Di sisi lain, kejadian ini memperkuat kecurigaan bahwa Pakistan semakin menjadi subordinasi dari kepentingan Tiongkok.
Bulan Juli tahun lalu, KPT mengumumkan pekerjaan pengerukan saluran navigasi. Tender pekerjaan itu diikuti oleh empat penawar internasional yakni Jan de Nul dari Belgia, NMDC dari UEA, Van Oord dari Belanda, dan China Harbour Engineering Company (CHEC) dari Tiongkok.
Tidak seperti tiga perusahaan lainnya, yakni Jan de Nul, NMDC, dan Van Oord, proposal penawaran dari CHEC dinilai tidak sesuai dengan spesifikasi teknis yang diminta. Karena itu akhirnya CHEC didiskualifikasi dalam proses tender.
Namun, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba penawaran CHEC diterima dan dinyatakan sebagai sebagai pemenang.
Otoritas Pengatur Pengadaan Publik (PPRA) telah memeriksa kasus ini dan meminta KPT menerbitkan laporan evaluasi teknis yang lengkap untuk mendukung keputusan mereka menggandeng CHEC. Namun sampai saat ini, KPT belum memenuhi kewajiban itu.
Menurut KPT, setelah melakukan “konsultasi” dengan CHEC, mereka harus menahan laporan itu.
Menanggapi kejadian ini, pengamat kebijakan Mukarram Ghazi dalam artikelnya di Islam Khabar, mengatakan, kejadian ini adalah tren favoritisme yang lebih luas dan lebih mengkhawatirkan dalam pembangunan infrastruktur Pakistan. Favoritisme ini terjadi secara sistematis dan ditujukan kepada perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan mengorbankan kompetensi teknis dan kepentingan nasional.
“Pengerukan pelabuhan bukan sekadar tugas pemeliharaan rutin, tetapi penting untuk memastikan bahwa kapal-kapal besar dapat mengakses salah satu gerbang maritim utama Pakistan dengan aman. Mengorbankan standar teknis demi penghematan keuangan jangka pendek bukan hanya picik, tapi berpotensi berbahaya,” tulis Mukarram Ghazi.
Kesediaan KPT yang jelas untuk mengabaikan kekurangan teknis dan membengkokkan aturan pengadaan menunjukkan bagaimana lembaga-lembaga Pakistan semakin rentan terhadap tekanan yang menguntungkan perusahaan-perusahaan Tiongkok, terlepas dari keunggulan teknis mereka.
Praktik ini tidak hanya merusak persaingan yang adil tetapi juga melanggengkan siklus ketergantungan pada solusi di bawah standar yang pada akhirnya merugikan negara dalam jangka panjang.
Klaim KPT bahwa masalah ini “masih diproses” tidak berdasar mengingat adanya upaya yang terdokumentasi untuk memanipulasi proses pengadaan. Komunikasi otoritas dengan PPRA mengungkap kurangnya transparansi dan akuntabilitas yang mengganggu, dengan pembenaran mereka untuk menahan laporan evaluasi teknis yang sangat bermasalah.
“Argumen mereka bahwa pengungkapan publik akan mengungkapkan informasi persaingan yang sensitif bertentangan langsung dengan prinsip dasar transparansi pengadaan publik,” katanya lagi.
BERITA TERKAIT: