Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Sekolah Pelaut Jepang Lahirkan Banyak Petinggi ALRI

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Minggu, 03 Maret 2024, 13:42 WIB
Sekolah Pelaut Jepang Lahirkan Banyak Petinggi ALRI
Pasukan TNI AL di awal kemerdekaan/Net
rmol news logo Menyerahnya Belanda tanpa isyarat kepada Jepang dalam perjanjian Kalijati, 8 Maret 1942 menjadi babak baru penjajahan di Indonesia. Belanda yang sudah menguasai kepulauan ini selama hampir tiga setengah abad, akhirnya harus hengkang dari Indonesia. Sebagian tentaranya (KNIL) ada yang meloloskan diri ke Australia dan menjadi tawanan Jepang.
 
Menurut Mestoko (1979), di tengah kecamuk Perang Dunia II, Jepang ingin membangun “Kemakmuran Bersama Asia Raya”. Hal itu dianggap sebagai suatu keharusan oleh kalangan militer dalam menjanjikan adanya prestise-prestise kepahlawanan dan pengabdian.
 
Di tengah gelora peperangan tersebut, selain memerlukan SDA Indonesia, Jepang juga memerlukan SDM untuk membantu dalam memenangkan perang. Akhirnya Pemerintahan Militer Jepang membangun berbagai macam sekolah dan lembaga pendidikan dengan landasan “Hakko Ichiu”. Setiap orang bangsa Indonesia yang dididik harus mengucapkan sumpah setia kepada kaisar Jepang dan membentuk Indonesia baru dalam rangka “Kemakmuran Bersama Asia Raya”.

Namun pada kenyataannya kehidupan bangsa Indonesia semakin menderita dan melarat demi kepentingan Jepang.
 
Jepang yang mengaku “saudara tua” Indonesia itu mendirikan sejumlah lembaga pendidikan kelautan. Yakni, Sekolah Pelayaran Bagian Tinggi (Kooto zeh Inyu Yoseiso) di Jakarta, Tegal, Semarang dan Cilacap. Sekolah ini dikenal dengan sebutan SPT. Ada juga Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) di Jakarta, Semarang dan Pasuruan, Sekolah Perikanan di Jakarta, dan Sekolah Bangunan-Bangunan Kapal (Zosen Gakko) di Jakarta dan Surabaya.
 
Kemudian, Jepang juga mendirikan Latihan Pelayaran untuk pembantu Kaigun dan Butai (Sen Zu Kunrensho) di Makassar dan Shonanto (Singapura). Setelah memeriksa sejumlah literatur sejarah, ditemukan sebuah berita di majalah Djawa Baroe.
 
Majalah propaganda Jepang semasa menduduki Indonesia itu memuat satu di antara materi sekolah pelayaran di Jepang yang jadi referensi pelajaran siswa Sekolah Pelayaran di Indonesia.
 
Judul beritanya Sekolah Kapal Perang. Berikut cuplikannya:
 
Di Nippon, ada sebuah Sekolah Ra’Jat jang mempoenjai “record” jang gilang-gemilang jaitoe seloeroeh kelas mendjadi perdjoerit soeka-rela Angkatan Laoet.
 
Di sekolah terseboet, seloeroeh bangoenan sekolah diibaratkan sebagai seboeah kapal perang, dilakoekan pendidikan dengan sembojan “Kita senantiasa di laoet!”
 
Dengan setioep peloeit-komando, maka di gang sekolah digantoengkan tempat tidoer gantoeng setjara tangkas dan tjepat jang sedikitpoen tiada kalah dengan perdjoerit Angkatan Laoet.
 
Diadakan poela latihan berlari di tangga dengan tenang tetapi tjepat seperti di djembatan kapal perang.
 
Pemerintah Jepang memerlukan tenaga bantu dan sarana angkutan yang cukup besar untuk menggeser logistik ke garis depan pertempurannya di bawah jawatan pelayaran. Selain itu, juga merehabilitasi dan memobilisasikan galangan-galangan kapal kayu yang ada di Jawa dan Sumatera serta mendirikan galangan kapal baru seperti di pasar ikan Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Juwana, Lasem, dan Tanjung Balai Asahan.Selanjutnya, untuk merekrut personelnya diambil dari pemuda-pemuda eks GM (Gouvenements Marine) dan KM (Kolonial Marine) yang dipilih, yang tentunya tidak pro dengan Belanda.
 
Bertambahnya produksi kapal buatan dalam negeri saat itu oleh Jepang, tentunya semakin banyak pemuda Indonesia yang berpendidikan kelautan dalam jumlah yang cukup besar. Untuk memenuhi tenaga perwira pelaut berupa Mualim dan Masinis, pemerintah Jepang melalui jawatan pelayarannya yang dikenal dengan nama Gunsei Kanbu Kaiji Sokyoku, Perusahaan pelayaran Jepang Jawa Unko Kaisa (pelayaran niaga yang dimiliterisasi) dan Akatsuki Butai (Emperial Japanese Army sea transportation service, saat ini seperti fungsi Kolinlamil), maka didirikanlah Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) dengan nama Kootoo Seinen Yoseisyo.
 
Sekolah ini dibuka pada bulan Januari 1943 yang beralamat Jl. Roa Malaka 34, Jakarta Kota. Adapun persyaratan untuk masuk SPT tersebut adalah:
 
Pernah menjadi awak kapal, punya ijazah Mualim (certifikaat als stuurman) yang dikeluarkan Pemerintah Belanda, sudah tamat sekolah pelayaran “Zeevaartschool” di Batavia yang diselenggarakan oleh KPM dan “Partculiere Zeevaartschool” di Surabaya.

Selanjutnya, punya pengalaman berlayar, berumur 20-40 tahun, lama kursus 3 bulan, selama pendidikan mendapat beasiswa, dan esudah tamat di beri pekerjaan di kapal yang dikelola oleh Jawatan pelayaran Jepang Gunsei Kanbu Kaiji Sokyoku
 
Sekolah awalnya merupakan kursus karena para peserta sudah berpengalaman berlayar. Kursus ini dibagi 2 bagian yaitu bagian dek atau yang dikenal nautika dan bagian mesin. Tiap bagian terdiri dari dua kelas. Kelas Pertama baik itu jurusan nautika dan mesin kursus selama dua bulan dengan siswa masing-masing jurusan ada lima 50 orang dan untuk kelas Tinggi selama tiga bulan masing-masing jurusan ada 25 orang.

Para siswa SPT ini juga mendapatkan latihan dasar kemiliteran serta pendidikan tentang tata cara atau ciri khas yang berlaku di kapal-kapal Jepang seperti “Tebata Singgo”, merupakan isyarat bendera tangan yang menggunakan abjad Jepang (Katakana) dengan huruf  I,ro,.ha, ni, ho, he, to dan seterusnya
 
Di majalah propaganda Jepang terbitan 1944, ditemukan juga berita bahwa ternyata, sebagai Tjoeo Sangi-In Gitjo (jabatan Bung Karno di zaman Jepang), dia pernah dihadirkan berpidato pada acara lulus-lulusan siswa Sekolah Pelayaran di Jakarta.
 
Berita bertajuk Membimbing Pradjoerit Laoet! tersebut memuat utuh pidato Bung Karno satu halaman penuh. Diawali dengan kepala berita:
 
Tg. 6 Djanuari 2604(1944--red) di hadapan moerid-moerid Sekolah Pelajaran Djakarta, para iboe-bapa dan para keloearga dari moerid-moerid, toean Ir. SOEKARNO, Tjoeo Sangi-In Gitjotelah mengoetjapkan pidato bimbingan, berhoeboeng para pemoeda itoe baroe sadja loeloes setelah menoentoet peladjaran selama enam boelan.
 
 
Tercatat beberapa tokoh seperti Bung Karno dan KH Mas Mansyur kerap memberikan ceramah kepada siswa SPT. Sehingga terpatri dalam jiwa siswa SPT bahwa apa yang dilakukannya saat itu sebagai modal besar untuk membangun kebaharian bangsa Indonesia di kemudian hari.
 
Beberapa lulusan SPT dan SPR itu kemudian ada yang dilibatkan langsung di dalam kapal perang Jepang di bawah Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Bersama lulusan Seinen Dojo seperti Zulkifli Lubis dan Kemal Idris, para Kadet SPT seperti Sumengkar pun turut terlibat dalam front peperangan Asia Timur Raya di Kawasan Asia Tenggara. Sementara Mas Pardi, Adam dan M. Nazir yang merupakan pelaut berpengalaman hasil tempaan Belanda memegang peranan penting dalam mendirikan dan mengelola SPT.
 
SPT mendidik pemuda lulusan Sekolah Lanjutan (Menengah dan Atas) selama 6 bulan, secara singkat dan padat. Kemudian setelah lulus menjadi mualim dan nakhoda serta menjadi juru mesin dan kepala kamar mesin di kapal coaster yang terbuat dari kayu.

Selanjutnya, lulusan SPT secara terpilih, ada yang diangkat menjadi guru di sekolah pelayaran dan instruktur di kapal latih. Sedangkan SPR mendidik pemuda lulusan tingkat dasar (Sekolah Rakyat) yang kemudian setelah lulus dapat bertugas sebagai juru mudi, kelasi dan juru minyak di kapal-kapal pengangkut yang terbuat dari kayu.
 
SPT Jakarta mempunyai asrama dan ruangan belajar di jalan Kali Besar Barat, gedung bekas kantor dan gudang N.V Hoppenstedt, salah satu perusahaan dari The Big Five (suatu gabungan perusahaan pada zaman Hindia Belanda).

Di era kemerdekaan, gedung itu kemudian dikenal sebagai gedung/toko merah. Penjurusan SPT terdiri dari dua bagian yaitu bagian dek dan bagian mesin. Tiap angkatan terdiri dari sekitar 30 orang siswa yang disebut Gumi. Sampai pertengahan tahun 1945, SPT Jakarta telah meluluskan empat angkatan yaitu, “I Gumi, Ro Gumi, Ha Gumi, dan Mi Gumi”.
 
Urutan Gumi tersebut diambil dari abjad katakana, huruf Jepang. Pimpinan SPT Jakarta terdiri dari pegawai berkebangsaan Jepang yakni Suzuki dan Yamashita. Sedangkan para instruktur berkebangsaan Indonesia berada di bawah bidang pengajaran.
 
Pelajaran yang diajarkan dalam SPT antara lain: Ilmu Pelayaran (Zeevartkunde), Ilmu Kepandaian Bahari (Zeemansshap), Ilmu Perbintangan (Astronomi), Ilmu Cuaca (Meteorologi), Tali Temali, Isyarat Bendera dan Mendayung Sekoci. Praktik berlayar dilakukan di atas kapal latih “Sakura Maru-19” yang dikomandani oleh Simanjuntak dan RE Martadinata. Para instruktur SPT antara lain Adam, RE Martadinata, Brothel, Samadikun, AFH Roosenow, Biefelder, Salomon, Natakusuma dan Darjaatmaka. Sementara beberapa siswa lulusan SPT Jakarta (Gumi) yang diangkat menjadi instruktur di sekolah dan kapal latih antara lain untuk bagian dek yakni John Saragih, Sukarjo Joyosaroso, Oentoro Koesmardjo, dan Julius. Sedangkan untuk bagian mesin ada Suparlan, A.Hadi, Saleh Ibrahim dan Abdul Latif.
 
Selain mendirikan SPT dan SPR yang bertujuan untuk mendidik calon-calon pelaut bagi kapal-kapal niaga, pada tahun 1945 pemerintah Jepang membuka latihan untuk menjadi anggota Akatsuki Butai, yakni Sen-in Kurensyo di Makassar dan Singapura. Lembaga ini menerima calon-calon siswa dari para pemuda yang telah tamat dari Sekolah Menengah Pertama. Mereka dilatih selama 6 bulan hingga 1 tahun dan setelah lulus diangkat sebagai Bintara atau Perwira Kaigun Heiho.

Lembaga-lembaga pendidikan kelautan yang diselenggarakan pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia itu berhasil melahirkan ribuan pemuda bahariwan yang memiliki pengetahuan profesional di bidang maritim (Dispenal, 2014:35-36).
 
Mereka kelak menjadi tulang punggung Angkatan Laut Indonesia serta instansi kemaritiman strategis milik bangsa. Di antara nama-nama tenar jebolan SPT-SPR yang diselenggarakan Jepang antara lain Ali Sadikin, Sudomo, Hartono, Yos Sudarso, Muljono Silam, OB Sjaaf dan lain sebagainya.
 
Jelang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, turut berperan para kadet SPT Jakarta. Mereka yang tinggal di Asrama Kali Besar, sejak awal Agustus sudah gencar terlibat rapat-rapat dengan pemuda-pemuda pergerakan di Jakarta. Beberapa guru SPT Jakarta seperti Natakusuma, Oentoro Koesmardjo dan Abdul Latif diberi tugas untuk melakukan konsolidasi para siswa. Para pegawai Jepang di SPT Jakarta telah menghentikan kegiatannya dan menyerahkan pimpinan SPT Jakarta kepada guru senior Adam dan pengelolaan administrasi kepada Aruf.
 
Ada kelompok pelaut yang lain di bawah pimpinan Suroto yang mendirikan organisasi Serikat Pelayaran Indonesia (SPI). Organisasi-organisasi ini kemudian saling bekerja sama dalam membantu tokoh-tokoh nasional merumuskan kemerdekaan.
 
Jumlah personel dari lulusan enam (6) Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) di Jakarta, Semarang, Tegal, Cilacap, Makasar dan, Singapura (Sho Nan To) dan Sekolah Pelayaran Rendah (SPR) yang didirikan di Sumenep dan Pasuruan banyak yang berperan aktif dalam pembangunan maritim dan angkatan laut Indonesia di kemudian hari. Dari  6 SPT tersebut memiliki lulusan kurang-lebih 2000 pelaut yang berpendidikan setingkat  akademis dengan rincian siswa sebagai berikut :
 
1.    SPT Jakarta                      500 siswa
2.    SPT Semarang                 400 siswa
3.    SPT Tegal                         300 siswa
4.    SPT Cilacap                      300 siswa
5.    SPT Makassar                   250 siswa
6.    SPT Singapura                  250 siswa
 
Jumlah                              : 2000 orang
 
Kurun waktu tahun 1943-1945 dihasilkan pelaut Indonesia cukup banyak yang berpendidikan kelautan dan kemudian banyak di antara mereka yang menjadi tokoh penting Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI-sekarang TNI AL). Di antara lulusan SPT yang berhasil mencapai pangkat tinggi di TNI AL antara lain:
 
 
SPT Jakarta
Laksamana R.Edy Martadinata
Letnan Jenderal TNI (Mar) Ali Sadikin
Laksamana Muda TNI Daryaatmaka
Laksamana Muda TNI R.Sumengkar
Laksamana Muda TNI Hotma Harahap
Laksamana pertama TNI M. Napitupulu
 
SPT Semarang
Laksamana Muda TNI Yos Sudarso
Laksamana Muda TNI Agoes Subekti
Laksamana TNI R. Mulyadi
Laksamana Madya TNI O.B.Syaaf
Major Jenderal TNI (Mar) R.Suhadi
Laksamana TNI R.Subyakto
Laksamana Muda TNI M.Subarkah
Mayor Jenderal TNI (Mar) Kusnawinoto
Letnan Jenderal TNI (Mar) Hartono
 
 
SPT Cilacap
Laksamana R.Sudomo
Laksamana Madya TNI R.Subono
Laksamana Muda TNI Srijono Prajosukamto
Laksamana Muda TNI Suyatno
Brigadir Jenderal TNI (Mar) Suyatno
 
Sein Kurensyo
R.Suryadi pelopor BKR Laut Jakarta
Bibit Ismono pelopor BKR Laut Surabaya
Kapten R. Sulian, Letkol R. Nugrohadi, Kolonel Nata Permata, Mayor Sopar Sinaga, dan Kapten Supangat adalah pelopor BKR Laut Medan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA