Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Spanduk Sosialisasi Ganti Nama Jalan Sudah Dicopot

Setelah Menuai Polemik

Senin, 05 Februari 2018, 08:12 WIB
Spanduk Sosialisasi Ganti Nama Jalan Sudah Dicopot
Foto/Net
rmol news logo Baru saja diwacanakan, perubahan nama Jalan Terusan HR Rasuna Said, Jalan Mampang Prapatan dan Jalan Warung Buncit Raya menjadi Jalan Jenderal Besar AH Nasution langsung menuai polemik.

 Awalnya, usulan ini dimohon Ikatan Keluarga Nasution ke Pemerintah Kota dan Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi. Permohonan ini kemudian diteruskan ke Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

Meski saat ini telah dihenti­kan, sosialisasi pengubahan na­ma jalan pun sempat dilakukan lewat pemasangan spanduk di beberapa jembatan penyeberan­gan orang (JPO) yang berada di tiga ruas jalan tersebut. Hingga Kamis siang (1/2), spanduk bertuliskan pemberitahuan pe­rubahan nama jalan yang akan diubah menjadi Jalan Jenderal Besar AH Nasution, masih ada.

Salah satunya, yakni spandukyang berada di wilayah Kelurahan Pejaten Barat. Di pojokkiri atas spanduk, tertera logo Pemprov DKI Jakarta. Sedangkan di pojok kanan atas tertera logo Dinas Perhubungan. Di pojok kanan bawah terdapat tulisan "Kelurahan Pejaten Barat."

Namun pada hari yang sama, Gubernur Anies memutuskan menghentikan sosialisasi perubahan nama jalan-jalan tersebut. Beberapa jam setelah keputusan tersebut, spanduk pemberitahuan perubahan nama jalan langsung dicopot petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU).

Meski telah dicopot, sosialisasi di kelurahan pun sempat dilakukan. Kelurahan Pejaten Barat sempat mengeluarkan surat instruksi agar para Ketua RT menyampaikan rencana perubahan ke warga.

Lurah Pejaten Barat Rahmat Basuki, menyampaikan, span­duk tersebut dicopot Kamis (1/2) sekitar jam lima sore. Dia meminta petugas PPSU mencopot spanduk itu karena melihat instruksi Anies.

"Sudah, jam lima sore. Saya copot spanduk berdasarkan statement Pak Gubernur yang diunggah di media sosial," kata Rahmat.

Sebelumnya, menurut Rahmat, spanduk itu dipasang 10 hari lalu atas instruksi Wali Kota Jakarta Selatan Tri Kurniadi. "Itu kami sudah pasang sekitar 10 harian ya. Kami dilibatkan rapat hanya sebatas tugas kami melaksanakan sosialisasi ren­cana perubahan tersebut. Kalau kami dasarnya instruksi wali kota," ujarnya.

Selain pemasangan spanduk, pihak Kelurahan Pejaten Barat telah menyosialisasikan rencana perubahan nama jalan terse­but dengan mengirimkan surat kepada RT dan RW setempat. RT dan RW diharapkan menyo­sialisasikan rencana perubahan nama itu kepada warga di ling­kungan mereka.

"Kalau pertemuan belum, tapi kalau surat dengan spanduk itu yang kami buat. Surat ke RT/ RW yang wilayah terdampak, karena kan pasti ada perubahan yang tadinya mungkin menggu­nakan alamat Jalan Buncit Raya misalkan, otomatis kan dia harus terinformasi, nanti akan ada perubahan nama menjadi Jalan AH Nasution," ucapnya.

Istri Ketua RT 2 RW 7 Kelurahan Pejaten Barat Fatimah menyebut, suaminya telah menerima surat pemberitahuan terse­but dari kelurahan. Tadinya, mereka akan menginformasikan pemberitahuan itu kepada warga di lingkungannya.

"Kemarin RT sempat dikasih surat pemberitahuan, suruh tempel-tempel," kata Fatimah.

Lurah Rahmat menambahkan, penggantian nama jalan membu­tuhkan tahapan yang panjang. Tahapan terakhir dari pengka­jian tersebut adalah sosialisasi. Terkait hal itu, pihaknya memasang spanduk sebagai sarana sosialisasi masyarakat supaya banyak pihak yang membaca.

"Dari sosialisasi itu, kita kantahu bagaimana respons masyarakat. Nah, respons itu nanti­nya dijadikan pedoman untuk membuat keputusan," ujarnya.

Dia pun menekankan, adanya sosialisasi bukan berarti keputusan telah ditetapkan. Akan tetapi, sosialisasi dilakukan sebagai dasar pengambilan langkah se­lanjutnya. Sosialisasi itu, lanjut­nya, masih dalam tahap pengka­jian. Dari sosialisasi itulah jadi bahan kajian selanjutnya.

Terkait hal itu, sejumlah warga pun turut bereaksi. "Loh, emang mau diubah?" ucap Victor, saat ditanya tentang rencana perubahan nama Jalan HR Rasuna Said-Jalan Mampang Prapatan-Jalan Warung Buncit menjadi Jalan AH Nasution.

Dia mengatakan, belum tahu rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan men­gubah nama jalan tersebut. "Ini Jalan Buncit sama Mampang sudah lama banget, kasihan nanti orang nggak tahu kalau diubah. Kalau perlu, jangan digantilah namanya," tutur Victor.

Berbeda dengan Victor, war­ga lain bernama Satria mengaku sudah tahu rencana pergantian nama jalan itu dari pemberi­taan di televisi. Menurut dia, mengganti nama jalan bukan hal yang mudah.

"Kalau ganti nama begini kan nanti bingung, apalagi kurir, pengantaran barang kalau nama baru pasti ribet," kata Satria.

Satria meminta Pemprov DKI Jakarta melakukan sosialiasi yang masif jika memang ingin mengubah nama jalan tersebut. Soalnya, nama itu punya sejarah dan telah lama melekat di inga­tan warga Jakarta, apalagi warga asli setempat.

Warga lainnya, Soni, mendukung rencana Pemprov mengubah nama jalan itu dengan nama pahlawan. Dia pun meminta Pemprov DKI melakukan sosialisasi dan melibatkan warga sebelum mengganti nama jalan tersebut.

"Bagus kalau mau pakai na­ma pahlawan sekalian untuk mengenang jasa-jasa dia. Cuma mungkin prosesnya lama, sosialisasinya harus lama," kata Soni.

Ketiga ruas jalan itu sendiri adalah salah satu jalan yang cukup penting di Ibu Kota. Di pagi dan sore hari, kemacetan selalu melanda jalan-jalan terse­but. Apalagi saat ini, di Jalan Terusan HR Rasuna Said dan Jalan Mampang Prapatan tengah berlangsung proyek pembangu­nan underpass.

Latar Belakang
Petisi Tolak Perubahan Nama Jalan Mampang Prapatan & Warung Buncit


Rencana penggantian nama Jalan Mampang hingga Warung Buncit menuai pro kontra.Sejumlah sejarawan dan budayawan Betawi, bahkan membuat petisi yang berjudul "Petisi Perkumpulan Betawi. Kita Menolak Pergantian Nama Jalan Mampang dan Buncit Serta Sekitarnya dengan Nama Jalan Jenderal Besar A.H Nasution."

Di dalam petisi yang dapat dilihat pada akun Facebook bu­dayawan Betawi, Yahya Andi Saputra tersebut tertulis juga sejumlah tokoh yang menolak. Antara lain, sejarawan JJ Rizal dan Ketua Umum Sikumbang Tenabang Roni Adi.

Di dalam petisi tersebut, Yahya serta rekan-rekannya meminta Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan untuk membatalkan keputusan perubahan nama jalan di daerah Jakarta Selatan terse­but. Alasan ketidaksetujuan mer­eka karena semakin lama banyak nama-nama yang mengandung memori kolektif masyarakat Betawi, dilenyapkan.

"Bapak Gubernur Anies Baswedan, perlu Bapak ketahui bahwa selama lebih seperempat abad terakhir ini, sudah be­gitu banyak nama kampung dan jalan-jalan yang mengacu kepa­da memori kolektif masyarakat Betawi lenyap," tulis Yahya, dalam petisi tersebut.

Petisi tersebut kemudian mencontohkan sejumlah nama kampung yang kini telah berubah nama. Misalnya adalah Kampung Dua Ratus dan Kampung Pecandran.

"Di Pondok Gede, ada nama Kampung Dua Ratus karena luasnya 200 ha, tapi sekarang su­dah hilang dan masuk Kelurahan Halim. Seperti juga Kampung Pecandran dan Kampung Petunduan yang bukan hanya namanya, tetapi kampungnya pun sudah hi­lang," lanjut petisi tersebut.

Yahya pun mengungkapkan kesedihannya karena budaya le­luhur yang terus dia coba lestari­kan, sedikit demi sedikit hilang. "Kita orang sini, kita orang Betawi yang paling merasakan betapa sakit hatiku, bila sedikit demi sedikit apa yang kita mi­liki yang sudah merasakan dari turun temurun dipocelin. Itu artinya dihilangkan sedikit demi sedikit, akhirnya menjadi hilang," tutur Yahya.

Menurut Yahya, baik nama Mampang Prapatan ataupun Warung Buncit memiliki nilai yang sangat berharga bagi masyarakat Betawi. Nama-nama tersebut memiliki nilai kolektif masyarakat Betawi yang harus terus dilestarikan.

"Jadi memori kolektif dari masyarakat kita, akan kita jaga dan akan kita wariskan terus menerus karena kita masih memiliki Mampang dan Warung Buncit. Jadi, akan lebih mudah kita mentransmisikan ke generasi yang akan datang," ucap Yahya.

Apabila nama-nama yang mengandung nilai sejarah ini dihilangkan, Yahya menilai bisa me­nyebabkan identitas masyarakat Betawi kosong. Terkait hak terse­but, dia serta rekan-rekannya membuat petisi supaya kekosongan identitas itu tidak terjadi.

"Daya ingat kita kepada iden­titas kita sendiri, terutama bagi generasi 50, 100 tahun yang akan datang menjadi kosong. Kehampaan itulah yang kita in­gin hindarkan," lanjut Yahya.

Menurutnya, nama bukanlah sekadar nama. Nama memiliki doa dan pengharapan serta ke­seimbangan antara manusia dan alam lingkungannya. Hal itulah yang menyebabkan Yahya terus bertahan akan pandangannya.

Banyak versi yang menjelas­kan sejarah asal usul Mampang dan Warung Buncit. Sejarawan Asep Kambali mengatakan, ada yang bilang buncit itu karena warung terakhir. Selain itu, dalam buku Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe, Warung Buncit berasal dari nama warung milik seorang Tionghoa namanya Bun Tjit.

Sementara, Lurah Mampang Prapatan Ramli mengatakan, sepengetahuannya asal usul nama Mampang Prapatan adalah karena persimpangan yang ada di wilayah tersebut. "Itu saya no comment, tapi setahu saya, ya itu dari kata simpang, ada persim­pangan akhirnya jadi Mampang Prapatan,"  ujar Ramli.

Sejumlah sumber memang mengatakan, nama Mampang Prapatan berasal dari persimpangan. Masih di dalam buku Asal Usul Djakarta Tempo Doeloe, nama Mampang Prapatan dibuat karena terdapat perempatan yang terpampang jelas di wilayah tersebut.

Terpisah, menurut Lurah Pejaten Barat Rahmat Basuki, nama-nama yang ada pasti ber­hubungan dengan sejarah masa lalu wilayah tersebut. "Tidak mungkin nama suatu tempat tiba-tiba ada begitu saja tanpa alasan," ucapnya.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA