Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Lapo Sepi Pembeli, Segera Dibongkar Pengelola GBK

Persiapan Asian Games 2018

Sabtu, 21 Januari 2017, 08:45 WIB
Lapo Sepi Pembeli, Segera Dibongkar Pengelola GBK
Foto/Net
rmol news logo Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) berencana membongkar sentra kuliner di sekitar Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta Pusat.
Rencananya, di lahan tersebut bakal dibangun sarana dan prasarana penunjang Asian Games 2018 yang akan berlang­sung di Jakarta dan Palembang, Sumatera Selatan.

Menjelang sore, tak tampak kesibukan berarti di sebuah ru­mah makan khas Batak (Lapo) bernama Lapo Siagian Boru Tobing, yang berada di kawasan Lapangan Tembak, Senayan. Hanya dua meja yang saat itu terisi. Pelayan pun tak terlalu sibuk. Bahkan, pelayan masih sempat berbincang dan menon­ton teve karena sepinya pengun­jung saat itu.

Lapo Siagian Boru Tobing berada di bagian belakang. Untuk mencapai rumah makan tersebut, lebih dekat jika melalui Jalan Tentara Pelajar, Jakarta Pusat. Hanya pejalan kaki dan kendaraanroda dua saja yang bisa masuk hingga ke depan lapo. Pengunjung ber­mobil mesti memarkir kend­araannya di bagian depan.

Interior lapo tersebut terbilang cukup sederhana. Ada sekitar 12 meja makan berbentuk bulat dan persegi panjang yang disediakan pengelola untuk menjamu para pengunjung. Masing-masing meja terdiri dari minimal empat kursi. Sedangkan meja kasir diletakkan di bagian pojok, tak jauh dari meja pengunjung.

Sebuah etalase besar untuk memamerkan dan menyimpan makanan yang akan disajikan diletakkan di pojok bagian dalam. Sementara dua alat pendingin minuman diletakkan di sebelah etalase besar tersebut.

Lapo tersebut terhitung tidak cukup besar, namun memadai. Sebuah teve LED digantung di bagian depan dekat dengan tempat pengunjung masuk seba­gai sarana hiburan pengunjung. Untuk menambah kesan luas, di sekeliling tembok lapo dipasangi kaca cermin berukuran 1x2 meter.

Sirkulasi udara hanya mengandalkan area masuk yang berada di bagian depan. Makanya, untuk menyejukkan suasana, enam buah kipas angin digantung di plafon, sedangkan lima kipas angin lain­nya dipasang di dinding.

Saat disambangi Rakyat Merdeka, Kamis lalu, tak tam­pak kesibukan berarti dari para pekerja restoran. Namun lewat maghrib, menjelang jam tujuh malam, sejumlah pengunjung mulai berdatangan. Tak kurang empat meja langsung terisi.

Paulus Siagian, pemilik lapo tersebut mengungkapkan, sejak ada kabar penggusuran, pengunjung mengalami penurunan. Pada hari biasa, katanya, laponya mulai ramai pada jam makan siang. "Hari biasa standar. Tapi paling ramai ya akhir pekan. Pengunjung itu bisa sampai antre," katanya saat berbincang.

Lebih lanjut, pria berdarah Tapanuli itu menjelaskan, sejak beredar kabar penggusuran di lokasi yang terkenal dengan sentra kuliner khas Batak itu, banya k pedagang mampir ke warungnya. Kebanyakan dari mereka menanyakan kebenaran kabar tersebut.

"Kalau saya setiap hari 80-an pembeli, tapi sekarang 40-an. Semenjak naik berita, sambilmenyiapkan makanan, ada saja pembeli yang tanya rencana pembongkaran, bahkan ada yang WhatsApp, saya sampai bingung jawabnya," kata Paulus.

Kata dia, kabar mengenai penggusuran berdasarkan surat yang dilayangkan PPKGBK. Surat itu ditandatangani Kepala Unit II PPKGBK. Paulus bilang, kontrak sewa mereka berakhir per 15 Desember 2016. Berdasarkan surat tersebut, akan dibangun fasilitas penunjang Asian Games di lokasi rumah makan itu.

"Sejak November, kami sudah menerima surat. Isinya, sewa ka­mi habis per 15 Desember 2016 dan tidak bisa diperpanjang karena akan dibangun fasilitaspe­nunjang kegiatan Asian Games yang akan dilaksanakan di GBK pada 2018," tuturnya.

Makanya, lanjut Paulus, para pedagang di kawasan tersebut harus mengosongkan tempat ber­jualan mereka per 16 Desember 2016. Namun, dia menilai, kepu­tusan ini tidak adil. Terlebih lagi, waktu yang diberikan untuk mereka mencari tempat peng­ganti tergolong singkat.

Setelah menerima surat itu, Paulus yang juga menjabat sebagaiketua paguyuban pedagang di kawasan tersebut berdiskusidengan para pedagang lain. Kesepakatannya, mereka inginber­negosiasi dengan pihak pengelola GBK terlebih dahulu.

"Kami minta waktu pada pengelola untuk bernegosiasi. Idealnya, mereka bisa bertemu kami dan membahas hal ini," ujarnya.

Menurut Paulus, setelah itu tak ada jawaban pasti. Namun, merekamendapatkan surat kedua. Dalam surat kedua yang diterima pada 28 Desember 2016, lanjut­nya, PPKGBK memberi waktu hingga 15 Januari 2017.

"Buat kami ini tetap tidak cukup. Kami mau bertemu," katanya lagi.

Pengelola rumah makan lain­nya, Ahmad Sumanap juga menjadi salah satu yang sedang harap-harap cemas memikirkan nasib. Meski bukan pemilik rumah makan, sejak 1992 dia dipercaya mengurus RM Kebon Sirih dengan menu makanan Makassar.

"Terbayang harus kembali jatuh bangun rintis usaha di lokasi yang baru. Kalau di sini kan jelas pelanggannya, hari biasa saja sudah ramai," ujar Ahmad.

Kawasan Jalan Lapangan Tembak Senayan memang terbilang strategis. Letaknya dekat dengan beberapa kantor pemerintahan. "Pelanggannya ya karyawan di kantor DPR, MPR, Kementerian Kehutanan, dan banyak lagi," ujar Sopar Simangunsong, pemi­lik RM Chinese Food Medan Ria Senayan.

"Makanya, jangan kaget kalau kami-kami ini dengan warung begini bisa kenal dengan orang penting. Mereka suka makan di sini," sahut Betty Asnalia Simangunsong, adik Sopar yang juga turut mengelola.

Betty pun menuturkan kesedihannya. Sejak sekolah, dia kerap mampir ke kawasan itu. Dia mengaku kenal pelanggan sejak pelanggan itu kecil hingga dewasa. "Ibaratnya, kami kenal pelanggan kami dari mereka kecil, pacaran, sampai sekarang punya anak. Relasi antar peda­gang pun akur, sudah seperti keluarga," katanya.

Berkali-kali melayangkan keberatan, para pengelola rumah makan itu terpaksa mengelus dada. Surat keberatan yang mereka kirimkan mendapat tangga­pan, bahwa mereka tetap harus angkat kaki per 28 Februari 2017.

Latar Belakang
Harga Sewa Cuma 33 Ribu Per Meter Yang Makan Banyak Anggota Dewan


 Kisah manis para pemilik ru­mah makan di kawasan Lapangan Tembak, Senayan, Jakarta Pusat hampir berakhir.

Para pemilik rumah makan mesti mengosongkan kawasan tersebut per tanggal 28 Februari 2017. Padahal, sentra kuliner di kawasan tersebut bisa dibilang cukup memiliki sejarah.

Paulus Siagian, pemilik Lapo Siagian Boru Tobing menutur­kan, sudah menempati lokasi itu sejak 1992. Usaha itu dirintis oleh kedua orangtuanya, yang merupakan pindahan dari Jalan Asia-Afrika, Senayan.

"Tahun 1984, orangtua dari Medan buka Lapo Boru Siagian di Jalan Asia-Afrika. Karena waktu itu infonya ada KTT Nonblok, para pedagang direlokasi oleh Pemerintah Provinsi dan ditempatkan di lahan ini, Gelora Bung Karno," paparnya.

Paulus menyebut, harga sewa di lokasi tersebut termasuk murah, Rp 33 ribu per meter persegi. Oleh karenanya, dia bisa menyajikan masakan dengan harga yang relatif miring. "Di sini memang murah, murah pu­lalah kita jual ke orang. Untung banyak ya nggak. Kami ada subsidi silang. Kalau sopir taksi makan nambah nasi, tetap kami kasih Rp 20 ribu," jelasnya.

Di warung makannya itu, dia dibantu 13 karyawan. Sambil berkelakar, dia meyakinkan bahwawarung makannya lebih mu­rah dibanding tempat lain. Kata dia, jika makan di tempatnya, untuk 16 orang hanya dikenakan biaya sekitar Rp 700-800 ribu.

"Itu aja masih ditawarlah karenasesama orang Batak. Aku makan bareng istri dan tiga anak di steak itu kena Rp 700 ribu, padahal ada yang satu porsi berdua," ujar dia sambil geleng-geleng.

Paulus menyebut, banyak peja­bat yang menjadi pelanggannya. Dia mengklaim, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly saat menjadi anggota Dewan adalah langganannya.

"Banyak pejabat, Yasonna Laoly waktu jadi anggota Dewan selalu makan di sini. Sejak jadi menteri sih enggak. Kalau ang­gota Dewan itu Maruarar Sirait, Ruhut Sitompul selalu duduk di deket kasir, Hotman Paris juga ya kadang mereka seminggu sekali atau sebulan dua kali," ujar dia sambil menunjuk kursi mereka.

Beberapa rumah makan di kawasan tersebut antaranya sudah dipegang oleh generasi kedua, termasuk usaha yang sedang di­jalani Paulus. Tempat itu disebut­nya sudah menghidupi banyak keluarga secara turun-temurun.

"Terlebih lagi yang dijual ada­lah makanan tradisional dari yang halal sampai non-halal. Dari makanan Medan, Padang, Jakarta dan Makassar, ada semua di sini. Bukankah sudah sangat jarang ka­wasan seperti ini?" tutur Paulus.

Kini, kisah 24 tahun mencari nafkah di kawasan itu harus selesai. Menurut Paulus, ada lebih kurang 200 orang pekerja yang harus hidup dalam ketidak­pastian apabila rumah makan di kawasan itu ditutup. "Susah bayanginnya. Ada 22 pengusaha rumah makan dengan karyawan masing-masing 4 sampai 15 orang. Kalau dihitung, kurang lebih ada 200 orang tenaga kerja yang harus kembali bertaruh hidup setelah ini," paparnya.

Terlebih lagi, bagi pengusaha rumah makan masakan Batak, pencarian lokasi baru tentu lebih sulit. Hal itu mengingat pemiliklahan dagang belum tentu mem­beri izin bila tempatnya dijadikan lokasi dagang makanan seperti yang saat ini mereka jajakan.

Paulus mengaku masih menunggu jawaban dari Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK). Dalam surat balasan yang dijelaskan Paulus tadi, mereka berharap pengurus dapat mempertimbangkan beberapa hal.

Pertama, lahan itu dipakai sebagai tempat usaha yang men­dukung wisata kuliner daerah.

Terlebih lagi, menurut Paulus, saat ini wisata kuliner tradisionaldi Jakarta tergolong sulit ditemu­kan. Kedua, bila alasannya adalah harus mendukung Asian Games, mereka siap untuk ber­peran serta. "Kami mau mendu­kung dengan ikut mengenalkan ciri khas Indonesia lewat maka­nan," ucap Paulus.

Ketiga, mereka ingin pedagang direlokasi ke tempat lain. Sayangnya, menurut Paulus, keputusan pengurus terlalu terburu-buru. Pertimbangan atas keberatan tersebut belum mendapat jawaban. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA