Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Etika Politik Dalam Al-Qur'an (62)

Hukum Hijrah Ke Negeri Non-Muslim

Sabtu, 06 April 2019, 08:37 WIB
Hukum Hijrah Ke Negeri Non-Muslim
Nasaruddin Umar/Net
DUNIA semakin menggelobal. Mobilitas dan migra­si masyarakat semakin tak terbendung. Pertanyaan yang sering muncul dari kalangan muslim, bolehkah orang-orang Islam bermi­grasi atau hijrah ke negara-negara non-muslim? Sep­erti yang diuraikan di dalam artikel terdahulu, kehidupan orang-orang Is­lam di negara-negara non-muslim menemui banyak problem fikih, seperti sulitnya melak­sanakan shalat Jum’at, pengajian, dan akses pendidikan agama untuk anak-anak. Be­lum lagi perlakuan yang tidak kondusif untuk bermu'amalah karena sistem perekonomian di sana tidak dirancang secara syari'ah, sep­erti negeri asalnya. Belum lagi ksulitan untuk mengawinkan anak perempuan yang tidak punya wali nasab. Kalau di dalam Negara Is­lam tidak diragukan lagi pasti ada otoritas ulil amr yang akan berfunsi sebagai wali hakim. Masalahnya di sana ulil amr dalam arti fikih konvensional di sana tidak ada. Wali hakim dan saksi perkawinan dalam ilmu Fikih harus laki-laki dan muslim.

Di dalam Islam, tidak ada larangan te­gas bagi seorang muslim untuk bermigrasi ke negara-negara non-muslim. Yang penting ada jaminan bagi seorang muslim bisa menjalankan ajaran Islam di sana. Masalah muncul jika di sana akan mereduksi keya­kinan hidup keislaman umat Islam di sana. Dasarnya ialah Rirman Allah Swt: Hai ham­ba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja. (Q.S. al-'Ankabut/29:56). Nabi juga pernah memberikan respons terhadap umatnya di Mekkah yang mengalami tekanan dari kaum Kafir-Quraish dengan mengatakan: "Ses­ungguhnya di negeri Habasyah ada seorang raja yang samasekali tidak akan mendhalimi seorang pun, datanglah ke negeri itu sampai Allah Swt memberikan jalan keluar dari apa yang kalian alami". (HR. Al-Baihaqi).

Dalam Tafsir Al-Qurthubi dan Tafsir Ibn Kat­sir mengomentari ayat di atas dengan boleh­nya bermigrasi negeri non-muslim. Namun jika negara tempat tujuannya negara non-muslim tidak ada jaminan keamanan, maka Ibn Hazm memberi komentar di dalam kitabnya, Al-Mu­halla bi al-Atsar, jilid 12, h. 125, seorang mus­lim boleh bermigrasi ke negeri non-muslim jika di dalam negerinya mendapati ancaman, baik dari tekanan pemerintah atau pun tekanan kri­sis ekonomi yang mengancam hidup mereka. Kebolehan ini dengan catatan sepanjang neg­eri non-muslim tempat tujuan migrasi itu ada jaminan keselamatan, keamanan, termasuk jaminan menjalankan kehidupan menjalank­an ajaran agamanya di sana maka hukumnya boleh. Akan tetapi jika di sana malah akan men­imbulkan kemudharatan, baik secara personal maupun akidah dan kepercayaan, apalagi ia akan dimanfaatkan untuk membongkar rahasia negerinya sendiri, maka hukumnya haram.

Dasar pertimbangan larangan Ibn hazm di atas bisa dihubungkan dengan kebijakan Khalifah Umar ibn Khaththab, yang melarang ekstradisi penzina perempuan ke luar neg­eri, sebagaimana dilakukan dalam tradisi Nabi dan Abu Bakr, dengan alasan dunia Is­lam sudah sedemikian kompleks. Dikhawat­irkan jika pezina itu diekstradisi ke negara lain ia akan dimanfaatkan musuh di sana un­tuk membocorkan rahasia umat Islam. Umar kemudian mengganti hukum ekstradisi ini dengan penjara. Di penjara, selain yang ber­sangkutan dan negara akan aman juga lebih dimungkinkan untuk melakukan pembinaan.

Dalam konteks masyarakat modern seperti sekarang, dunia internasional relatif sudah jauh lebih baik daripada masa Nabi atau masa saha­bat. Badan internasional Perserikatan Bangsa- Bangsa (PBB) sudah mengatur secara khusus nasib dan kehidupan para pengungsi. Dengan demikian migrasi muslim ke negeri non-muslim insya Allah sah dan boleh. Nabi sejak dahulu juga memerintahkan umatnya menuntut ilmu walau sampai ke negeri Cina, yang waktu itu mungkin belum ada umat Islamnya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA