Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Ketahuan Produksi, 75 Kg Kedelai Dibuang Ke Kali

Bahan Baku Mahal, Perajin Mogok Bikin Tahu Tempe

Rabu, 25 Juli 2012, 09:47 WIB
Ketahuan Produksi, 75 Kg Kedelai Dibuang Ke Kali
kedelai

rmol news logo Tiga hari ke depan warga Jakarta dan sekitarnya siap-siap untuk tidak mengonsumsi tahu dan tempe. Soalnya, seluruh produsen makanan itu sepakat mogok produksi.

 Aksi mogok produksi itu me­nyusul kenaikan harga kedelai—bahan baku tahu dan tempe—yang hampir 50 persen. Dari Rp 5.500 menjadi Rp 8.200 per ki­lo­gram. Produsen yang tetap ne­kat membuat tahu dan tempe ba­kal di-sweeping. Pelaku sweeping produ­sen tahu dan tempe juga yang mendukung aksi mogok produksi.

Seperti yang terjadi Senin ma­lam (23/7). Ratusan orang men­datangi Anas, produsen tahu dan tempe di Kampung Rawa, Johar Baru, Jakarta Pusat. Anas di­anggap tak mendukung aksi mo­gok produksi.

Saat ditemui kemarin, kesedi­han masih terlihat di wajah pria berusia 32 tahun ini. Ia duduk le­mas bersandar ke meja kayu panjang. Matanya menatap kali kecil persis di depan rumahnya.

Terlihat gumpalan-gumpalan kacang kedelai di dasar kali ber­campur dengan sampah. “Ka­cang ke­delai itu milik saya yang su­dah di­rebus untuk dibuat men­jadi tempe. Kacang kedelai itu menjadi korban sweeping dari perkumpulan pengusaha tempe dan tahu di Jakarta,” katanya sambil menunjuk ke dalam dasar kali yang lebarnya tidak sampai dua meter itu.

­Anas tinggal di rumah berlantai dua yang terbuat dari kayu dan triplek. Lantai dasar digunakan untuk memproduksi tempe dan tahu. Beberapa peralatan yang di­gunakan untuk membuat dua panganan tradisional itu terlihat tergeletak di lantai ini. Sementara lantai atas digunakan sebagai tempat tinggal. Lantai ini disekat-sekat menjadi beberapa kamar. Dindingnya dari tripleks.

Ada 10 keluarga yang meng­gan­tungkan hidup dari usaha pem­buatan tempe dan tahu ini. Setiap hari, Anas dan keempat ka­wannya memproduksi tempe. Yang lain membuat tahu.

Anas menceritakan, Senin ma­lam (23/7) sekitar seratus orang mendatangi tempat tinggalnya. Saat itu, Anas dan tujuh temannya yang tinggal di rumah itu me­mang sedang sibuk membuat tem­pe dan tahu.

“Kami kaget karena sebelum­nya tidak tahu kalau akan di­da­tangi. Saya yang sudah merebus 75 kilogram kedelai untuk mem­buat tempe jadi korban aksi ter­sebut,” tutur pria asal Pe­ka­lo­ngan, Jawa Tengah ini.

Kedelai yang berada di kuali besar digotong beramai-ramai oleh pelaku sweeping. Tanpa ba­nyak bicara, mereka membuang kedelai ke kali di depan rumah.

Anas mengaku rugi besar aki­bat aksi ini. Sebelumnya, ia me­ngaku tetap memproduksi tempe dan tahu walaupun keunt­u­ngan­nya minim. Harga kedelai naik, tapi dia tak berani menaikkan har­ga tahu dan tempe. Sebab bakal diprotes pembeli.

“Kami berpikir, daripada tidak beroperasi sama sekali lebih baik tetap usaha meskipun jumlahnya dikurangi. Tapi dengan kejadian semalam, tentunya saya harus me­ngikuti aturan untuk tidak ber­dagang selama tiga hari,” kata pria berambut ikal hitam ini.

Anas menuturkan, pada Sabtu lalu (21/7) mendapat mendapat­kan selebaran. Isinya, produsen tahu dan tempe diajak mogok pro­dusen pada hari Rabu-Jumat karena harga kedelai yang terus naik. “Kalau kami tahu akan ada sweeping semalam, tentu kami tidak akan buat tempe,” sesalnya.

Sejak beberapa hari terakhir Anas sudah mengurangi jatah kedelai yang diproduksi untuk membuat tempe. “Biasanya saya siapkan 90 kilo untuk sekali buat tempe. Beberapa hari ini hanya 75 kilo saja,” tuturnya.

Ateng, rekan Anas ngeri mem­produksi tahu dan tempe setelah aksi sweeping Senin malam. Ia pun memilih tak produksi selama tiga hari yang telah ditetapkan.

“Saya ini di sini sistemnya ngontrak tempat dan usaha. Libur atau tidak libur, tetap saja bayaran sama tiap bulannya. Apalagi se­bentar lagi lebaran, pengeluaran tentu akan semakin besar,” keluh pria asal Cirebon, Jawa Barat ini.

Untuk membuat tahu, Ateng mempekerjakan lima orang. Se­muanya sudah berkeluarga. Da­lam sehari, Ateng dan anak buah­nya mengolah 150 kilogram ke­delai untuk dibuat menjadi tahu.

Bila harga kedelai Rp 5.000 per kilo, modal yang harus dike­luar­kan Ateng sehari sekitar Rp 800 ribu. Itu baru bahan bakunya. Be­lum biaya minyak tanah maupun kayu bakar untuk memasak kedelai.

Dari modal sekitar Rp 800 ribu itu, omzet yang didapat Ateng bila dagangannya habis bisa men­capai Rp 2 juta. Jumlah ini masih perlu dipotong biaya pekerja.

“Kami ini hanya industri ruma­han yang produksi, modal serta keuntungannya masih kecil. Ada yang produksi lebih besar lagi dengan omzet yang jauh dari kami. Tapi untuk kenaikan ke­delai, semua tetap terkena im­basnya,” ujarnya.

Ateng menjelaskan membuat tahu lebih rumit dibanding tempe meskipun waktu pembuatannya hanya hitungan jam. Untuk mem­buat tempe, kedelai yang sudah direbus lalu dibentuk menjadi tem­pe setelah dua hari didiamkan.

“Kalau tahu, kami hanya butuh 5-6 jam saja untuk membuatnya. Tapi untuk proses, ini jauh lebih banyak ketimbang tempe,” terangnya.

“Harga Kedelai Bukan Naik Tapi Lompat”

Ketua II Gabungan Koperasi Pro­dusen Tempe Tahu Indo­nesia (Gakoptindo) Sutaryo me­ngatakan di Jakarta ada 4 ribu pro­dusen tempe dan tahu. Se­tiap bulan mereka memb­utuh­kan 10 ribu ton kedelai dengan jumlah produksi tempe 15 ribu ton per bulan. Jika dihitung om­set­nya mencapai Rp 120 miliar per bu­lan, atau Rp 4 miliar per hari.

“Mogok 3 hari, omzet yang hilang sampai miliaran rupiah. Dengan kita mogok, setidaknya konsumen tahu bahwa harga kedelai ini bukan hanya naik, persoalannya harga kedelai har­ganya lompat atau ganti harga,” kata Sutaryo.

Sutaryo bilang, produsen tempe dan tahu tak ada pilihan lain selain berhenti produksi se­mentara agar tak merugi akibat kenaikan harga kedelai.  Ia ber­harap ini bisa menjadi perhatian pemerintah. Mereka menuntut adanya kestabilan harga kedelai di dalam negeri.

“Dengan kondisi kedelai se­tiap hari naik, kita sanggup pro­duksi tapi tak punya untung ka­rena kenaikan mendadak. Konsumen tidak bisa terima kalau harga tempe dan tahu naik 35 persen,” katanya.

Ketua Pusat Koperasi Tempe dan Tahu DKI Jakarta Suharto mengatakan, sejak Mei lalu harga kedelai sudah mencapai Rp 8.200 per kilogram dari harga sebelumnya Rp 5.500 per kilogram. Karena kenaikan gila-gilaan itulah pihaknya pihaknya sepakat mogok produksi selama tiga hari.

Keputusan mogok produksi ini, kata dia, sudah disepakati saat rapat 18 Juli yang dihadiri se­mua pengurus koperasi pri­mer tempe dan tahu di lima wi­la­yah Jakarta. Semua risiko se­lama mogok kerja berlangsung sudah dihitung.

“Oleh karena itu, saya me­ngimbau semua perajin loyal pada kesepakatan yang sudah diputuskan pengurus koperasi,” katanya menegaskan.

Selama aksi berlangsung, para pengurus koperasi akan me­ngawasi semua sentra pem­buat tahu dan tempe di Jakarta. “Karena sudah menjadi kepu­tu­san bersama, sudah sepantasnya setiap perajin mengindahkan ke­putusan ini,” ujar Suharto.

Sementara itu, Ateng  produ­sen tahu di Kampung Rawa Se­latan, Johar Baru, Jakarta Pusat akan melakukan sweeping ke be­berapa tempat di Jakarta. Ini untuk mendukung aksi mogok pro­duksi menyikapi melam­bung­­nya harga kacang kedelai.

Untungnya Minim, Kurangi Produksi

Harga tahu dan tempe di­perkirakan naik tiga hari ke de­pan akibat kurangnya pasokan. Mulai hari ini produsen tahu dan tempe di Jakarta mogok produksi.

Ketua Pusat Koperasi Tempe dan Tahu DKI Jakarta Suharto memperkirakan harga potongan tempe yang biasanya dijual Rp 3.000 akan naik jadi Rp 4.000. Sedangkan potongan tempe dengan harga Rp 6.000 akan dijual Rp 8.000.

Saat ini jumlah perajin tahu dan tempe di Jakarta yang me­miliki rumah produksi me­n­ca­pai 4.841 orang. Setiap rumah pro­duksi rata-rata me­m­pek­er­jakan 5-10 pekerja. Setiap bulan mereka mengonsumsi rata-rata 10 ribu ton kedelai.

”Yang terbanyak masih di sentra produksi tahu dan tempe Semanan, Kalideres, Jakarta Ba­rat. Jumlah rumah produksi mencapai 1.258,” tuturnya.

Kendati akan menaikkan har­ga jual tahu tempe, para pe­ng­rajin bisa membawa uang ba­nyak saat mudik Lebaran. Se­bab, kenaikan kedelai meng­ge­rus keuntungan mereka.

Dasyim 44 tahun, pengrajin tahu di daerah Semanan, Kali­deres, Jakarta Barat mengaku sejak beberapa pekan ini menu­runkan produksi.

Sebelum harga kedelai naik, ia bisa memproduksi tahu hing­ga 6 kuintal per hari. Namun saat ini hanya 2,5 kuintal saja. Tu­run sekitar 60 persen. Me­lam­bung­nya harga kedelai mem­buat ke­untungannya tergerus.

“Untungnya paling buat ma­kan keluarga aja, sama biaya pro­duksi, dan gaji pegawai saya empat orang. Tapi biaya untuk mu­dik, itu yang sepertinya su­sah untuk kami dapat tahun ini,” kata pria asal Majenang, Cila­cap, Jawa Tengah ini. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA