Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Digempur Produk Impor Kentang Dieng Dibanderol Rp 11 Ribu Per Kilogram

Senin, 19 Desember 2016, 09:34 WIB
Digempur Produk Impor Kentang Dieng Dibanderol Rp 11 Ribu Per Kilogram
Foto/Net
rmol news logo Sekitar 2.500 petani kentang Pegunungan Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah, berunjuk rasa di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Mereka menolak kebijakan pemerintah yang membolehkan impor kentang. Pasalnya, sejak membanjirnya kentang impor, harga kentang Dieng anjlok.

Jika sebelumnya harga di ting­kat petani sekitar Rp 15 ribu per kilogram, saat ini hanya berkisar Rp 6 ribu hingga Rp 8 ribu saja. Di level pedagang di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, kentang asal Dieng dibanderol Rp 11 ribu per kilogramnya.

Seperti biasa, hari itu Rano tampak sibuk mencatat kentang dagangannya yang masuk dan keluar. Lapak dagangannya yang bernama Dua Putri PD Kentang, berada di Blok FSB Nomor 69, Pasar Induk Kramat Jati.

Dengan teliti, dia menggore­skan tinta pena di sebuah buku kecil berbentuk panjang dengan cover berwarna kotak-kotak biru. Sesekali, dia berkomunikasi dengan dua orang rekannya yang tengah sibuk memilih dan menyortir kentang. Ada dua jenis kentang yang dijajakan di kios berukuran 3,5 x 3,5 meter persegi itu. Yang pertama, yakni kentang jenis Dieng. Satu lagi kentang jenis Bandung.

Kentang-kentang dimasukkan ke dalam karung jaring berwarna merah tembus pandang. Untuk kentang jenis Dieng, dimasuk­kan ke dalam karung yang di­tumpuk dengan ukuran berat 50 kilogram per karung. Sedangkan kentang Bandung dimasukkan ke dalam karung yang lebih besar dengan ukuran berat 60 kilogram per karung.

Setelah dimasukkan ke da­lam karung, dua rekan Rano kemudianmenumpuk kentang-kentang tersebut ke bagian samping kiosnya. Total ada tujuh level tumpukan kentang dengan empat baris ke samping. Sebuah kipas angin dipasang di tembok berbahan triplek yang sengaja dibangun di lapaknya tersebut, untuk membuat kentang tetap dalam hawa sejuk.

Bagi masyarakat awam, cukup sulit membedakan dua jenis ken­tang tersebut secara kasat mata. Diameternya pun berukuran hampir sama, sekitar 5 centime­ter. "Kalau ada yang mau beli, cara ngebedainnya ya dari besar karungnya," kata seorang rekan Rano saat berbincang.

Selama hampir satu jam be­rada di lapak tersebut, belum terlihat pembeli yang mampir. "Kalau permintaan dari pembeli tidak ada perubahan," kata Rano saat ngobrol dengan Rakyat Merdeka sambil terus mencatat di buku catatannya.

Terkait kentang impor, menu­rut Rano, di Pasar Induk, khusus­nya, tidak ada lagi kentang impor. Sekarang ini, kata dia, kentang-kentang yang masuk ke pasar tersebut kentang jenis Padang dan Bandung.

"Kalau impor mah di sini kurang laku. Kurang peminat­nya. Dari banyak pedagang kentang di sini, paling satu atau dua pedagang yang dagang kentang impor. Kebanyakan kentang Dieng dan kentang Bandung," terang pria yang mengenakan kaos merah itu.

Saat ini, lanjut Rano, kentang Dieng merupakan komoditas kentang dengan harga jual paling tinggi per kilogramnya, yakni Rp 11 ribu. Dikatakan, harga tersebut cukup tinggi. Tingginya harga, lanjut Rano, diakibat beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor cuaca. Karena cuaca sering tidak bersaha­bat, sambungnya, petani Dieng menunda panennya, sehingga pasokan ke pasar berkurang.

"Yang mahal itu memang ken­tang Dieng, harganya Rp 10 ribu ke atas. Kalau yang di bawah itu ada kentang Bandung, kentang Padang, itu kisaran Rp 9 ribuan harganya," terangnya.

Terkait aksi demo petani kentang Dieng pekan lalu yang menyebut harga kentang jatuh karena adanya kentang impor, Rano mengaku tidak mengetahuinya. Karena, kenyataan di pasar, kata dia, harganya tetap masih yang paling tinggi di banding kentang lain.

Kurangnya peminat kentang impor di pasar, lanjutnya, karena kualitas kentang impor jauh di bawah kentang lokal. "Kalau yang impor biasanya buat sop, kalau digoreng hitam, nggak bisa buat keripik, nggak kayak kentang lokal," ucapnya.

Nia, pedagang kentang lain­nya di pasar Induk Kramat Jati mengatakan, ada bandar yang menawarkan beberapa komodi­tas pangan impor. Komoditas itu antara lain, bawang putih, bawang bombai, hingga kemiri.

"Kentang impor bisa beli dari sales sekitar Rp 7 ribu per kilo­gram. Sedangkan, kentang lokal seperti dari Dieng harga beli untuk pedagang bisa Rp 11 ribu per kilogram," kata Nia.

Menurut Nia, kualitas ken­tang dari Dieng memang nomor satu. Kualitas dengan kadar air rendah, lebih mulus teksturnya. Tapi, sering kali kentang ini tidak laku karena harganya terlalu tinggi. Tukang sayur yang akan menjual lagi, enggan membeli kentang dengan harga tinggi.

Santi, pedagang kentang lainnya di pasar itu menyebut, pedagang siomay merupakan kelompok pem­beli yang paling banyak mencari kentang impor. Harganya yang murah jadi alasan utamanya.

"Kualitas kurang bagus yang impor, kalau digoreng buat perkedel nggak cocok, kalau digoreng dia hangus. Tukang nasi warteg nggak pakai. Tapi, buat kentang rebusan bagus, buat siomay dan sop, makanya yang cari kebanyakan pedagang siomay," jelas Santi.

Diungkapkannya, pembeli kentang yang biasanya untuk dijual kembali sangat sensitif pada perubahan harga. Harga kentang lokal saat ini sedang tinggi hingga mencapai Rp 11 ribu/kg. Padahal sebelumnya hanya Rp 7-8 ribu/kg.

"Ini saja tukang stik kentang yang jualan di sekolahan, karena kentang mahal saja nggak pada jualan, ganti jualan cireng. Yang tadinya dagang stik diecer ke anak-anak sekolah seribu satu, sekarang kentang mahal nggak pada jualan. Nggak kebeli, dari petaninya belum turunin juga, ini maunya Rp 11 ribu per kilo," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA