Suasana di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang itu sepi, kemarin siang. Tidak terlihat kerumunan orang yang berakÂtivitas di sekitar gubuk-gubuk tak jauh dari Stasiun Tanah Abang itu. Beberapa dari merÂeka memilih duduk santai di pinggir kali demi menghindari panas yang menyengat. "Siang memang sepi. Kalau malam ramai," ujar Turini, penghuni kawasan yang dikenal sebagai Jalan Inspeksi KBB.
Puluhan bangunan liar berdiri berderet dari jembatan di dekat Blok G Tanah Abang hingga Pintu Air Karet. Kondisinya memprihatinkan. Bangunan terbuat dari triplek dan terpal. Sebagian besar tidak dilengkapi jendela. "Kalau siang kami kerja di luar, soalnya panas. Kalau malam baru di rumah," ujar Turini kembali.
Banyaknya bangunan di lokasi ini mengganggu proses pengeruÂkan KBB. Sebab, separuh jalan selebar 10 meter ini tertutupi bangunan liar. Sehingga, proses pengerukan kali hanya dilakuÂkan di jalan yang tidak terÂdapat bangunan liar. Puluhan truk antre menunggu di Jalan Inspeksi untuk mengambil tanah kali yang dikeruk menggunakan eskavator itu.
Turini mengaku telah tinggal di kawasan tersebut sejak tahun 2002. Saat ini, dirinya membuka warung nasi untuk menghidupi keluarganya. "Kalau ngontrak di tempat lain, saya tidak punya uang. Lebih enak tinggal di sini, gratis," ujar wanita satu anak dan satu cucu ini.
Kendati begitu, wanita beruÂmur 50 tahun ini, tetap harus membayar uang listrik dan air untuk kebutuhan sehari-hari. "Listrik bayar 20 ribu setiap minggu. Air 20 ribu sehari," sebut wanita asal Cirebon, Jawa Barat ini.
Belasan tahun tinggal di banÂtaran Kali Banjir Barat, Turini mengaku sudah belasan kali terkena gusur. Namun, kata dia, sebelum penggusuran dilakukan, biasanya ada surat peringatan terlebih dahulu dari pemerintah. "Tapi waktu Gubernur Ahok, langsung gusur saja tanpa ada peringatan dahulu," ucapnya.
Kendati sering terkena gusur, Turini mengaku akan tetap tingÂgal di bantaran kali ini, karena tidak ada pilihan lain. Apalagi, tempat usahanya berada di sini. "Kalau dipindah ke rusun, nasib usaha kami gimana? Memang enak bisa tidur nyenyak, tapi usaha susah," ucapnya.
Turini mengaku mempunyai trik khusus agar bisa kembali tinggal di bantaran kali setelah diÂgusur petugas. "Kami cari tempat lain dulu selama sebulan paling lama. Bila situasi sudah aman, tinggal balik lagi," tuturnya.
Apalagi, kata wanita bertuÂbuh subur ini, bangunan tempat tinggalnya juga tidak memerluÂkan biaya mahal karena hanya bermodalkan triplek bekas dan terpal. "Tapi, terpal harus ganti enam bulan sekali karena cepat rusak," katanya.
Ke depan, dia berharap, sebeÂlum penggusuran dilakukan, terlebih dahulu diadakan sosialÂisasi kepada warga. Tujuannya, agar warga bisa dengan sadar meninggalkan bangunan liarnya. "Beberapa hari lalu memang ada petugas dari kecamatan yang melakukan pendataan. Tapi saya tidak tahu, mau digusur atau pendataan saja," ujarnya.
Penghuni gubuk lainnya, Minah mengatakan, mayoritas penghuni bangunan liar di jalan inspeksi Tanah Abang bekerja sebagai pemulung yang menggunakan gerobak. "Biasanya mereka keluar siang hari dan baru datang malam hari," ujar Minah.
Minah membenarkan, kondisi lingkungan di Jalan Inspeksi terlihat sepi siang hari, namun berubah drastis malam hari. Sebab, banyak tenda berhiaskan lampu disko dipasang hingga menutupi hampir seluruh badan jalan. "Kalau malam jadi disko bongkaran," tandasnya.
Camat Tanah Abang Dedi Arif Darsono menyebut, pemukiman liar yang berada di Jalan Tenaga Listrik, Tanah Abang berjumlah sekitar 100 tenda. "Kami telah melakukan penertiban besar-besaran Juli 2017. Tapi, merÂeka kembali datang ke kawasan tersebut," cerita Dedi.
Dedi mengatakan, tenda-tenda tersebut tak hanya digunakan sebagai tempat tinggal, tapi juga disewakan untuk tempat prostitusi. "Mereka sewakan bedeng Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu per malam untuk kegiatan prostitusi," tandasnya.
Selain disewakan untuk kegiaÂtan prostitusi, kata dia, ada juga penghuni yang memanfaatkan tenda-tenda itu sebagai warung minuman keras atau tempat menyimpan barang.
Dedi menambahkan, kegiatan prostitusi di kawasan tersebut bukan hal baru, malahan sudah ada sejak tahun 1980. "Dulu, buka lapaknya di pinggiran rel. Karena diusir PT KAI, mereka pindah ke Jalan Inspeksi karena kebetulan belum difungsikan," ucapnya.
Untuk itu, dia meminta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) agar segera melakukan pengerukan di sekitar jalan inspeksi menuju Tanah Abang, agar tidak lagi menjadi tempat melakukan tindak asusila. "Jika lahan sempit tersebut dibiÂarkan begitu saja, maka penghuni bedeng akan kembali menggunaÂkannya sebagai lahan prostitusi," tandasnya.
Menurut Wali Kota Jakarta Pusat Mangara Pardede, penÂertiban pemukiman liar meruÂpakan konsekuensi pengerukan saluran Kanal Banjir Barat untuk mengantisipasi banjir. Sebab, gubuk-gubuk itu berada di tepi saluran kali. "Di rapim saya sampaikan, pengerukan Banjir Kanal Barat sudah dimulai, tapi terhambat pemukiman liar," ujar Mangara.
Sebelum melakukan penertÂiban, Mengara mengatakan, akan melakukan sosialisasi terlebih dahulu. Isi sosialisasi itu tentang pilihan kebijakan terkait keberadaan gubuk-gubuk terseÂbut. Opsi pertama, membiarkan pemukiman. Kedua, penertiban. "Jika opsi penertiban yang dipiÂlih, pihaknya meminta alternatif jenis penertiban yang dilakukan pemerintah," lanjutnya.
Nantinya, kata Mangara, reÂspon tersebut akan disampaikan kepada Pemprov DKI sebagai bentuk evaluasi. "Kalau sudah ada keputusan, akan kami tertibÂkan karena sudah mengganggu," tegasnya.
Mangara menambahkan, peÂmukiman yang berada di pinggir kali tidak dalam bentuk rumah yang terbuat dari kayu. Namun, dibangun dengan menggunakan terpal. "Meski sudah berkali-kali ditertibkan, pemukiman kembali berdiri," tandasnya.
Selain itu, Mangara menyebut, penghuni pemukiman terpal itu bukan warga Jakarta, sehingga seringkali berpindah tempat.
Latar Belakang
Pembongkaran Rutin Dilakukan, Warga Tak Ada Kapok-kapoknyaPenertiban bangunan liar di kawasan Kanal Banjir Barat (KBB), Tanah Abang, Jakarta Pusat telah berulang kali diÂlakukan.
Penertiban antara lain dilakuÂkan terhadap puluhan rumah liar, 19 Januari 2015. Namun, para penghuni rumah semiperÂmanen di sepanjang bantaran kali itu, menolak penertiban yang dilakukan Pemerintah Kota Jakarta Pusat.
Saat akan mulai dibongkar, muncul puluhan warga yang melempari petugas Satpol PP dengan batu dan benda-benda lainnya. Khawatir jatuhnya korban jiwa, petugas sempat mundur beberapa saat. Bahkan, beberapa warga yang tak setuju dengan pembongkaran tersebut, membakar gubuknya sebagai bentuk protes.
Setelah mendapat bantuan dari TNI dan Polri, akhirnya Satpol PP berhasil melakukan pembongkaran. Gubuk-gubuk yang umumnya terbuat dari baÂhan material bekas itu, kemudian diangkut menggunakan 24 truk. Sisa material lainnya dibakar. Tim pemadam kebakaran ikut bersiaga untuk memadamkan api hasil pembakaran ini.
Tidak banyak penghuni gubuk yang berada di lokasi ketika pembongkaran berlangsung. Soalnya, Pemerintah Daerah sudah memberikan surat pemÂberitahuan terlebih dahulu keÂpada penghuni gubuk-gubuk tersebut.
Kepala Seksi Operasional Satpol PP Jakarta Pusat, Maruli Sijabat menambahkan, dalam penertiban ini, pihaknya mengerÂahkan 400 petugas Satpol PP dan 200 petugas gabungan dari TNI, Polri, Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Kebersihan dan Dinas Pekerjaan Umum. "Penertiban ini merupakan upÂaya lanjutan dari penertiban sebelumnya. Kami berkomitmen untuk membersihkan sekitar KBB dari gubuk liar serta peÂnyalahgunaan peruntukan," jelas Maruli.
Wakil Camat Tanah Abang saat itu, Juremi mengatakan, lokasi ini ditertibkan lantaran setiap malam dijadikan tempat mabuk-mabukan dan seks beÂbas. Apalagi pemilik bangunan ini rata-rata tak memiliki KTP Jakarta. "Mereka ada yang bekÂerja sebagai pemulung," ujar Juremi.
Juremi mengatakan, pemÂbongkaran kerap dilakukan di bantaran kali tersebut. Tetapi, lantaran kerap tak dijaga dan tak segera dikerjakan proyek di lokasi ini, penghuni bantaran kembali lagi. "Kami segera buat taman di lokasi ini. Kemudian, kegiatan normalisasi kali BKB segera dikerjakan juga," ujar Juremi.
Terpisah, Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta Teguh Hendrawan berharap, Gubernur Anies tidak hanya menertibkan permukiman liar di KBB. Sebab, normalisasi kali yang menjadi solusi utama dalam menangani banjir, kerap terkendala bangunan liar. "Kali yang seharusnya memiliki lebar 20 meter, kini hanya tersisa lima meter," ujar Teguh.
Dia mencontohkan, Kali Krukut, Mampang. Kali penÂghubung Sarua dan Pulo, Jakarta Selatan, kini hanya memiliki garis sepadan kali (GSk) di bawah 20 meter. Persoalannya, bangunan-bangunan yang ada di bantaran kali tidak semuanya liar, tetapi ada juga yang memiÂliki sertifikat. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.