Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tak Ada Lagi Penelitian Di Situs Gunung Padang

Jumlah Pengunjungnya Pun Menurun Drastis

Senin, 31 Oktober 2016, 10:07 WIB
Tak Ada Lagi Penelitian Di Situs Gunung Padang
Foto/Net
rmol news logo Gencarnya penelitian beberapa tahun terakhir, membuat Situs Megalitikum Gunung Padang mendapat perhatian masyarakat, juga negara lain.

Namun, beberapa waktu tera­khir, kegiatan penelitian di situs tersebut dihentikan. Pemerintah daerah malah memfokuskan pembebasan lahan sebagai zona penunjang Gunung Padang.

Awal pekan ini, Rakyat Merdeka berkunjung ke situs terse­but. Tidak sulit menemukan situs yang terletak di Dusun Gunung Padang, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat ini.

Situs ini terletak pada keting­gian 885 meter di atas permukaan laut (mdpl). Untuk menuju situs tersebut, para pengunjung dapat melalui Jalan Nasional Sukabumi-Cianjur. Sampai di wilayah Kecamatan Warung Kondang, Cianjur, pengunjung memasuki sebuah jalan di sebelah kanan jika menuju Cianjur, dan sebaliknya jika menuju Sukabumi.

Papan penunjuk situs Gunung Padang terpampang jelas di jalanmasuk selebar kira-kira 15 meter tersebut. Dari akses masuk, untuk mencapai situs Gunung Padang, pengunjung harus menempuh jarak sekira 20 kilometer dengankontur jalan bervariasi.

Sayangnya, akses jalan menuju Gunung Padang belum sepenuh­nya memberikan kenyamanan. Jalanan cukup mulus beberapa kilometer dari akses masuk. Namun, saat memasuki sepertiga perjalanan, pengunjung mulai merasakan ketidaknyamanan.

Jalanan berlubang di beberapa bagian. Lebar jalan pun semakin bervariasi. Kadang menyempit dan melebar, melewati beberapa perkampungan dan perkebunan warga. Di tiga kilometer terakhir,para pengunjung disuguhi pe­mandangan perkebunan teh dan pegunungan. Butuh satu jam berkendara roda empat untuk mencapai titik gerbang ke situs Gunung Padang dari akses masuk di Warung Kondang.

Ria, seorang pengunjung si­tus tersebut menyayangkan rusaknya infrastruktur jalan di beberapa bagian. Menurutnya, wisatawan akan berubah pikiran jika melihat infrastruktur untuk ke situs Gunung Padang.

"Takutnya pengunjung yang sudah datang jauh-jauh jadi berubah pikiran karena melihat kondisi jalan. Apalagi, jarak dari jalan utama menuju ke Gunung Padang lumayan jauh, perlu satu jam. Sayang, padahal kawasan wisata Gunung Padang sudah mendunia," sesalnya.

Sampai di kaki situs Gunung Padang, dua buah bangunan menyambut para pengunjung. Bangunan pertama, letaknya di sebelah kiri pintu masuk. Bangunan tersebut adalah pusat in­formasi mengenai situs Gunung Padang. Bangunan kedua, uku­rannya lebih kecil, kira-kira 2x2 meter persegi. Bangunan itu merupakan loket pembelian tiket masuk ke situs tersebut. Pengunjung harus membayar Rp 5 ribu per kepala untuk masuk ke Gunung Padang.

Dari loket pembelian tiket, pengunjung akan memasuki gapura. Lewat dari gapura kecil, para pengunjung diberikan dua pilihan jalan menaiki tangga menuju puncak. Tangga perta­ma, jaraknya 175 meter menuju puncak. Namun, tangga yang terletak persis di samping mata air atau sumur Kahuripan itu cu­kup curam. Pilihan tangga kedua lebih landai. Jaraknya 300 meter menuju puncak.

Rata-rata pengunjung mem­butuhkan waktu 15 menit untuk menuju puncak situs tersebut. Sampai di puncak, pengunjung langsung berada di bagian per­tama Gunung Padang yang terdiri dari lima teras. Teras satu merupakan bagian paling besar. Pengunjung harus mendaki deretan anak tangga dari teras pertama hingga mencapai pun­cak teras, yakni teras ke lima. Di lima teras tersebut, berserakan batu-batuan yang diperkirakan peninggalan purbakala.

Nanang Sukmana, Koordinator Juru Pelihara Situs Gunung Padang mengatakan, sejak 2014 tidak ada lagi kegiatan peneli­tian. Saat ini, lanjutnya, kegiatan pengembangan situs tersebut ber­fokus pada pembebasan lahan.

"Pembebasan lahan itu sebagaizona penyangga dari zona inti Gunung Padang. Karena me­mang luas sesungguhnya lebih besar dari luaz zona saat ini," katanya saat ngobrol dengan Rakyat Merdeka.

Lebih lanjut, Nanang menyata­kan bahwa menurut pemerintah, luas Situs Gunung Padang mu­lanya hanya 4,5 hektar. Namun, setelah dilakukan penelitian dan ekskavasi, Situs Gunung Padang memiliki luas 29 hektar dengan tinggi mencapai 220 meter.

"Makanya, pemerintah melakukan relokasi di areal situs seluas 19 hektar, dan sekarang sudah selesai," ucapnya.

Dia menjelaskan, dari 19 hektar, hanya ada lima rumahyang direlokasi. Sisanya, lahanpertanian milik desa dan warga, tepatnya di Kampung Cikuta. "Kalau pemukiman di Kampung Cipanggulaan tidak direlokasi meski dekat dengan situs," ucapnya.

Setelah pembebasan lahan, menurut Nanang, pemerintah be­rencana membangun zonasi atau pembatas antara pemukiman dan area Situs Gunung Padang, agar tidak sembarang orang keluar-masuk situs. Selain itu, akan dibangun zona penyangga, zona inti, dan zona pemanfaatan wisata. "Kami tidak tahu rencana itu akan direalisasi kapan. Kami berharap segera ada pembangu­nan zona-zona," tuturnya.

Nanang meyakini, jika zona wisata dikembangkan, maka situsini akan ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah. Sebab, saat ini jumlah pengunjung se­makin menyusut karena wisatawan bosan dengan suasananya.

"Musim papajar atau munggah tahun ini, jumlah pengunjung hanya 1.500 orang. Kalau tahun lalu, bisa mencapai 3.000 orang pada Sabtu dan Minggu saja," ujarnya.

Latar Belakang
Dianggap Masyarakat Setempat Sebagai Lokasi Prabu Siliwangi


Sempat meramaikan pemberitaan pada 2013-2014, Situs Megalitikum Gunung Padang yang berada di Desa Campaka, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, tetap menjadi destinasi wisata bagi penggemar wisata alam dan sejarah.

Menjadi topik yang kontrover­sial sejak diteliti Tim Terpadu Penelitian Mandiri atau yang dulunya bernama Tim Katastrofi Purba yang diinisasi kantor Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial pimpinan Andi Arief.

Tim Terpadu Penelitian Mandiri yang diarahkan Dr Danny Hilman Natawidjaja, geolog dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kemudian memberikan beberapa simpulan yang berbeda dengan tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) yang pernah meneliti sebelumnya. Lalu, ada juga petisi dari 34 arkeolog dan geolog atas rencana ekskavasi massal situs megalitikum terbe­sar di Asia Tenggara itu.

Terlepas dari kontroversi, kondisi alam dan lingkungan Desa Campaka, Kabupaten Cianjur, terlebih Kampung Gunung Padang, di mana situs tersebut berada, sungguh elok untuk disambangi. Cuaca sejuk dan suasana dengan dominasi hijau dan bebukitan, jauh dari perkotaan, menambah indah kawasan tersebut.

Pantas saja, dengan panorama alamtersebut, menurut warga, ada tiga Presiden Republik Indonesia yang pernah berkunjung ke Gunung Padang, mulai dari Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Sebenarnya, telah lama tum­pukan batu-batu persegi besar di atas Gunung Padang diketahui penduduk sekitar. Mereka men­ganggapnya sebagai lokasi Prabu Siliwangi, penguasa turun-temu­run Kerajaan Pajajaran yang masyhur, berusaha membangun istana dalam semalam.

Keberadaan Gunung Padang baru terbuka ke hadapan umum, melalui sejarawan Belanda, NJ Krom pada 1914. Namun, Gunung Padang tidak pernah diteliti Belanda. Krom saat itu hanya me­nyebutnya sebagai makam purba yang terdiri atas empat teras.

Kemudian, sempat dilupakan dan masyarakat kembali melaporkannya pada 1979, yang akhirnya dilanjutkan dengan penelitian oleh Puslit Arkenas dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nah, kontroversinya adalah Tim Terpadu Penelitian Mandiri menyebutkan, berdasarkan analisisgeologi atau analisis karbon, Gunung Padang menyimpan ruangan bagian bangunan pada kedalaman 19 meter, yang berasal dari masa lebih dari 10.000 tahun sebelum masehi (SM). Ruangan itu berada di zona yang disebut lapisan budaya tiga dan empat dalam penelitiannya.

Sebelumnya, tim menduga bahwa Gunung Padang me­nyimpan bangunan tua. Bangunan tersebut berupa punden berundak yang disebutkan lebih besar dan lebih tua dari situs fenomenal Piramida Giza di Mesir. Menurut riset tim ini, ruangan tersebut membuktikan bahwa bangunan yang dimak­sud benar-benar ada.

Riset Tim Terpadu Penelitian Mandiri memang cukup fenom­enal, pernah menjadi prioritas penelitian nasional. Area pene­litian pun yang semula seluas 1,7 hektare, lewat Peraturan Gubernur Jawa Barat diperluas menjadi 25 hektare.

Sementara itu, Puslit Arkenas menyebutkan bahwa perkiraan usia situs bebatuan Gunung Padang berasal dari masa sekira 2.500-1.500 SM. Menurut Puslit Arkenas, situs megalitik itu hanya teras batu bergaya menhir di puncak bukitnya saja, ber­dasarkan hasil penelitian dari 1979-2005, yakni situs yang ada di dalam pagar.

Namun, Tim Terpadu Mandiri menyebutkan, mungkin seluruh bukit dengan tinggi 100 meter atau paling tidak sekitar sepertigadari puncak, merupakan situs.

Puslit Arkenas dan Tim Terpadu Mandiri juga berbeda pendapat soal tingkat peradaban di sekitar wilayah Gunung Padang. Menurut Arkenas, peradaban di sana seusia situs, masih sangat sederhana atau primitif dari masa sebelum masehi. Istilah mahakarya pendapat Arkenas, bermaksud menyebutkan maha­karya dari bangsa primitif.

Sementara itu, Tim Terpadu Mandiri menyebutkan, Situs Gunung Padang bukan hasil satu generasi, tetapi multigenerasi. Menurut mereka, yang paling atas bergaya menhir mungkin peradaban sederhana, hanya menata ulang reruntuhan batuan yang sudah ada, kemungkinan berumur sekira 600 SMatau lebih muda.

Namun, dua meter di bawah­nya, diselingi tanah timbun ada­lah bangunan yang sangat maju, yang dibuat dari susunan batu-batu kolom, yang diperlakukan seperti batu bata, tersusun rapi dan diisi atau terbungkus semen. Kemungkinan hal itu berasal dari peradaban sekira umur 4.600 SM. Di bawahnya lagi, masih ada struktur bangunan yang lebih tua.

Menurut Ketua Tim Arkeolog dari Tim Terpadu Mandiri, Dr Ali Akbar, bila terbukti Gunung Padang merupakan bangunan peninggalan peradaban maju, itu akan membangkitkan ke­banggan masyarakat Indonesia sebagai bangsa. Seperti halnya keberadaan situs Machu Picchu bagi bangsa Peru. Machu Picchu usianya lebih muda dari Candi Borobudur.

Borobudur yang megah saat ditemukan, hanya berupa ong­gokan bukit batu yang ditum­buhi semak dan pepohonan. Menurutnya, apalagi Gunung Padang yang memiliki dua versi peradaban, usia 2.500 SM dan 10.000 SM.

Untuk menguak usia dan bentuk Gunung Padang yang sebenarnya, memerlukan sum­ber daya besar dan waktu yang lama. Namun, situs Gunung Padang mengindikasikan adanya kemampuan teknologi hingga sosial budaya dari nenek moyangkita, yang sudah jauh lebih modern dari catatan sejarah ilmu pengatahuan dan peradaban yang diyakini selama ini.

Oleh karena itu, situs Gunung Padang bisa dijadikan destinasi wisata alam, sejarah dan ilmu pengetahuan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA