Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Di Selasar, Pilot Penggugat Menunggu Orang Lion Air

Melongok Sidang Kasus Tak Mau Terbang di PN Jakpus

Kamis, 22 Oktober 2015, 09:01 WIB
Di Selasar, Pilot Penggugat Menunggu Orang Lion Air
Kapten Oliver, pilot maskapai penerbangan Lion Air/net
rmol news logo Seorang pilot Lion Air, mengaku tidak digaji lantaran tak mau menerbangkan pesawat yang rusak.
 
Kapten Oliver, pilot maskapai penerbangan Lion Air mendatangi ruang sidang Prof R Oemar Senoadji di lantai dua Gedung Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (20/1).

Menggunakan pakaian pilot lengkap, Oliver, menjadi pusat perhatian siapa pun yang me­lihatnya. Tidak menghiraukan pandangan sekitar, Oliver ber­sama tim pengacaranya duduk di bangku selasar.

Dia menanti tim kuasa hukum Lion Air, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir. Antara Oliver dan PT Lion Mentari Airlines, terjadi perseteruan hukum.

Tepat jam 10 pagi, Selasa lalu, adalah jadwal agenda sidang duplik berupa tanggapan pihak Lion Air atas tuntutan Oliver. Sang pilot, menuntut tempatnya bekerja karena tidak memberikan gaji dan tunjangannya sebagai pilot, sejak Maret 2015.

"Saya sampai jual dua mobil untuk biaya hidup dan kuliah em­pat anak saya," ujar Oliver sam­bil menyandarkan pundaknya di bangku tunggu.

Sambil menerawangkan pan­dangannya ke atas, Oliver angkat bicara mengenai penyebab di­rinya bersengketa hukum dengan Lion Air. Kasus perdata di meja hijau, terjadi karena Oliver tidak mau menerbangkan Pesawat Lion Air Boeing 737-900 ER, Jakarta-Jambi, dengan Nomor penerbangan JT602, pada 27 Desember 2014. Soalnya, ada kerusakan mesin. Setidaknya, begitu menurut Oliver.

Bagaimana versi Lion Air? Dihubungi secara terpisah, Direktur Umum Lion Air, Edward Sirait tidak mau berkomentar. Dia menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada proses hukum yang tengah berjalan.

Versi Oliver, kisah ini bermula dari tiga jam sebelum jadwal penerbangan Jakarta-Jambi pada jam dua siang. Oliver melakukan persiapan pada Pesawat Boeing Lion Air 737-900 ER. Sesuai standar operasional prosedur (SOP), Oliver melakukan briefing terlebih dahulu kepada co-pilot, pramugari, dan kru pesawat untuk persiapan take off atau siap terbang.

Hingga 30 menit sebelum jad­wal terbang, penumpang diminta masuk ke dalam pesawat. "Ada 207 penumpang sudah di dalam pesawat. Belalai pesawat dico­pot, kemudian pesawat didorong mundur untuk posisi take off," ujar Oliver.

Pilot dengan 11.300 jam ter­bang ini, sudah terbiasa berada di balik kokpit pesawat. Satu per satu mesin pesawat dinyalakan. Mulai dari menekan tombol mesin nomor yang berada di sisi kanan pesawat.

Begitu tombol mesin nomor dua ditekan, cerita Oliver, layar monitor radar komputer pesawat mendeteksi komponen mesin pesawat meningkat dengan ce­pat dan tinggi. Dari layar, tertera angka di atas 700 dengan cepat.

Normalnya, menurut dia, tem­peratur mesin berada di angka 525. Indikator di dalam pesawat pun berkelip merah, tanda ada masalah. "Ada dua mesin pe­sawat. Saya langsung matikan mesin nomor dua. Karena takut mesin panas dan meledak," cerita Oliver.

Alhasil, Oliver mengontak teknisi. Dia melapor, kondisi mesin nomor dua di pesawat itu rusak. "Mesin tidak dapat stabil," Oliver mengingat ucapannya itu kepada teknisi pesawat.

Setelah itu, teknisi meminta Oliver untuk menghidupkan mesin nomor satu. Sesuai arahan teknisi, Oliver menyalakan mesin nomor satu atau yang berada di sisi kiri pesawat. Menyalakan mesin lebih dahulu di sisi kanan, karena demi keamanan lantaran pintu penumpang berada di sisi kiri pesawat.

Bagitu tombol mesin nomor satu ditekan, mesin pesawat menyala stabil. Teknisi pun mengarahkan Oliver untuk menyala­kan kembali mesin nomor dua. Hasilnya, mesin pesawat nomor dua tetap dalam kondisi hot start atau temperatur meningkat dengan sangat cepat dan tinggi.

Atas kerusakan itu, total 207 penumpang diturunkan. Pesawat Lion Air Boeing 737-900 ER, dengan nomor penerbangan JT602 dinyatakan rusak mesin nomor 2 EGT. Alhasil, pesawat pun di­parkir kembali ke apron pesawat.

Pesawat cadangan pun dikeluarkan. Penggantinya, adalah Pesawat Boeing 737-800 NG. Oliver selaku kapten pilot memasuki kokpit beserta seluruh kru. Penumpang pun diminta masuk ke dalam pesawat pengganti.

Kali ini, Oliver menyalakan mesin nomor satu atau di sisi kiri pesawat terlebih dahulu. Hasilnya, menyala dan temperaturnya normal. Namun, per­masalahan serupa di pesawat sebelumnya kembali terjadi. Mesin nomor dua di sisi kanan tidak dapat distabilkan dan da­lam keadaan hot start.

Seperti pesawat pertama, pesa­wat kedua juga dikembalikan ke apron atau return to apron (RTA). Kepada penumpang, Oliver mengumumkan sesuai SOP yang ditentukan penerbangan, bahwa pesawat mengalami kerusakan mesin, sehingga penerbangan delay atau pending.

"Dua kali dapat pesawat rusak, membuat saya stres. Saya juga punya rasa takut. Saya menduga ada yang tidak benar. Karena kerusakan itu berulang, dan sama," cerita Oliver.

Alhasil, Oliver memutuskan untuk tidak menerbangkan pe­sawat pada hari itu. Pilot lulusan Sekolah Tinggi Penerbangan Indonesia (STPI) Curug, Tangerang tahun 1987 itu memberita­hukan kru kemungkinan terbang dengan kapten pilot lain yang standby. "Saya merasa sakit," kata Oliver.

Kemudian, dia mengaku lang­sung check up ke rumah sakit di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. "Hasilnya, dokter menganjurkan istirahat total dari tanggal 28-31 Desember," tambahnya.

Memasuki tahun baru 2015. Oliver sudah merasa pulih pas­catrauma karena mendapat­kan pesawat rusak. Ternyata, dia mengaku, sudah mendapat sanksi atas tiga peringatan dari perusahaan. Peringatan pertama tertanggal 27 Desember 2014 karena meninggalkan pesawat. Kedua, tanggal 28 Desember karena tidak datang menghadap pihak perusahaan, dan ketiga tanggal 29 Desember karena tidak datang atas panggilan pertama.

Atas peristiwa itu, menurut Oliver, pihak Lion Air tidak memberikan jadwal terbang ke­padanya. Selain itu, seluruh gaji dan tunjangan diberikan hingga bulan Februari saja. Sejak Maret hingga saat ini, Oliver mengaku tidak diberikan gaji, namun tidak dipecat perusahaan "Nasib saya digantung," kata Oliver.

Azan zuhur berkumandang, Oliver beserta tim pengacaranya sudah menunggu pihak Lion Air selama dua jam. Piihak tergugat, yaitu Lion Air tidak datang. Alhasil, sidang dilanjutkan pekan depan.

Sebelumnya, saat proses mediasi pada Juli lalu di PN Jakarta Pusat, pengacara Lion Air, Nursirwin menyatakan, penghentian pembayaran gaji tersebut bukan tanpa alasan. Dia menilai, Oliver sebagai pi­lot tidak disiplin karena dalam waktu yang cukup lama mangkir dari tugas.

Dia menceritakan, kasus ini bermula saat Oliver enggan menerbangkan pesawat dengan alasan mesin rusak. Pihak Lion Air kemudian mengganti dengan pesawat yang baru. "Namun saat dicoba lagi oleh Oliver, katanya rusak lagi," ujar Nursirwin seperti dilansir Media Online.

Oliver kemudian meninggal­kan pesawat tanpa pemberita­huan dan tidak masuk selama tiga hari. Lion Air memberinya surat peringatan, tetapi dia tetap tidak masuk dan tidak menjalankan tugasnya sebagai pilot.

Oliver terhitung masih pilot baru di Lion Air. Nursirwin menyebutkan, dia menjadi pilot Lion belum sampai enam bulan. "Dia melanggar perjanjian kerja pilot yang sudah disepakati, dan secara otomatis dianggap mengundurkan diri tanpa pemberitahuan, tetapi ini malah Lion yang digugat," kata Nursirwin.

Dia menyebutkan, Lion Air tetap membayarkan gaji selama tiga bulan setelah Oliver tidak masuk.

Dalam petitumnya, Oliver me­minta pengadilan membatalkan Perjanjian Pendidikan Penerbang No. 2104/JT-DI/PDDK/IX-2013, tanggal 12 September 2013, dan Perjanjian Ikatan Dinas Penerbang No. 3534/JT/DI/PKCC/IX/2014, tanggal 30 September 2014.

Oliver menuntut Lion Air membayar gaji dan tunjangan terhitung sejak Maret 2015 sampai dengan adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak hanya itu, sebagai peng­gugat, Oliver juga menuntut Lion Air untuk membayarkan kekurangan pembayaran keahlian senilai Rp 150 juta.

Dia pun meminta pengadilan menyatakan pasal tentang ganti rugi dalam perjanjian ikatan dinas yang pernah ditandatanganinya, batal demi hukum. Pasal tersebut menyatakan, dirinya sebagai pihak kedua memiliki kewajiban mengganti biaya pendidikan dan pelatihan serta ganti rugi senilai 98.266 dolar Amerika. Untuk kerugian immateriil, peng­gugat menuntut tergugat memba­yar Rp 5 miliar. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA