan aktuaris oleh para ahli, termasuk rekomendasi dari DJSN," kata dia.

Bayu menjelaskan, hal ini ses­uai Peraturan Pemerintah bahwa ada setidaknya tiga langkah yang dapat diambil untuk men­jaga keberlangsungan program. Langkah tersebut antara lain mengurangi manfaat, penyesua­ian iuran, dan mengalokasikan dana tambahan dari APBN.

"Adapun untuk opsi mengu­rangi manfaat tidak dilakukan pemeringah karena manfaat yang sudah ada, misalnya cuci darah, tidak mungkin dan sangat tidak manusiawi bila dihilangkan atau dikurangi. Sementara itu, untuk opsi penyesuaian iuran, idealnya harus menyesuaikan dengan hitungan aktuaria," jelasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA