Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Benarkah Tan Malaka Dieksekusi TNI di Kediri?

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/adityo-nugroho-1'>ADITYO NUGROHO</a>
LAPORAN: ADITYO NUGROHO
  • Rabu, 21 Februari 2024, 18:27 WIB
Benarkah Tan Malaka Dieksekusi TNI di Kediri?
Tan Malaka/Net
rmol news logo Pada 21 Februari 1949 tersiar kabar, tokoh Revolusi Indonesia, Tan Malaka dieksekusi TNI di di Desa Selopanggung, Kediri. Tokoh revolusi yang memiliki nama lengkap Ibrahim Gelar Datuk Sutan Malaka itu ditembak oleh Letnan Dua Soekotjo, anggota Brigade Sikatan pada 21 Februari 1949 atas surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade Letkol Soerachmat.

Keterangan itu berdasarkan analisis sejarawan Belanda Harry Poeze, yang telah meriset tokoh Tan Malaka selama puluhan tahun. Hipotesis itu berawal dari adanya sebuah makam di lembah Sungai Brantas yang diduga merupakan makam Tan Malaka.

Namun, setelah dicocokan DNA dengan keluarga Tan Malaka dari Suliki, Sumatera Barat, beberapa perbedaan ditemukan. Tim forensik DNA yang dipimpin Djaja Surya Atmadja itu telah menghasilkan tak ada DNA Tan Malaka yang sesaui dari sampel darah Zulfikar (keponakan Tan Malaka).

Kendati demikian, Poeze tetap ngotot bahwa jasad yang terkubur di Desa Selopanggung itu merupakan Tan Malaka yang dieksekusi pasukan Kodam Brawijaya. Dia menegaskan bahwa penelitiannya benar dengan melibatkan tim ahli forensik antropologi.

Kemudian riset itu diakui publik dengan memindahkan kerangka jasad tersebut ke tempat lahir Tan Malaka di Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.

Berbagai seremoni peresmian makam Tan Malaka digelar akhirnya pada Jumat, 14 April 2017 di Nagari Pandam Gadang, Kabupaten 50 kota, Sumatera Barat. Wakil Ketua DPR RI saat itu, Fadli Zon memimpin peresmian makam Tan Malaka.

Prosesi ini demi mengenang jasa perjuangan Tan Malaka yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres 53/1963 tanggal 28 Maret 1963 yang diteken Presiden RI Soekarno.

Publik pun kini sudah tak asing lagi dengan nama Tan Malaka, pejuang Indonesia yang pernah menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1921. Alhasil, stigma kiri yang melekat di namanya berangsur hilang oleh larutan jasa perjuangannya terhadap kemerdekaan Indonesia, sekaligus dalam mempertahankannya.

Misteri Tan Malaka

Jasad di Desa Selopanggung tersebut masih menjadi misteri yang belum terjawab. Benarkah itu jasad Tan Malaka? Benarkah Tan Malaka dieksekusi TNI?

Guna menjawab itu, ulasan ke belakang mengenai siapa Tan Malaka perlu dikemukakan. Pria kelahiran Suliki, 2 Juni 1897 itu sudah mengenyam pendidikan ke Belanda di usia mudanya.

Sebelumnya Tan Malaka merupakan pemuda yang kental dengan pendidikan Agama Islam di kampungnya. Namun karena memiliki kecerdasan di atas rata-rata, sang guru G. H. Horensma bertekad menyekolahkan ke negeri Kincir Angin.

Melalui tabungannya yang pas-pasan ditambah sedikit bantuan dari Horensma, berangkatlah Tan Malaka ke negeri Belanda. Di sinilah babak perjuangan pergerakan Tan Malaka dimulai. Berkutat dengan berbagai buku, termasuk Karl Marx dan Nietzsche, Tan Malaka tumbuh menjadi cendekiawan yang disegani di kalangan pergerakan.

Namanya tersohor di telinga para pelajar Indonesia di Belanda kala itu. Tan Malaka menjadi saksi keganasan berkecamuknya Perang Dunia I (1914-1918) di Eropa. Dia pun semakin mantap dengan ajaran Marxis ketika Lenin mampu menumbangkan Kaisar Tsar Nikolai II dari Rusia, pada Revolusi Oktober 1917.

Tak lama setelah itu, Tan kembali ke tanah air. Berbekal ilmu dan pengalaman, Tan aktif dalam pergerakan Indonesia bersama para tokoh terkemuka saat itu seperti HOS Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, Alimin dan lain sebagainya.

Perkenalannya dengan tokoh-tokoh pergerakan tersebut, membawanya pada pucuk pimpinan PKI yang bermula pada Sarekat Islam Merah atau Serikat Rakyat yang bermarkas di Semarang. Dia pun akhirnya terpilih sebagai Ketua PKI menggantikan Semaun pada 1921.

Tan merupakan tokoh yang menentang adanya Revolusi 1926 yang dilancarkan PKI. Dalam konteks dia berdebat dengan kawan seperjuangannya, Muso dan Alimin. Namun justru Tan dicap pengkhianat oleh teman-temannya dengan sebutan “Trotsky Indonesia”, merujuk pada nama Leon Trotsky yang menentang pimpinan komunis Uni Soviet, Joseph Stalin.

Usai itu, Tan Malaka hidup berpindah tempat dalam pengejaran sebagai “orang yang dicari”. Lintas benua dan negara telah disambanginya demi cita-cita mencapai kemerdekaan Indonesia.

Berbagai nama samaran telah digunakannya. Seiring dengan, kegemarannya menulis pun menghasilkan berbagai karya fenomenal seperti Naar de Republic (1925) dan kisahnya dari Penjara ke Penjara, yang kemudian hari menjadi tiga jilid buku.

Sejak era 1920-an Tan memperjuangkan persatuan nasional. Dia pun mengusulkan adanya “islah” antara Serikat Islam Merah dan Putih yang terpecah saat itu. Namun upaya tersebut tak kunjung berhasil, hingga dirinya terdepak dari PKI.

Tan juga merupakan satu-satunya agen komintern yang berani berdebat dengan Stalin. Perdebatan itu soal bersatunya komunis dengan Pan Islamisme dalam melawan kapitalisme, kolonialisme dan imperialisme. Pan Islamisme merupakan gerakan perlawan dengan dasar Islam. Di Indonesia, hal itu menjadi landasan perjuangan Serikat Islam di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sehingga, menurut Tan, keduanya bisa bersatu menggebuk kaum kolonial.

Pemikiran Tan Malaka soal persatuan juga mendasari peristiwa Sumpah Pemuda di Jakarta, 28 Oktober 1928. Saat itu Tan berkirim surat dari Bangkok kepada pimpinan kongres Sumpah Pemuda. Surat itu langsung dibacakan sebelum kongres dimulai.

Masa Kemerdekaan


Masuknya Jepang ke Indonesia, membawa Tan kembali ke tanah air. Dia ingin sekali berjumpa dengan Bung Karno dan Bung Hatta, 2 pemimpin revolusi yang dikenal di Indonesia. Peristiwa itu terjadi saat dirinya berada di Bayah, Lebak menyamar sebagai mandor Romusha. Dialog singkat tentang kemerdekaan, di antara mereka sempat terjadi.

Jelang 17 Agustus 1945, Tan pun berada di Jakarta. Dia sudah mendengar desas-desus adanya Proklamasi yang dibacakan Soekarno-Hatta. Namun dia terkecoh ke Lapangan Ikada, sementara Proklamasi dibacakan di Rumah Bung Karno, Jalan Pegangsaan Nomor 56.

Bersama Adam Malik, Sukarni dan Chaerul Saleh, Tan memimpin barisan Menteng 31 yang berkomitmen mempertahankan kemerdekaan. Rapat Raksasa Lapangan Ikada 19 September 1945 merupakan gagasannya bersama pemuda.

Sepak terjang Tan Malaka usai kemerdekaan dituding menjadi oposisi pemerintah melalui organisasi Persatuan Perjuangan yang kemudian menjadi Musyawarah Rakyat Banyak (Murba). Dia pun dituduh sebagai otak penculikan Perdana Menteri Sjahrir pada 27 Juni 1946 di Yogyakarta. Alhasil, Tan bersama kawan-kawannya mendekam di penjara republik.

Yang menarik di sini, Tan merupakan orang yang dipercaya Bung Karno memimpin revolusi jika dirinya bersama Bung Hatta gagal dalam jalannya revolusi kemerdekaan. Wasiat itu tertuang dalam testamen politik sekitar September 1945. Banyak pihak yang menganggap, keluarnya testamen di rumah Ahmad Soebardjo saat Tan Malaka pertama kalinya usai kemerdekaan berjumpa dengan Soekarno-Hatta.

Yang lebih aneh lagi, menurut kesaksian Adam Malik dalam buku Mengabdi Republik (1979), Tan Malaka merupakan dwitunggal bersama Jenderal Soedirman, selain dwitunggal Soekarno-Hatta dan Sjahrir-Amir Sjafirudin.

Soedirman sangat mengagumi pemikiran Tan Malaka tentang Merdeka 100 Persen. Soedirman pun menghadiri pembentukan Persatuan Perjuangan di Purwokerto, 4 Januari 1946. Keduanya sangat anti perundingan dengan Belanda.

Dengan demikian, hipotesis yang menyebut Tan Malaka sebagai musuh TNI sangat tidak benar. Apalagi yang menyatakan Tan Malaka terlibat dengan Pemberontakan PKI Madiun 1948 pimpinan Musso, sangatlah naif.

Tan sudah berseberangan jalan dengan Musso sejak 1926. Tan merupakan kaum Republikein sejati yang mempertahankan Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Pasalnya, berita Tan dieksekusi di Desa Selopanggung adalah buah dari keterlibatannya dengan pasukan merah Madiun. Padahal, Tan di masa itu tengah memimpin gerilya menghadapi Agresi Militer Belanda kedua.

Tan tak ubahnya seperti tokoh intelijen, “berhasil tak dipuji, hilang tak dicari”. Dia pandai menyamar dan berganti-ganti nama. Besar kemungkinan, Tan tetap hidup usai 1949 dengan berbagai nama samaran.

Bung Karno pun mengetahui keberadaan Tan dan dimungkinkan justru menyembunyikannya dari berbagai kejaran intelijen asing.

Dengan demikian, asumsi Poeze soal Tan dieksekusi TNI di Desa Selopanggung pada 21 Februari 1949 dipastikan kurang mencapai kebenaran. Misteri jasad Tan Malaka belum terpecahkan hingga kini.

Tan tetap hidup dalam jiwa rakyat Indonesia yang merindukan kemerdekaan 100 persen. Entah di mana jasadnya tentu tidak penting bagi Tan Malaka yang mendermakan seluruh hidupnya untuk kemerdekaan bangsa. Berbaringlah dengan tenang Bapak Revolusi, namamu terus harum dalam pergulatan sejarah kemerdekaan Indonesia. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA