Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Kisah Petugas Palang Pintu Pelintasan KA Yang Tak Libur Saat Lebaran

Hilangkan Kesepian, Makan Ketupat Sayur Di Pos Jaga

Senin, 20 Agustus 2012, 09:17 WIB
Kisah Petugas Palang Pintu Pelintasan KA Yang Tak Libur Saat Lebaran
ilustrasi

rmol news logo Tiga puluh tahun bertugas menjaga palang pintu lintasan kereta api, Satiman jarang sekali bisa libur pada hari raya Idul Fitri. Hari ini pun dia kebagian giliran masuk.  Rasa kesepian dan sedih tidak bisa berkumpul sering dirasakannya.

Setiap hari lelaki berusia 53 tahun ini berangkat kerja dari rumahnya pukul 06.00 WIB. Satiman tinggal di daerah pe­mukiman padat di Utan Kayu, Ja­karta Timur.

Dia bertugas di pos 40 di Jalan  Pramuka Raya, Jakarta Pusat. Satiman wajib tiba di tempatnya bertugas sebelum pukul 07.00 WIB. Karena itu walaupun antara rumahnya dengan pos jaga tidak terlalu jauh, dia tetap berangkat sedini mungkin.

Saat ditemui, Satiman me­ngenakan seragam khas pen­jaga palang pintu pelintasan ke­reta api, kemeja berwarna biro te­lor asin dipadu celana bahan ber­­warna hitam.

Tempat kerja Satiman hanya bangunan kecil. Ukuran dan bentuknya tidak berbeda dengan pos keamanan kebanyakan. Po­sisinya persis di pinggir rel kereta pada jalur yang menuju ke arah Salemba, Jakarta Pusat.

Satiman sudah mengabdi men­jadi petugas penjaga palang pintu kereta api sejak tahun 1982. Selama itu dia hanya beberapa kali saja pernah mendapatkan libur pada hari pertama Lebaran.

“Bisa dikatakan saya lebih banyak masuknya ketimbang liburnya mas. Tetapi biarlah semua ini amanah dari yang maha kuasa, “ kata Satiman saat ber­bincang dengan Rakyat Merdeka.

Satiman menuturkan, sebagai manusia biasa dia sering merasa sedih tidak bisa berkumpul de­ngan keluarga pada hari raya pertama Idul Fitri. Namun karena menjaga pintu pelintasan amanah yang harus dijalankan, Satiman selalu berupaya keras menepis kesedihan tersebut. Satiman se­lalu berupaya  memberikan se­mangat kepada diri sendiri bahwa pekerjaan yang dilakukan untuk kebaikan semua orang, terutama pengguna jalan. Dia pun selalu bersyukur masih diberikan pe­kerjaan oleh yang maha kuasa.

Bagaimana dengan keluarga? lelaki yang memiliki tiga anak ini menjawab keluarga tentu sedih melihat dirinya. Anak-anaknya saat masih kecil sering protes terhadapnya. Mereka iri dengan teman-temannya yang orang tuanya bisa berkumpul pada saat hari raya Idul Fitri. Mereka juga ingin bisa jalan-jalan bersama keluarga.

Tapi protes itu menurutnya berangsur-angsur berkurang se­iring anak-anak tumbuh de­wasa. Me­reka memahami bahwa apa yang dilakukannya untuk ke­pen­tingan kepentingan masyarakat.

Selain itu, anak-anak me­ma­haminya karena dia tidak letih menjelaskan bahwa pekerjaan yang dilakukannya pekerjaan mulia. Meskipun gaji kecil na­mun manfaatnya luar biasa untuk masyarakat. Kalau tidak ada yang mau bertugas menjaga palang pelintasan maka kondisi bisa kacau. Apalagi pada saat Le­baran, lalu lintas kereta api cukup tinggi.”Saya bersyukur dengan penjelasan tersebut anak-anaknya memahaminya. Meskipun saya tahu penjelasan itu tidak bisa se­penuhnya mengobati keke­ce­wa­an mereka,” katanya.

Terkait tunjangan lembur, Sa­timan mengatakan, ada tam­bahan yang diterimanya. Tapi ja­ngan membayangkan tunjangan terse­but sama dengan karyawan kan­to­ran. Di hanya mendapatkan uang bonus lembur sama seperti saat bekerja pada hari besar lainnya.

“Kalau masuk pada hari besar atau tanggal merah, itu dihitung lembur, bayarannya dua kali lipat dibanding lembur biasa. Lembur hari biasa bayarannya Rp 10 ribu per jamnya. Jadi kalau lebaran, berarti Rp 20 ribu per jamnya,” bebernya.

Satiman mengaku punya trik sendiri untuk mengurangi kese­dihan dan kesepian pada hari raya Idul Fitri. Dia biasa membawa bekal makanan khas hari Le­ba­ran, ketupat sayur ke tempat ker­janya. Dengan makan ketupat dia merasa tetap ikut merayakan hari raya Idul Fitri.

Hanya beda tempatnya saja. Biasanya, dia membawa ketupat lengkap de­ngan sayur papaya muda dan opor ayam. “Jadi, biar tidak le­baran yang penting masih bisa menikmati makanannya,” kata­nya sambil tertawa.

Kesigapan Satiman di dalam menjaga palang pintu kereta api cukup bagus. Itu terlihat ketika sedang berbincang dengannya, Satiman bergegas membunyikan sirine pelintasan kereta api saat mendengarkan sinyal dari suara alarm petanda kereta api mau melintas di pos jaganya. Sirene yang dibunyikannya untuk meng­ingatkan para pengguna jalan agar berhati-hati dan berhenti karena kereta api mau melintas.

Selain menyalahkan sirine, di saat bersamaan dia menekan tombol Gate yang berfungsi untuk menurunkan pintu secara otomatis.Alarm sinyal pembe­ritahuan kereta api berada me­nempel pada dinding ruangan sebelah kanan di pos Satiman bertugas. Ukuran alat itu sekitar 30 cm x 30 cm. Tak hanya ber­bunyi, di alarm itu terdapat sinyal lampu yang ikut berkedip bila alarm berbunyi.

Selain memantau dari sirine, mata Satiman selama bertugas terlihat tidak bisa diam. Matanya bergerak ke kiri dan ke kanan memantau kereta api.

Tidak hanya mengandalkan teknologi, untuk memastikan ke­reta api melintas sekaligus men­jaga keselamatan para pengguna jalan, Satiman tidak letih-letih meniupkan pluit sambil tangan­nya mengatur ken­daraan lalu lintas yang banyak yang tidak tertib.

Satiman menginbau ma­sya­rakat agar tertib melintasi kereta api. Dia sedih melihat banyaknya pengguna jalan yang tidak tertib. Karena ketidakdisiplinan bisa berakibat fatal. “Saya sering me­nyak­sikan ma­sih banyak orang yang tetap nekat melintas walau­pun pintu sudah ditutup, itu sangat berbahaya,” tu­tup Sa­timan.

Ini Kisah Pahit Satiman Dan Hendra Saat Lebaran

Kesedihan Satiman menjaga palang pintu pelintasan kereta api pada hari raya Idul Fitri, tidak hanya karena tidak bisa ber­kumpul dengan keluarga. Namun juga, dia sering dimaki-maki pengguna jalan yang emosional.

Menurutnya banyak peng­guna jalan memaki-makinya, marah karena palang pintu lintas kereta api sering ditutup.

“Mereka mungkin anggap saya sengaja memain-mainkan palang pintu secara berlama-lama jadi­nya marah kepada saya,” katanya.

Dia menerangkan, palang pintu sering ditutup karena pada saat Lebaran lalu lintas kereta api padat. Karena jalur pe­lintasan yang dijaganya dilalui kereta api antar kota. Melayani pemudik.

Dia berharap masyarakat bisa memahaminya. Karena jika pa­lang pintu tidak ditutup bisa berakibat fatal.

Satiman menceritakan pernah menegur pengguna jalan yang nekat ingin menerobos jalan. Tapi sayang orang tersebut bukannya mengucapkan terima kasih malah memaki-makinya.

Satiman menuturkan, menjadi petugas palang pintu kereta api harus tebal kuping. Jika tidak bisa stres di maki-maki orang. Dia punya prinsip tidak mau mem­perdulikan celotehan dan maki-maki para pengguna jalan. Dia yakin apa yang dilakukannya bertujuan baik yakni untuk  menjaga keselamatan para peng­guna jalan dan kelancaran lalu lintas kereta api.

Selain Satiman, Hendro juga punya cerita menyedihkan. Kata­nya, dia merasa sedih ketika me­lihat orang me­makai baru baru pada hari per­tama Idul Fitri. Dia ingin sekali berpenampilan rapih, merayakan hari raya Lebaran se­telah sebulan berpuasa.

“Mana bisa saya pakai baju bagus. “Namanya penjaga ma­kam, urusannya sama tanah dan rumput,” katanya.

Dia juga merasa sedih tidak bisa mudik ke kampung halaman seperti orang kebanyakan. [HARIAN RAKYAT MERDEKA]


Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA