Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tri Sentra Ki Hajar Dewantara

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Kamis, 02 Mei 2024, 14:45 WIB
Tri Sentra Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara/Net
rmol news logo Dalam filosofi pendidikan, tidak pernah ada SDM yang terampil dan terlatih tanpa melalui proses pengajaran serta pelatihan. Istilah lembaga pendidikan yang bersifat formal baru dikenal di era modern seperti sekarang.

Atau lebih jauh sejak masuknya penjajah hingga masa pergerakan nasional, baru mengemuka istilah lembaga pendidikan formal yang sistematis dan terstruktur, rapi lengkap dengan kurikulum serta jenjang pendidikannya. Hal itu terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan sampai masa sekarang.

Namun substansi dari lembaga pendidikan menurut Enung K. Rukiyati (2006), merupakan wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Sehingga nanti klasifikasinya ada yang bersifat formal dan non formal.

Proses pembudayaan itu, sebagaimana diurai oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, merupakan cara luhur orang tua kita dalam menanamkan karakter, nilai kehidupan dan ilmu pengetahuannya guna menyiapkan generasi berikutnya. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara sendiri merupakan proses pembudayaan, yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju ke arah keluhuran hidup kemanusiaan.

Nama asli Ki Hajar Dewantara adalah Raden Mas Suwardi Soerjaningrat. Ia lahir di Pakualaman pada tanggal 2 Mei 1889. Ia dikenal sebagai seorang penulis, jurnalis, tokoh politik dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi saat zaman penjajahan Belanda.

Pada 1913, Suwardi bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker, dikenal tiga serangkai yang sudah memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia melalui Indische Partij. Soewardi kemudian diasingkan ke Negeri Belanda. Di sanalah ia mencari pola lembaga Pendidikan yang tepat diterapkan di tanah kelahirannya.

Ki Hajar Dewantara adalah pendiri Taman Siswa, lembaga pendidikan yang memberi kesempatan bagi rakyat pribumi untuk memperoleh Pendidikan secara formal. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesia yang pertama pada 19 Agustus 1945. Ki Hajar Dewantara kemudian dianugerahi gelar pahlawan nasional dengan gelar Bapak Pendidikan Nasional. Tanggal lahirnya, 2 Mei, ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Ki Hajar Dewantara sendiri meninggal pada 26 April 1959 di usia yang ke 69 tahun dan dimakamkan di Yogyakarta.

Dasar Perjuangan

Menurut Muhammad Tauchid dalam Perjuangan dan Ajaran Hidup Ki Hajar Dewantara (1963), upaya pembudayaan (pendidikan) itu dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan Teori Trikon, yakni: Kontinu, Konsentris dan Konvergen.

Secara makna, kontinu artinya berkelanjutan atau berkesinambungan. Dalam Pendidikan istilah berkelanjutan ini mulai dari yang sifatnya dasar hingga ke yang paling tinggi secara keilmuan. Lazimnya, dalam pendidikan tidak mungkin berlaku instan tanpa dimulai dari yang dasar. Justru yang dasar itu menjadi fondasi dari suatu pendidikan ke jenjang berikutnya.

Sedangkan konsentris dalam KBBI berarti mempunyai pusat yang sama. Sehingga dapat dimaknai bahwa pendidikan itu harus berasal dari suatu sumber dan terpusat. Hal itu dimaksudkan agar fokus dan Pendidikan itu berjalan terarah. Dalam praktiknya, Ki Hajar Dewantara menerapkan konsep ini dengan membentuk Taman Siswa pada 3 Juli 1922.

Selanjutnya, konvergen adalah terkait tujuan pendidikan tersebut yang mengkerucut pada suatu upaya membentuk manusia seutuhnya yang berbudi luhur dan berilmu pengetahuan. Kemudian hasil pendidikan itu bermanfaat buat seluruh Masyarakat dengan prinsip menyebar.
 
Dalam pelaksanaan pendidikan itu, menurut Ki Hajar Dewantara dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang olehnya diberi nama Tri Sentra Pendidikan, yaitu: Alam keluarga, Alam perguruan dan Alam pergerakan pemuda.

Pendidikan di alam keluarga merupakan pendidikan dasar dari orang tua yang menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anaknya. Sudah pasti dalam setiap masa terus mengalami perkembangan karena prinsip kaderisasi dari orang tua terdahulu, seorang anak harus lebih baik dari bapaknya, seorang murid harus menyempurnakan gurunya.

Itulah hakikat yang diemban oleh orang-orang di generasi Ki Hajar Dewantara. Di masa itulah lahir kaum cendekiawan Indonesia yang kelak akan mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Ahmad Soebardjo dan sebagainya.

Makna alam perguruan di sini sudah mengarah kepada lembaga pendidikan yang formal dalam konteks konsentris tadi. Artinya terdapat seorang guru atau pengajar dengan suatu metode pengajaran dan kurikulum tertentu.

Selanjutnya, alam pergerakan pemuda yang dimaksud oleh Ki Hajar Dewantara mengarah kepada alam pengabdian tempat di mana menerapkan dan mempraktikan ilmu-ilmu yang diperoleh dari alam keluarga dan perguruan. Sudah tentu dalam alam pengabdian ini, ilmu dari seorang individu murid terus berkembang seiring dengan bertambahnya usia dan pengalaman. Bagi seseorang roses belajar itu terus berlanjut sepanjang hidupnya. Proses belajar hanya berakhir hanya ketika seseorang itu tutup usia.  

Pendidikan yang humanis menekankan pentingnya pelestarian eksistensi manusia, dalam arti membantu manusia lebih manusiawi, lebih berbudaya, sebagai manusia yang utuh berkembang. Menurut Ki Hajar Dewantara menyangkut daya cipta (kognitif), daya rasa (afektif), dan daya karsa (konatif)). Singkatnya, “educate the head, the heart, and the hand !” (Tauchid, 1963:17).

Oleh karena itu, pendidikan dan pembelajaran hendaknya diperbaiki sehingga memberi keseimbangan pada aspek individualitas ke aspek sosialitas atau kehidupan kebersamaan sebagai masyarakat. Pendidikan dan pembelajaran hendaknya juga dikembalikan kepada aspek-aspek kemanusiaan yang perlu ditumbuhkembangkan pada diri peserta didik sehingga pendidikan itu pun membuka jalan untuk berkembangnya alat atau teknologi yang digunakan.

Transfer Value dan Knowledge

Dalam proses transfer ilmu kepada generasi di bawahnya tersebut, para nenek moyang kita sudah menerapkan pola organisasi dan perilaku secara mendasar. Henri Fayol (1841-1925) merupakan salah satu dari beberapa perintis teori organisasi yang sangat dikenal dengan karya berjudul “General and Industrial Administration", mengembangkan teori yang membahas dan mengkaji tentang pemecahan fungsional kegiatan administrasi. Fayol berpendapat bahwa kegiatan administrasi dapat dibagi dalam lima fungsi yaitu: Planning atau perencanaan, Organizing atau pengorganisasian, Command atau perintah, Coordination atau koordinasi dan Control atau pengawasan.

Robbins (2003) menjelaskan tentang perilaku organisasi sebagai bidang studi yang mempelajari dampak perorangan, kelompok dan struktur pada perilaku dalam organisasi dengan tujuan mengaplikasikan pengetahuan semacam itu untuk memperbaiki efektivitas organisasi. Perilaku organisasi adalah studi yang mengambil pandangan mikro, memberi tekanan pada individu-individu dan kelompok-kelompok kecil.

Perilaku organisasi memfokuskan diri kepada perilaku di dalam organisasi dan seperangkat prestasi dan variabel mengenai sikap yang sempit dari para pegawai dan kepuasan kerja adalah yang banyak diperhatikan. Perilaku organisasi mendorong untuk menganalisis secara sistematik dan meninggalkan intuisi. Studi sistematik melihat pada hubungan dan berupaya menentukan sebab dan akibat, serta menarik kesimpulan berdasarkan bukti ilmiah. Sementara intuisi adalah perasaan yang tidak selalu didukung penelitian.

Kembali ke konsep pendidikan ala Ki Hajar Dewantara, Tauchid mengulas pada hakikatnya, manusia lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya, manusia memiliki daya jiwa (trisakti jiwa) yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Ia mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya.

Dari konsep tersebut, ternyata hanya dari kisah-kisah yang terus diajarkan oleh nenek moyang kita kemudian mampu menghidupkan alam bawah sadar kita untuk menggali ilmu pengetahuan, berinovasi hingga menciptakan teknologi. Konsep inilah yang digunakan oleh Bung Karno dalam mencetak SDM yang tangguh buat bangsanya dalam segala aspek.  

Dari titik pandang sosio-antropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya.

Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah: ”Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA