Natalia tidak sendiri. Terdapat belasan mahasiswa lain yang berada di lantai 2, tempatnya turun tadi. Mereka terlihat duduk di ruang tunggu, yang berada tepat di depan loket adminisÂtrasi. Kebanyakan dari mereka tampak membawa binder, yang berisi KRS.
Pada 20 September masa orientasi mahasiswa baru saja selesai dan perkuliahan akan dimulai. "Senin itu hari pertama kuliah. Jadi masih ada yang ngurus KRS," ujar mahasiswi jurusan Teknologi Informatika ini.
Suasana di kampus milik Yayasan Aldiana Nusantara (YAN) itu cukup normal, layaknya tempat pendidikan. Di lantai 3, beberapa pintu kelas yang tertutup rapat. Dari dalam sayup terdengar terjadinya aktivitas perkuliahan.
Sementara itu di lantai dasar, belasan mahasiswa tampak nonÂgkrong di halaman, kantin, dan parkiran gedung. Obrolan yang terdengar kebanyakan hanya seputar kehidupan pribadi, dan kuliah. Hanya 1-2 orang mahaÂsiswa yang membicarakan soal pemberitaan negatif tentang kampus tempat mereka menimba ilmu.
"Bukannya nggak tahu sih soal berita yang menyebut sekoÂlah ini abal-abal. Banyak mahaÂsiswa yang resah sejak kemarin. Tapi mungkin mereka lebih suka fokus kerjain yang lain," ungÂkap wanita asal Kupang, Nusa Tenggara Timur itu.
Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi mengÂgerebek acara wisuda di aula Universitas Terbuka, Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Sabtu lalu. Acara wisuda itu dituding tanpa izin dari Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis), dan tidak melapor ke pangkalan data pendidikan tinggi. "Mereka melakukan pembelajaran kelas jauh dan setelah ditelusuri ternyata tidak ada pembelajaran. Jadi seperti jual-beli ijazah. Ini pelanggaÂran," kata Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Supriadi Rustad.
Wisuda untuk diikuti beberapa perguruan tinggi yang dikelola Yayasan Aldiana Nusantara. Antara lain STTTelematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ganesha, serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa. Kampus-kampus itu membuka pembelajaran kelas jauh. Ada yang di Sulawesi Selatan, Sopeng, Papua, Ambon, dan Nusa Tenggara Timur.
Menurut Natalia, berita negatif tentang kampusnya membuat beberapa mahasiswa menjadi tak bersemangat kuliah. beberapa mempertimbangkan untuk keluar.
"Setahu saya sampai sekarang sih belum ada yang resmi keluar. Tapi yang bilang kepada saya lagi berpikir untuk keluar sudah beberapa orang," ungkapnya.
Bukan hanya mahasiswa saja yang resah atas kelanjutan studi mereka. Orang tuanya juga. "Orang tua saya telepon setelah lihat beritanya di televisi. Mereka katanya khawatir, dengan reaksi saya setelah mendengar kabar wisuda digerebek. Mereka khawatir saya langsung memutuskan untuk keluar, karena pemberitaan itu," kata dia.
Orang tua Natalia meminta agar putrinya bertahan, dan fokus untuk menjalani kuliahnya. "Saya diminta untuk tenang, dan menunggu perkembangan. Jadi walau sebetulnya takut, saya akan tetap fokus berkuliah saja," tandasnya.
Hal senada diungkapkan Vincent, mahasiswa jurusan Teknologi Informatika lainnya. Mahasiswa sementer 4 ini juga tak berencana untuk keluar dari sekolah tersebut. Vincent suÂdah memutuskan untuk fokus berkuliah sambil menunggu perkembangan.
"Soalnya pesan dari orang tua saya hampir sama dengan Natalia. Jadi saya serahkan masalah ini kepada orang tua, pemda, dan pihak yayasan dullu," jelas dia.
Pria yang baru masuk ke STTtahun lalu ini tak mengerti keÂnapa tiba-tiba timbul masalah tersebut. Sebab pada wisuda tahun 2014, tidak ada masalah seperti yang terjadi kemarin.
Ia yakin, masalah ini akan segera selesai, dan perkuliahan mereka bisa berjalan normal kembali. "Sebab saya yakin, tempat ini sebetulnya sudah memenuhi aturan yang berlaku. Kalau tidak, bagaimana mungÂkin pemda mengirim kami untuk belajar di sini," ungkap dia.
Natalia dan Vincent termasuk mahasiswa penerima beasiswa dari Pemerintah Provinsi NTT pada 2014. Sejak tahun lalu, mereka berdua sudah berkuliah di STT Telematika.
"Ada mahasiswa berasal dari Sulawesi, Toraja, Ambon, dan daerah lainnya di sini. Tapi setahu saya semua belajar di sini. Tidak di daerah masing-masing seperti yang ramai diberitakan," kata Vincent.
Penanggungjawab Program Beasiswa, Habibi Darusalam menyatakan, saat ini ada 2.000 mahasiswa dari lebih 100 daerah yang bersekolah di tempat ini. Mereka semua adalah para maÂhasiswa yang mendapat beaÂsiswa dari pemerintah daerah masing-masing.
Sebelum kuliah, mereka melalui tahap seleksi di daerah masing-masing, mereka kemuÂdian di kirim ke Tangsel untuk mengikuti pendidikan di tempat tersebut. "Selama menempuh pendidikan, mereka tinggal di asrama, kontrakan, atau kos-kosan, dan belajar di gedung ini," tukasnya.
Habibi menyatakan, selama masa pendidikan, para mahaÂsiswa penerima beasiswa tidak pernah pulang. Sebab kebanyaÂkan berasal dari kalangan kurang mampu. Biaya bolak-balik ke daerah asal mahal.
"Yang pulang ke daerah asal, paling hanya yang menjalani program magang. Program ini dulu diwajibkan untuk mahaÂsiswa semester akhir. Jadi tidak benar kalau disebutkan kami membuka sekolah jauh," tegasÂnya.
"Setiap Tahun Kami Perpanjang Akreditasi"YAN Bantah Kampusnya IlegalYayasan Aldiana Nusantara (YAN) menyangkal tudingan bahwa kampus-kampus yang dikelolanya tak melakukan perkuliahan dan melakukan wisuda ilegal.
Ketua Yayasan Alimuddin menilai tudingan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) terhadap kampusÂnya tak berdasarkan data.
"Kita punya sejumlah bukti untuk membantahnya. Ada kok Akreditasi BAN PT(Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi), surat rekomendasi pemda, dan dokumen surat pernyataan lainnya," kata Alimuddin kepada awak media saat dijumpai di kantornya, Jalan Legoso Raya, Ciputat, Tangerang Selatan.
Dia mengatakan, perguÂruan tinggi yang sudah berdiri sejak tahun 2000 ini telah menempuh seluruh prosedur yang dikeluarkan pemerintah untuk membuka perkuliahan. "Setahun sekali kita juga memÂperpanjang akreditasi kamÂpus," imbuhnya.
Lantaran itu, Alimuddin meÂminta Kemenristek Dikti seharÂusnya memperlakukan kampus-kampus yang bernaung di bawah YAN sebagai lembaga pendidikan. "Ya, kalau ada prosedur yang mungkin belum terselesaikan, panggil kami. Ini kan lembaga pendidikan, bukan begitu caranya (dengan menggerebek)," sesalnya.
Menurut dia, insiden pengÂgerebekan itu terjadi lantaran kesalahpahaman saja. Ia menÂjelaskan, acara wisuda juga tidak perlu diberitahukan, karena tidak ada peraturan yang mengharuskan Kementerian terkait harus mengetahuinya.
"Saya yang menemuinya, saya ajak petugas ke lantai tiga UT, berbicara, tapi banyak medianya, sehingga dibilang penggerebekan," katanya
Terkait penandatanganan surat BAP yang menyatakan kampus yang dikelolah YAN adalah palsu, dia pun membela diri. "Saya menandatangani surat BAP karena terdesak, lantaran saya dikerubutin banyak media dan petugas Kemenristek Dikti," dalihnya.
Sabtu lalu Kemendikti menggerebek acara wisuda lulusan kampus yang dikelola YAN. Wisuda itu digelar di aula gedung Universitas Terbuka (UT), Pondok Cabe, Tangerang Selatang.
Kemenristek Dikti menudÂing, sejumlah kampus yang melakukan wisuda gabungan itu tidak terdaftar tapi nekat mengeluarkan wisudawan. Artinya, ijazah yang dikeluarÂkan tidak diakui.
Kampus-kampus berada dikelola YAN yakni STTTelematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ganesha dan Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STIKIP) Suluh Bangsa.
Pasca penggerebeka, aktiviÂtas perkuliahan di kampus yang terletak di Jalan Legoso Raya, Ciputat, Tangerang Selatan berjalan normal. Ratusan maÂhasiswa keluar-masuk kampus. Sejumlah mahasiswa terlihat sedang registrasi kuliah di beberapa lokasi. Sebagian mahasiswa sudah mulai aktif berkuliah.
Wisuda Tanpa Pemberitahuan, Izin PT Dicabut
Ketua Tim Evaluasi Kinerja Akademik Perguruan Tinggi Kemenristek Dikti, Supriadi Rustad, menilai perguruan tinggi (PT) yang tergabung daÂlam Yayasan Aldiana Nusantara telah melakukan pelanggaran berat lantaran menyelenggaÂrakan wisuda tanpa izin dari Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis).
"Saya sudah usulkan untuk dicabut izinnya. Tapi, untuk langkah hukum merupakan keÂwenangan yang berwajib (polisi)," ucapnya saat dihubungi wartawan, kemarin.
Supriadi menyatakan, para calon wisudawan itu tersebut bukanlah mahasiswa. Meski sudah mengeluarkan biaya yang cukup mahal untuk mendapat ijazah sarjana dari kamÂpus yang dikelola Yayasan Aldiana Nusantara.
Supriadi menilai itu meruÂpakan risiko yang harus diÂterima karena mereka memilih cara instan untuk mendapatkan gelar sarjana.
"Untuk korbannya, kami tidak ada tindak lanjut mau diapakan, karena mereka buÂkan mahasiswa. Serahkan saja ke polisi," imbuhnya.
Supriadi menambahkan, pihak Kemenristek Dikti siap membantu jika kepolisian unÂtuk menindak kasus penipuan yang dilakukan perguruan tinggi terhadap orang yang ingin mendapatkan ijazah dan gelar tanpa melalui proses perkuliahan. "Untuk kasus kemarin memang belum ke arah hukum," ujarnya.
Untuk pembinaan ke depan, Supriadi menilai pelanggaran berat harus diberi sanksi tegas supaya menimbulkan efek jera bagi pihak lain yang berniat ingin melanggar aturan.
"Seperti kalau punya pacar penipu, bagaimana membinanya. Tentu langkah terbaik adalah memutuskan. Begitu juga dengan kasus ini," tandasnya.
Pada Sabtu, 19 September 2015, Yayasan Aldiana Nusantara menyelenggarakan acara wisuda tanpa seizin Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) dan tidak melapor ke pangkalan data pendidikan tingÂgi. Wisuda bodong tersebut diiÂkuti beberapa perguruan tinggi. Antara lain Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telematika, Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Ganesha, serta Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Suluh Bangsa.
Berdasarkan daftar hadir, dalam ruangan ada 1.200 orang yang akan diwisuda. Namun berdasarkan data yayasan hanÂya 738 orang. Sisanya, sebanÂyak 462 wisudawan yang tidak pernah mengikuti kelas kuliah, tapi ikut diwisuda. ***