Pasca penetapan tersangka, rumah Adnin yang berada di Jalan Metro Duta Raya, Blok CCI, Nomor 6, RT 03/23, Kelurahan Baktijaya, Kecamatan Sukmajaya, Depok sepi. Tidak terliÂhat aktivitas mencolok di rumah dua lantai itu.
Di rumah bercat krem itu terÂparkir satu motor bebek. "Pak Adnin dari pagi keluar rumah. Anaknya juga pada sekolah. Jadi rumah kosong," ujar Endung, petugas keamanan di Komplek Duta II, Baktijaya, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat.
Rumah Adnin Armas kondisinya sama dengan deretan rumah di komplek kelas menengah yang mayoritas dua lantai. Rumah seluas kurang lebih 200 meter persegi ini, dilengkapi dengan pagar rumah setinggi 1,5 meter. Pagar ini ditutupi policarbonet warna terang.
Sebelah kiri rumah digunakan untuk carport. Tidak terlihat satu pun kendaraan yang terparkir di tempat itu. "Bapak punya dua mobil. Innova sama sedan
city car. Tapi pada keluar semua," ujar Endung kembali. Di teras rumah hanya terdapat kursi kayu lengkap dengan meja kecil.
Sementara pintu masuk terÂtutup rapat. Hanya pintu teralis yang dibiarkan terbuka. Saat diketuk beberapa kali, tidak ada yang respon dari dalam ruÂmah. "Bapak pulangnya tengah malam terus. Kalau mau ketemu Bapak, sebelum jam 9 pagi," saran Endung.
Endung mengaku terkejut dengan penetapan Adnin Armas menjadi tersangka penyalahguÂnaan dana yayasan oleh kepoliÂsian. Sebab, Adnin tergolong orang yang rajin ke masjid dan sering mengisi ceramah di masjid sekitar komplek. "Bahkan, hamÂpir tiap Jumat jadi khatib. Beliau juga sering dipanggil ustad oleh warga sini," ucapnya.
Selain itu, lanjut pria berkuÂlit gelap ini, Adnin juga baik dengan warga maupun petuÂgas keamanan di komplek ini. "Kalau ketemu pasti negur atau menyapa," kata dia.
Namun, pria yang mengenaÂkan kemeja warna putih ini, tidak mau terlalu jauh mencamÂpuri kasus hukum yang menjerat Adnin Armas "Biarkan kepoliÂsian yang menangani kasusnya," elaknya.
Sebelum penetapan tersangka, kata Endung, belasan kepolisian dari Polsek Sukmajaya, Polres Depok dan Polda Metro Jaya menggeledah rumah Adnin Armas dua minggu lalu. "Kepala RT dan RW dipanggil kepolisian untuk menyaksikan penggeledaÂhan itu," ujarnya.
Lebih lanjut, kata dia, pihak kepolisian yang menggeledah rumah Adnin juga berperilaku ramah dan sopan karena terÂlebih dahulu menyapa petugas keamanan dan meminta ditunÂjukkan rumah Adnin. "Polisi juga membawa surat penggeleÂdahan rumah," kata Endung, yang turut mengantar polisi mendatangi rumah Adnin.
Terpisah, Kuasa hukum Adnin Armas, Abdullah Alkatiri meÂnilai, penetapan tersangka peÂnyalahgunaan uang yayasan terhadap kliennya salah alamat. Sebab, peminjaman rekening yayasan berdasarkan mekanisme yang ada. "Mekanisme terkait yayasan sudah kami laksanaÂkan," ucap Alkatiri.
Menurut Alkatiri, peminjaman rekening Yayasan KUS karena kedekatan antara Bendahara GNPF MUI Bachtiar Nasir dan Adnin. "Kedekatan tersebut bukan semata-mata melalaikan mekanisme peminjaman rekenÂing," kata dia.
Sebab, lanjut dia, sebelum meminjam rekening tentu ada persetujuan terlebih dahulu dari pengurus yayasan yang lain. Apalagi, kata dia, yayasan ini juga bergerak di bidang keaÂgamaan dan ada programnya juga untuk mengelola dana infak atau sedekah. "Jadi, tidak ada yang dilanggar," tandasnya.
Sebelum ini, kata dia, yayasan juga telah memberikan sumbanÂgan ke berbagai tempat. Seperti, kepada pengungsi Rohingya dan pengungsi di Suriah. "Bukan yang perang ya. Tapi korban-korban di daerah Syam ini," sebut dia.
Sementara pasal yang disÂangkakan kepada kliennya, dia menyatakan, dalam Undang-undang Yayasan Pasal 5 ayat 1 yang berbunyi bila ada pengurus mengalihkan harta atau aset yayasan pada orang-orang, itu yang tidak boleh. "Uang terseÂbut bukanlah milih yayasan tapi milik umat," pungkasnya.
Sebelumnya, Adnin menilai, tudingan kepolisian berlebihan karena meletakkan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada para ustad dan juga aktiÂfis Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI). "Itu tindak pidanÂanya kasar, karena menyamakan uang infak dengan uang hasil kejahatan," kritiknya.
Menurut Adnin, hal itu sama saja menyamakan ustaz seperti koruptor atau penjahat narkoba. "Itu sesuatu yang jahat," kriÂtiknya.
Padahal, kata Adnin, Infak yang diberikan orang bertujuan untuk kebaikan dan akhirat. Sedangkan, narkoba ini adalah uang untuk neraka, sehingga dari tujuan awal sudah sangat bertentangan. "Orang mau berÂbuat baik, justru uang itu yang dipersangkaan," ucapnya.
Dia menambahkan, dari rekÂening yang masuk terdapat lebih dari 5 ribu orang yang menyumÂbang ke Yayasan KUS. "Total uang di rekening sebanyak Rp 6 miliar," sebut dia.
Adnin menyebut, jumlah peÂnyumbang bervariasi, ada yang kurang dari Rp 100 ribu dan yang paling besar sebanyak Rp 100 juta. "Itu bukan perorangan, tapi kelompok," ucapnya.
Dari jumlah uang Rp 6 miliar yang masuk ke dalam rekenÂing, kata dia, Rp 3 miliar sudah terpakai untuk segala kebutuhan demo besar di Jakarta, tanggal 4 November 2016 dan 2 Desember 2016. "Juga bantuan sosial lainÂnya," kata dia.
Terkait pasal TPPU yang ditujukan kepada aktifis GNPF-MUI, Adnin menilai pasal yang dituduhkan pihak kepolisian sangat berat karena ancaman piÂdananya 20 tahun dan denda Rp 10 miliar. "Ini harus dibuktikan dulu," tegasnya.
Sebab, kata dia, berdasarkan pernyataan para pakar untuk kasus TPPU harus dibuktikan dulu pidana asalnya.
Latar Belakang
Rekening Dipinjamkan Untuk Menampung Donasi Ummat Penggunaan rekening Yayasan Keadilan Untuk Semua (KUS) dalam menampung doÂnasi umat untuk kegiatan aksi demonstrasi 11 November dan 2 Desember 2016, berbuntut panjang.
Sebab, Kepolisian akhirnya menetapkan Ketua Yayasan Keadilan untuk Semua (KUS), Adnin Armas menjadi tersangka dalam kasus dugaan penyalahÂgunaan dana yayasan.
Adnin juga dijerat dengan Pasal 5 Undang Undang Nomor 28 tahun 2004 tentang Yayasan, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara. Bunyi Pasal 5 yaitu, kekayaan yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan berdasarkan undang undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik daÂlam bentuk gaji, upah, maupun honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada pembina, pengurus, dan pengawas.
Selain itu, Adnin juga dijerat Pasal 70 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2001 yang berbuÂnyi, "(1) Setiap anggota organ yayasan yang melanggar keÂtentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. (2) Selain pidana penjara, anggota organ yayasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan".
Sebelum penetapan tersangÂka, kepolisian terlebih dahulu melakukan penggeledahan di rumah Adnin Armas di Komplek Duta 2, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat, Jumat (10/2). Dalam penggeledahan tersebut, kepoliÂsian menyita beberapa dokumen yang berkaitan dengan kasus tersebut, dua buku tabungan BNI Syariah dan stempel Yayasan Keadilan Untuk Semua.
Tak lama setelah digeledah, kepolisian akhirnya memangÂgil Adnin Armas ke Bareskrim Mabes Polri sebagai saksi. Usai diperiksa selama 10 jam, Adnin membenarkan bahwa ia memÂinjamkan rekening yayasan ke Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI).
Namun, ia mengaku tak tahu bahwa ada pengalihan dana dari rekening tersebut dan diÂgunakan untuk peruntukan lain. "Saya enggak mengelola uang dari GNPF itu," jelas Adnin di Bareskrim Polri, Rabu (15/2).
Adnin menambahkan, setelah dipinjamkan, pengelolaan dana dalam rekening, sepenuhnya merupakan urusan GNPF-MUI. "Saya sukarela meminjamkan rekening yayasan karena untuk menampung donasi aksi umat Islam," tuturnya.
Adnin mengaku belum mendaÂpat laporan soal pengelolaan dana di rekening itu. Sementara, Ketua GNPF MUI Bachtiar Nasir mengatakan, ada dana Rp 3 miliar yang dikelola untuk aksi bela Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016. "Dana berasal dari donasi masyarakat yang ditampung di rekening Yayasan Keadilan untuk Semua," ujar Bachtiar.
Menurut Bachtiar, uang itu dialokasikan untuk konsumsi, peserta unjuk rasa, hingga korÂban luka-luka saat aksi 411. "Tidak ada aliran uang dari rekening yayasan ke pihak lain yang tak sesuai peruntukannya," tandasnya.
Selain itu, lanjut dia, dana juga digunakan untuk biaya publikasi seperti pemasangan baliho, spanduk, dan sumbangan lainnya.
"Untuk korban bencana Aceh sebesar 500 juta dan bencana Sumbawa sebesar Rp 200 juta," sebut dia.
Tak sampai dua minggu usai menjalani pemeriksaan di Bareskrim Mabes Polri, akhÂirnya Adnin ditetapkan menjadi tersangka. "Saudara Adnin dan saudara Bachtiar Nasir kami dengar keterangannya dalam kapasitas sebagai saksi," ujar Kapolri Jenderal Tito Karnavian dalam rapat kerja Polri denÂgan Komisi III di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senayan, Rabu (22/2).
Tito mengungkapkan, yayasan KUS memberikan suÂrat kuasa kepada Ketua GNPF MUI Bahtiar Nasir. Bahtiar kemudian memberikan kuasa kepada salah seorang petugas bank syariah berinisial IS, yang juga telah dijadikan tersangka dalam kasus ini, untuk mencairÂkan uang. ***
BERITA TERKAIT: