Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Masjid Baitul Muttaqin Bergaya Joglo & Mulus

Di Belakang Kampung Amrozi Cs

Kamis, 28 Desember 2017, 08:13 WIB
Masjid Baitul Muttaqin Bergaya Joglo & Mulus
Foto/Net
rmol news logo Suara Iqomah Salat Asar berkumandang di Masjid Baitul Muttaqin di Tenggulun, Solokuro, Lamongan, Jawa Timur, Senin (25/12). Mendengar suara itu, puluhan jemaah bergegas memasuki masjid yang cukup megah itu.

Sejurus kemudian, mereka mengisi saf (barisan) pertama hingga penuh. Sedangkan saf kedua hingga ke belakang ko­song. Setelah saf tampak rapi, imam memimpin salat sebanyak empat rakaat.

"Hampir separuh jemaah masjid ini mantan teroris,"  ujar Mohammad Chozin, pengurus Masjid Baitul Muttaqin.

Tidak ada beda antara jemaah di Baitul Muttaqin dengan masjid lain pada umumnya. Mereka mengenakan kemeja lengan pan­jang, lengkap dengan peci dan sarung. Sedangkan yang men­genakan celana, sedikit berbeda karena mayoritas jemaah meng­gunakan celana di atas tumit alias ngatung. "Para jemaah ada yang warga sini maupun murid pondok Al-Islam," ujar Chozin kembali.

Masjid Baitul Muttaqin bukan masjid biasa. Sebab, tempat iba­dah itu dibangun di tengah kam­pung bomber bom Bali, Amrozi Cs di Tenggulun, Lamongan. Desa ini pernah disebut seba­gai sarang para teroris karena menjadi tempat merencanakan pembuatan bom Bali.

Masjid seluas 300 meter persegi ini, direnovasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Maret 2017. Tujuannya, untuk melakukan de­radikalisasi terhadap para kom­batan terorisme di Lamongan.

Lokasi masjid berada di belakang Kampung Tenggulun. Berdiri persis di samping perkebunanwarga. Bentuknya khas Joglo dengan dua tingkat ditambah serambi masjid.

"Sebetulnya masjid ini sudah ada sejak tahun 1900. BNPT hanya merenovasi dan menam­bah serambi,"  jelas Chozin.

Masjid bercat krem itu masih tampak mulus. Pasalnya, BNPT baru saja meresmikan penggu­naan masjid ini pada Juli 2017. Plakat peresmian yang ditempel di samping masjid tersebut juga masih mengkilat. Tulisannya, "Renovasi dan pembangunan sarana ibadah dan pendidi­kan Komplek Masjid Baitul Muttaqin, Tenggulun, Solokuro, Lamongan" yang ditandatangani Kepala BNPT Suhardi Alius, 21 Juli 2017.

Masuk lebih dalam, terdapat empat tiang yang menjulang tinggi di tengah-tengah masjid. Di antara tiang, terdapat lampu gantung yang cukup mewah. "Lampu gantung sudah ada sebelumnya. Jadi, bukan bantuan dari pihak lain," ujar Chozin.

Di bagian depan, ditempel dua lukisan kaligrafi berukuran besar yang dibingkai. Isinya, "Allah dan Muhamad." Di bawah tu­lisan Allah dan Muhammad terdapat tulisan Lapsus Sentul.

"Kalau soal itu saya tidak tahu. Soalnya, orang BNPT yang menempel itu," elaknya.

Di mihrab atau tempat imam, diletakkan mimbar berukuran besar untuk tempat khutbah. Cat mimbar masih hitam mengkilat. Untuk mengusir hawa panas, disediakan beberapa kipas beru­kuran besar yang diletakkan di langit-langit masjid.

"Kegiatan di masjid ini, tidak ada intervensi dari BNPT. Semua kita yang mengelola," kata Chozin.

Di belakang masjid, terdapat dua bangunan berukuran besar. Masing-masing bangunan dibagi menjadi tiga ruangan. Tempat tersebut sehari-hari digunakan untuk Tempat Pendidikan Al- Quran (TPA). "Siswanya baru ada 60. Beberapa dari mereka ada yang berasal dari anak bekas napi teroris," sebut pria berumur 55 tahun ini.

Selain TPA, kata pria berjeng­got ini, setiap dua minggu sekali pengurus masjid mengadakan kajian khusus selepas Maghrib terhadap eks napi teroris. Isinya, tentang bela negara dan juga kajian Islam moderat.

"Jumlahnya 15 orang. Mereka umumnya antusias terhadap kajian itu," ujar dia.

Hasil dari kajian tersebut, kata Chozin, Beberapa eks napi teroris ada yang mulai terbuka pikirannya dan kembali kepada dakwah Islam. "Mereka juga mengutamakan pendidikan dari pada jihad," tandasnya.

Terkait biaya pembangunan masjid, Chozin mengaku kurang tahu berapa pastinya, karena yang lebih tahu pihak BNPT. "Saya hanya terima kunci saat masjid dan gedung TPA sudah selesai direnovasi," ucapnya.

Namun yang pasti, kata Chozin, tidak ada biaya yang berasal dari anggaran negara. "Jadi, BNPT punya rekanan para der­mawan yang bertugas membangun masjid dan tempat pendidi­kan eks teroris," ujarnya.

Dengan telah selesainya pem­bangunan masjid dan TPA, Chozin mengaku senang. Sebab, bangunan tersebut setiap hari bisa digunakan warga desa untuk salat lima waktu. "Kami rutin salat di masjid ini," ujarnya.

Walaupun demikian, Chozin mengaku sedikit dipusingkan biaya operasional sehari-hari masjid dan bangunan TPA. Seperti, biaya listrik untuk lam­pu. "Habisnya bisa jutaan rupiah setiap bulan. Alhamdulillah, ada donatur yang membayarinya," ucap dia.

Setelah adanya perhatian dari pemerintah, kata Chozin, beber­apa eks napi teroris telah berubah pikirannya. Mereka mulai berani memasang bendera merah putih saat hari kemerdekaan. "Dulu mereka hormat bendera saja tidak mau," kenangnya.

Walhasil, lanjut dia, upaya pendekatan yang baik melalui kajianIslam maupun pendidikan,sedikit demi sedikit bisa men­gubah pemikiran seseorang yangpernah terlibat terorisme. "Intinya, pendekatan kemanusiaan dari hati ke hati," tuturnya.

Untuk itu, dia mendukung langkah pemerintah ataupun BNPT yang merangkul para kombatan eks napi teroris dengancara membangunan masjid dan lembaga pendidikan, karena hal itu menyentuh hati mereka.

"Kalau dikejar terus pakai senjata, mereka bukannya sadar, malah akan melawan pemer­intah," ujang kakak kandung Amrozi ini.

Selama ini, kata Chozin, be­lasan eks napi teroris yang tinggal di Tenggulun juga bisa bergaul dengan baik bersama masyarakat sekitar dan tidak ada yang mengucilkannya. "Kadang mereka ikut kajian bersama," ucap Chozin.

Dalam kesempatan itu, Chozin bercerita, awal mula desanya dituding radikal ketikadirinya ingin membangunPondok Pesantren "Al-Islam" di Tenggulun tahun1992. Lokasinya tidak jauh dari Masjid Baitul Muttaqin. Namun karena tidak mempunyai guru dan pen­gasuh pondok, akhirnya dirinya "mengimpor" 10 pengasuh dari Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, Solo.

"Mereka bertugas membina santri sebanyak 50 orang sebagai santri awal," kenangnya.

Seiring berjalannya waktu, pendidikan yang diajarkan guru tersebut berbeda dengan kuriku­lum pondok modern pada um­umnya, bersikap keras terhadap pemerintah dan tidak mengakui adanya Pancasila.

"Saya tidak bisa berbuat apa-apa karena kurikulum tersebut telah berjalan bertahun-tahun," kata Chozin.

Apalagi, setelah kasus bom Bali tahun 2002 yang meli­batkan beberapa adik-adiknya seperti, Amrozi, Ali Gufron dan Ali Imron, hubungan dengan masyarakat sekitar jadi tegang karena kegiatan yang diadakan pondok selalu dicurigai.

"Masyarakat selalu lapor ke polisi bila ada acara di pondok, ter­masuk jalan malam," kenangnya.

Namun demikian, dia tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. "Yang penting kami tidak menganggu masyarakat," tandasnya.

Seiring berjalannya waktu, dirinya selaku ketua yayasan gelisah juga dengan kurikulum tersebut. Akhirnya, ia harus ter­jun langsung dalam mengubah kurikulum yang lebih moderat di pondok.

"Saat ini, pelajaran Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sudah diajarkan di pondok," pungkas pensiunanpegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Lamongan ini.

Latar Belakang
Peresmian Masjid Baitul Muttaqin Diikuti Pemberian Cenderamata Untuk Eks Teroris

Masjid Baitul Muttaqin, Tenggulun, Solokuro, Lamongan dibangun di kampung para kom­batan teroris.

Masjid yang mulai direnovasi akhir Maret 2017 ini, rampung empatbulan setelahnya dan diresmikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius. Bangunan yang direnovasi adalahmasjid dan gedung Tempat Pendidikan Al-Quran (TPA) plus.

Peresmian masjid tersebut dihadiri beberapa tokoh seperti, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno LP Marsudi, anggota Wantimpres Mayjen (Purn) Sidarto Danu Subroto, Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Nassarudin Umar, tokoh nasional, Prof Syafii Ma’arif, Ketua Pansus Revisi Undang-Undang Terorisme, Muhammad Syafii, serta Bupati Lamongan Fadeli.

Peresmian tersebut juga diikuti dengan pemberian cindera mata kepada puluhan bekas teroris yang hadir dalam acara tersebut. Cenderamata diberikan sebagai bentuk apresiasi dan dukungan penuh pemerintah terhadap upaya menjadikan Tenggulun sebagai salah satu pusat de­radikalisasi di Jawa Timur.

Kepala BNPT Suhardi Alius mengatakan, ide pembangu­nan Masjid Baitul Muttaqin bermula saat ia bertemu para bekas kombatan terorisme di Surabaya beberapa bulan lalu. "Mereka menyampaikan isi hatinya terkait langkah pencegahan terorisme," ujar Suhardi.

Menurut Suhardi, membangundan merenovasi masjid Baitul Muttaqin merupakan salah satu bentuk soft approach dalam pen­anggulangan terorisme.

"Ini, sebagai bagian dari de­radikalisasi yang dilakukan BNPT," tandasnya.

Menurut Suhardi, pembangu­nan masjid ini dimaksudkan se­bagai pusat dakwah Islam mod­erat dan toleran yang nantinya akan berfungsi sebagai tempat pelurusan paham-paham radikal, sehingga kedepan tidak akan ada lagi pemahaman yang salah terkait ajaran-ajaran agama, seperti jihad.

Juga, lanjut dia, Tempat Pendidikan Alquran (TPA) dan reno­vasi Masjid ini dimaksudkan sebagai pelurusan konsep jihad yang salah. "Karena konsep jihad adalah mengurus kelu­arga, menuntut ilmu yang baik," ucapnya.

Untuk mencegah paham teror­isme, dia meminta keterlibatan dan peran serta masyarakat serta stakeholder terkait untuk men­ciptakan situasi dan kondisi yang bersahabat, serta komunikasi yang baik untuk memberikan pemahaman keislaman yang damai dan toleran.

Pembangunan masjid ini, kata Suhardi, adalah bukti komit­men BNPT kepada masyarakat bahwa negara hadir di tengah masyarakat untuk membantu ke arah yang benar. Metode soft dan hard approach yang digalakkan, ucapnya, semata-mata untuk menjunjung tinggi nilai-nilai humanis dalam menghadapi aksi terorisme, yaitu tidak hanya dengan penindakan saja, tetapi harus mampu memenangkan hati dan pikiran orang-orang yang terpapar paham radikal dengan lemah lembut.

Dia menegaskan, pembangu­nan masjid tidak berhenti hingga Lamongan, tapi akan berlan­jut ke Bima, Nusa Tenggara Barat yang bertujuan untuk menanamkan pengetahuan bagi generasi muda akan ancaman terorisme. "Para generasi muda harus memiliki kepekaan terh­adap bahaya tindak terorisme," harap Suhardi.

Selanjutnya, lanjut Suhardi, juga mengurangi bahaya dan kerusakan yang diakibatkannya, serta dapat menyebarkan lang­kah pencegahan. Salah satunya dengan memaksimalkan peran dan fungsi masjid sebagai pusat pendidikan bagi generasi muda.

"Pada masa Nabi Muhammad, masjid merupakan pusat pemer­intahan, kegiatan pendidikan, kegiatan sosial dan ekonomi," jelasnya.

Ia mengatakan, anggaran pembangunan masjid dan TPA Baitul Muttaqin berasal dari bantuan para donatur, sehingga pembangunan tempat ibadah ini tidak menggunakan dana APBN sama sekali.

Selain itu, dia menyebut ada lima daerah di Indonesia berpo­tensi menjadi basis radikalisme cukup tinggi. Yaitu, Bengkulu, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Lampung, dan Kalimantan Utara. Data tersebut didapatkan berdasarkan hasil survei yang dilakukan BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi.

Suhardi menjelaskan, dari hasil survei yang melibatkan sebanyak 9.600 responden ini, terlihat sudah cukup mempri­hatinkan. Apalagi angka yang perlu diwaspadai, yaitu angka 58 dari rentang 0-100.

"Artinya, paham (radikal) itu, seiring kemajuan teknologi informasi digital yang luar biasa, banyak sekali pengaruhnya," kata dia. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA