Kerasnya kontestasi ternyata hanya terjadi di tingkat elite dan di dunia maya. Sementara rakyat sang pemilik kuasa sejati dalam sistem demokrasi, tetap berfikir rasional dan dewasa.
Atau barangkali kerasnya perdebatan di tingkat elite dan di media sosial perlu dilihat dengan kaca mata positif, yakni sebagai bentuk tanggung jawab dan keseriusan tim sukses dan para pendukung masing-masing kandidat dalam memperjuangkan visi, misi, dan program kerja yang mereka yakini.
Dilihat dari perspektif ini maka baik kubu 01 maupun kubu 02 layak mendapatkan apresiasi.
Kini masa kampanye sudah usai, dan rakyat telah menentukan pilihannya yang harus kita hormati. Yang menang tidak perlu menepuk dada, dan yang belum menang masih terbuka kesempatan lima tahun mendatang. Inilah indahnya demokrasi.
Dengan kata lain, usainya proses pencoblosan tanpa adanya insiden yang berarti, perlu disyukuri dan perlu dirayakan sebagai kemenangan rakyat Indonesia secara keseluruhan. "Biduk berlalu kiambang bertaut", demikianlah kata-kata bijak yang sangat relevan untuk dijadikan pedoman.
Kini waktunya rakyat untuk kembali kepada tugasnya masing, sebagai bentuk tanggungjawab personal maupun sosial, sekaligus sebagai sarana untuk mengabdi pada nusa dan bangsa.
Sementara pemenang, baik di eksekutif maupun legislatif, kini saatnya menunaikan janji-janjinya saat kampanye.
Rakyat telah menunaikan tugasnya, memberikan mandat kepada baik capres dan cawapres, maupun para caleg di semua tingkatan. Kini saatnya mereka yang menerima amanah untuk menunaikannya secara sungguh dan penuh tanggungjawab amanah yang dipikulkan di pundaknya.
Bagi ilmuwan politik, sejumlah fenomena yang terjadi, menyisakan sejumlah pesan yang perlu dicermati. Sehingga dapat menjadi pelajaran yang dapat diberikan kepada berbagai pihak yang memerlukannya.
Untuk Pileg, masalahnya lebih sederhana. Diperkirakan hanya ada delapan atau maksimal sembilan partai yang akan lolos ke Senayan, karena memperoleh suara di tingkat nasional lebih besar dari ambang batas sebesar 4 persen, dengan rincian sebagai berikut: PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, PKS, Demokrat, NasDem, PAN, dan PPP.
Bagaimana urutannya akan ditentukan oleh bagaimana distribusi atau konsentrasi suara di tiap daerah pemilihan, yang akan menentukan jumlah kursi yang akan diperoleh masing-masing partai politik.
Selanjutnya urutan perolehan kursi, akan menentukan komposisi pimpinan DPR.
Selain itu, bagaimana pola koalisi di DPR maupun MPR akan sangat dipengaruhi oleh kalkulasi para petinggi partai masing-masing, baik terkait tugasnya mengawal pemerintah lima tahun kedepan, maupun terkait strategi menyongsong pemilu berikutnya.
Setiap partai sadar betul bahwa eksistensi dirinya ditentukan oleh hajatan pemilu yang berlangsung lima tahun sekali.
Untuk Pilpres, jauh lebih menarik sebagai bahan analisa. Berangkat dari peta pengelompokkan ideologis, maka masyarakat Indonesia sebagaimana juga terjadi di negara dengan berpenduduk mayoritas muslim pada umumnya, dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu "nasionalis religius" dan "nasionalis sekuler".
Menariknya, bila di banyak negara muslim cenderung terjadi pengelompokkan secara absolut diantara keduanya. Akan tetapi di Indonesia ternyata berbeda, dan sejak Reformasi tahun 1998. Pola seperti ini berulang secara konsisten.
Pasangan 01 dan pasangan 02, bukanlah mewakili kelompok "nasionalis sekuler" dan "nasionalis religius". Akan tetapi, kedua pasangan terbentuk atau dibentuk oleh gabungan atau koalisi diantara dua kelompok ideologis di atas. Di sinilah barangkali rahasianya, mengapa Pemilu berjalan aman dan damai. Karena adanya faktor peredem alami yang kurang mendapatkan perhatian memadai.
Dalam merumuskan strategi dan taktik untuk memenangkan kontestasi, kedua tim sukses ternyata juga memiliki cara pandang relatif sama, yakni pemilih muslim yang secara statistik sangat besar menjadi kunci kemenangan. Karena itu muncul adu strategi maupun tektik serta program kerja untuk memperebutkannya.
Strategi dan taktik seperti ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya fenomena yang dikenal dengan istilah populisme, yakni meningkatnya sentimen primordial baik terkait agama, suku, maupun ras yang dipicu dan dipacu oleh masifnya penggunaan media sosial.
Fenomena populisme seperti ini ternyata tidak khas terjadi di Indonesia, akan tetapi terjadi di banyak negara, termasuk AS, Israel, maupun India.
Dalam Pemilu, ternyata sentimen ini memiliki pengaruh sangat besar dalam menentukan pilihan bagi mayoritas pemilik suara.
Akibatnya suara Islam yang menjadi rebutan terbelah. Parta-partai yang mengusung 01 dan tim suksesnya sadar betul akan kekeliruan yang dilakukannya saat Pilkada di Jakarta.
Mereka kemudian mengubah strategi; mulai dari gambar yang dipilih sehingga tampil dengan wajah santri, memanfaatkan minggu tenang atau hari tenang untuk umroh, frekuensi kunjungan yang cukup tinggi ke pondok pesantren dan basis-basis pemilih muslim, sampai pada pilihan figur kandidat serta narasi kampanye yang digunakan.
Merujuk pada hasil perhitungan cepat atau quick count sejumlah lembaga yang layak dipercaya; apabila dirata-rata, kemudian dilakukan pembulatan, maka pasangan 01 memperoleh suara 54 persen, sementara pasangan 02 memperoleh 46 persen.
Berarti selisihnya hanya 8 persen saja. Karena hanya ada dua pasangan, maka sejatinya yang menentukan kemenangan hanya 4 persen dari pemilih. Bila 4 persen ke kanan, maka yang di kanan akan unggul 8 persen. Begitu sebaliknya bila 4 persen ke kiri, maka yang di kiri akan unggul 8 persen. Jadi selisih suara yang menentukan kemenangan relatif tipis.
Data-data di atas membuktikan bahwa strategi yang dipilih oleh tim pasangan 01 memiliki pengaruh signifikan terhadap perolehan suara. Hal ini dikonfirmasi oleh perolehan suara pasangan 01 di wilayah ibukota Jakarta meningkat, bila dibanding dengan perolehan suara pasangan Ahok-Djarot saat Pilkada.
Sementara tim pasangan 02 menggunakan strategi yang sama, dengan harapan akan mengulang kemenangan di Pilkada DKI ke tingkat nasional.
Di luar siapa yang akan muncul sebagai pemenang dalam perhitungan resmi KPU, ada hal yang lebih penting yang perlu dicatat. Ternyata Pemilu 2019 mengukuhkan kembali, bahwa Indonesia sudah sangat matang dan dewasa dalam menjalankan demokrasi.
Semua ini tentu menjadi modal besar bagi kita untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan negara lain, baik di tingkat regional maupun global.
Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: