Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tembok Perbatasan Dengan Rumah Warga Digusur Duluan

Pembangunan Rel Kereta Di Manggarai

Sabtu, 15 April 2017, 10:12 WIB
Tembok Perbatasan Dengan Rumah Warga Digusur Duluan
Foto/Net
rmol news logo Rencana penertiban rumah di kawasan Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan berlangsung alot. Warga menolak rencana penggusuran yang akan dilakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI), dengan membangun posko darurat.
Rabu siang (5/4), sekelompok warga duduk santai di bawah posko darurat yang dibangun tepat di depan pintu masuk Jalan Saharjo 1, Kelurahan Manggarai, Tebet, Jakarta Selatan. Mereka tampak asyik berbicara satu dengan yang lain di bawah terpal warna biru.

Sesekali, nada bicara mereka meninggi saat membicarakan soal rencana penggusuran rumah yang berdiri di samping rel. "PT KAI harus menghentikan rencana penggusuran rumah warga di kampung ini," ujar Wawan, salah satu warga RT 01/12 Kelurahan Manggarai.

Penolakan warga Manggarai sudah terlihat jelas sejak memasuki mulut Jalan Saharjo 1. Beberapa spanduk bertebarandi dekat posko darurat itu. Isinya macam-macam. Namun, warna tulisannya semua sama, menggunakan tinta merah. Seperti, "Tanah ini milik kami. Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 329 tanggal 24 September 1958", "Rumah dan tanah kami bukan milik PT KAI", dan "Tanah ini milik kami. Perampasan hak atas tanah,melanggar HAM".

Spanduk dengan warna dasar putih ini, menyita perhatian pengguna jalan yang akan me­masuki pemukiman padat pen­duduk itu. "Kami sudah tinggal di sini sejak tahun 1950-an. Jadi, PT KAI tidak punya hak atas ta­nah ini. Kami sedang mengurus status hukum tanah ini ke MA," ujar Wawan kembali.

Kendati penolakan terus dilakukan warga Manggarai, namun PT KAI tidak gentar. Sedikit demi sedikit tembok yang berbatasan dengan rumah warga sudah mulai dibongkar. Walhasil, antara kampung dengan Stasiun Manggarai hanya dibatasi seng berukuran kecil. Akibatnya, anak-anak bisa dengan mudah melewati batas tersebut. Bahkan, beberapa anak kecil bermain layang-layang di sekitar rel yang belum difungsikan itu.

Agar tidak membahayakan, beberapa warga yang berjaga-jaga di posko terus memperingati anak-anak agar tidak bermain terlalu ke tengah karena membahayakan keselamatan mereka.

Tidak jauh dari tembok yang telah dibongkar, berdiri deretan rumah yang akan digusur PT KAI karena hanya berjarak satu meter dari rel yang akan digunakan untuk jalur double track kereta menuju Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang.

"Yang kena gusur tidak semua, hanya 11 rumah. RT 1 sebanyak 5 rumah dan RT 2 sebanyak enam rumah," msebut Wawan.

Kendati tidak semua rumah digusur, kata Wawan, seluruh warga di RW 12 menolak ren­cana penggusuran tersebut seba­gai aksi solidaritas antar sesama warga. Apalagi, PT KAI hanya mengganti rugi sebesar Rp 250 ribu bagi rumah permanen dan Rp 200 ribu bagi rumah non permanen. "Kami mau pindah kalau mendapat ganti rugi sebe­sar Rp 5 juta per meter persegi," tegasnya.

Wawan menambahkan, warga Manggarai sudah tinggal di tempat ini secara turun temurun sejak setelah kemerdekaan. Bahkan, semua warga di sini setiap tahun membayar pajak bumi dan bangunan kepada pemerintah. "Jadi, PT KAI tidak bisa seenaknya menggusur tanpa ada kompensasi yang jelas," kritiknya.

Untuk menjaga agar tidak terjadi pengusuran, kata Wawan, seluruh warga Manggarai sepakat meminta bantuan ke Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI). "Kami juga telah me­lapor kesewenang-wenangan ini ke Ombudsman," tandasnya.

Selain itu, agar tidak terjadi penggusuran secara tiba-tiba yang dilakukan PT KAI, Wawan mengatakan, puluhan warga se­lalu siap siaga di posko selama 24 jam sehari. "Kalau malam hari bisa sampai 50 orang yang jaga. Ini bentuk antisipasi dari warga," ucapnya.

Senada, Sabramsyah, salah satu warga Manggarai juga menolak rencana penggusuran tersebut. "PT KAI tidak punya tata krama terhadap warga Manggarai," tegas Sabramsyah.

Pria berumur 49 tahun ini, mengungkapkan, sejak mengirimkan surat undangan sosialisasi penggunaan aset milik KAI di Jalan Dr Sahardjo, Manggarai, melalui Surat Undangan Nomor KA.2013/III/3/DO.1-2017 ter­tanggal 6 Maret 2017, PT KAI tidak pernah mengirimkan manajemen untuk menjelaskan dan mensosialisasikan rencana peng­gusuran terhadap warga.

"Kalau orang baik seharus­nya datang untuk menjelaskan masalah ini ke warga, bukan main ancam," keluhnya.

Sabramsyah menyebut, be­berapa warga mengaku dipaksa petugas untuk menandatangani persetujuan untuk angkat kaki dari lahan yang telah ditinggal­inya selama ini. Namun, warga menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Pasalnya, warga menilai PT KAI tidak memberi­kan ganti rugi yang manusiawi dan layak.

"Ganti rugi setiap rumah hanya Rp 250 ribu. Kami bukan hewan, kami manusia," curhatnya.

Selain itu, lanjut dia, masalah pengganti rumah tinggal bagi warga korban penggusuran juga tidak dipikirkan oleh perseroan.

Sebetulnya, kata dia, sengketa lahan dengan PT KAI bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, tahun 2006, PT KAI juga telah mengumumkan rencana pembangunan proyek double-double track (DDT) Manggarai-Cikarang.

"Waktu itu, mereka (PT KAI) menggunakan aturan yang ada, minta izin dulu dan ada yang datang ukur," kenangnya.

Bahkan, lanjut dia, ganti rugi yang ditawarkan saat itu lebih besar, yaitu sebesar Rp 1,4 juta hingga Rp 1,8 juta per meter persegi. Namun dalam perjalanannya, kata Sabramsyah, negosiasi tidak berlanjut akibat PT KAI dan warga tidak memiliki kesepakatan soal status kepemi­likan lahan.

Terpisah, Anggota Divisi Hukum PBHI, Nasrul Dongoran mengatakan, pendirian posko darurat dan penjagaan di RW 12 Kelurahan Manggarai dilaku­kan sejak Sabtu (8/4). "Warga mendirikan posko untuk men­jaga keamanan sampai keadaan betul betul aman dari penggu­suran," ujar Nasrul.

Nasrul menyebut, dari 11 na­ma pemilik rumah di Manggarai yang diminta untuk dikosongkan dan dibongkar, ada dua pemilik rumah yang telah meninggal dunia. "PT KAI juga belum pernah menunjukkan sertifikat yang mereka miliki ke warga," kritiknya.

Nasrul menegaskan, warga lebih berhak atas lahan yang mereka tinggali saat ini dibandingkan PT KAI. Alasannya, mereka sudah tinggal bertahun-tahun dan membayar pajak PBB.

Untuk pengadaan tanah, menurutnya, harus sesuai dengan Undang Undang Pengadaan Tanah, harus dibentuk tim pengkaji tanah, studi kelayakan seperti apa. "Ini masyarakat tidak pernah dilibatkan," kritiknya.

Nasrul menegaskan, tim pengkaji tanah harus melibatkan warga, PT KAI, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan stakehoder lain. "Saat ini, PT KAI sewenang-wenang denganmenetukan secara sendiri-sendiri," tandasnya. Selain itu, dia menyesalkan PT KAI malah mengedepankan intimidasi agar proyek tetap jalan. "Warga juga tidak pernah mendapat sosialisa­si dari PT KAI," ucap Nasrul.

Malah, kata Nasrul, warga telah mendapat surat perintah pem­bongkaran pada Rabu (5/4). "PT Kereta Api juga tidak mau ke­temu dengan warga," keluhnya.

Nasrul mengakui, langkah warga RW 12 meminta mediasi dengan Komnas HAM pun tidak mendapat respon berarti. PT KAI juga enggan berdialog dengan warga dan justru me­langgar rekomendasi Komnas HAM dengan mengirim oknum polisi untuk mengantarkan surat pembongkaran.

Kendati demikian, Nasrul membenarkan bahwa warga tidak mempunyai sertifikat sebagai barang bukti aduan. Akan tetapi, ia menegaskan, berdasarkan ketentuan, warga berhak memiliki tanah tersebut karena sudah membayar pajak dan hidup lama di tanahterse­but. Mereka pun menegaskan, sertifikat milik PT KAI sudah tidak berlaku dan tidak pernah ditunjukkan kepada publik.

"Sertifikat PT KAI sudah kadaluwarsa," tudingnya.

Dia menuding, penertiban itu adalah salah satu maladministrasi karena mereka tidak pernah menguasaifisik. "Jika dihitung dari masa jangka waktu hak pakai, maka sertifikat hak pakai Nomor 47 tahun 88 itu sudah kadalu­warsa," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA