Langit di atas Jakarta tampak suÂdah menghitam. Tak lama akan turun hujan. Perempuan berÂperawakan gemuk ini memanggil anaknya agar segera kembali ke rumah. “Tiap hari pasti ada geÂnangan air walaupun hujan nggak turun,†ungkap dia.
Perempuan berusia 35 tahun ini lalu menunjuk saluran air atau got di sisi kanan dan kiri jalan. Saluran berukuran kecil itu sudah dipenuhi air.
Air itu tak mengalir ke laut. “BaÂÂgaimana mau mengalir, jaÂlanan lebih dari air laut. Malahan air laut yang masuk ke got,†kata Ade.
Perempuan asal Karawang, Jawa Barat ini menuturkan diriÂnya tinggal di Muara Baru sejak dekade 1980-an. Selama kurun 1980-an sampa 1990-an, wilayah ini sudah dilanda banjir. Tapi meÂnurut dia, tak separah sekarang. “Hujan gede pun airnya langsung mengalir ke laut. Tidak sampai menggenangi jalan,†tuturnya.
Sejak awal tahun 2000-an, banjir makin sering. Walaupun tak hujan, kawasan ini banjir akiÂbat rob air laut. Air masuk ke ruÂmah-rumah warga sampai keÂtinggian satu meter. “Barang-barang elektronik saya banyak yang rusak, seperti TV, kulkas dan kipas angin,†katanya.
Rob air laut penah mengÂgeÂnaÂÂngi rumahnya sampai seÂmingÂgu. Lantaran tak bisa diÂtempati, Ade bersama suami dan kedua anakÂnya meÂmilih meÂngungsi ke ruÂmah keÂrabat di Meruya, Jakarta Barat.
Sepanjang tahun ini, rumah yang ditinggali Ade sekeluarga tak tergenang banjir walaupun huÂjan turun deras maupun ada rob air laut. “Nggak sampai mengÂgeÂnangi rumah karena rumah suÂdah ditinggikan 50 centi,†ungkap dia. Banjir hanya menggenangi sekiÂtar rumah dengan ketinggian seÂkitar 30 centimeter.
Walaupun rumahnya sudah terÂbebas dari banjir tak berarti perÂsoalan yang dialami Ade seÂkeÂluarÂga selesai. Ia tak bisa ke maÂna-mana. Sebab, banjir meÂngÂeÂnangi jalan-jalan. Sulit dilewati. “Jadi susah cari kebutuhan poÂkok. Kami sekeluarga pernah seÂharian tidak makan karena tidak bisa keluar rumah,†tuturnya.
Berbekal pengalaman yang tiÂdak mengenakkan itu, Ade meÂnyetok kebutuhan pokok keÂluarÂgaÂnya untuk seminggu. Ini buat jaga-jaga bila terjadi banjir dan keÂluarganya tak bisa ke mana-mana.
Kendati rumahnya jadi langÂgaÂnan banjir, Ade dan keluarganya tak ingin pindah ke tempat lain. “Saya masih betah tinggal disini. Tapi kalau pemerintah mau meÂmindahkan ke tempat yang lebih baik, saya siap saja. Yang penting gratis,†katanya.
Tak jauh dari tempat tinggal Ade berdiri PemÂbangkit Listrik TeÂnaga Uap (PLTU) Muara KaÂrang. PemÂbangÂkit milik PLN ini juga mengÂhadapi permasalahan yang sama dengan masyarakat yang tinggal di pesisir Jakarta: banjir.
Beberapa pekerja terlihat meÂmasang batu kali di area PLTU yang berbatasan langsung dengan muara sungai. Para pekerja seÂdang memperkuat tanggul peÂnaÂhan rob. Terlihat permukaan air laut.
Di sepanjang area PLTU yang berÂbatasan dengan air sudah dibaÂngun tanggul. Di atas tanggul diÂpaÂsang besi-besi bulat besar. Besi-besi itu dipasang berdiri seÂhingga bisa menjadi semacam paÂgar. Di belakang tanggul itu diÂtimbun dengan tanah.
Agar tanah tak longsor, dipaÂsang batu kali yang disatukan deÂngan aduÂkan semen. Terlihat perÂmukaan air laut, lebih tinggi dari perÂmuÂkaÂan tanah PLTU yang meÂnyupÂlai listrik sampai 1.000 megawatt ke Jakarta Pusat dan Jakarta Barat ini.
Tahun lalu, area PLTU Muara Karang sempat terendam air akibat kerusakan pada pintu air. Pintu air macet, tak bisa ditutup. Air laut pun mengalir deras ke area PLTU.
Air laut masuk sampai ke lantai satu kantor Divisi Jasa ManaÂjemen Konstruksi. Area PLTU bisa dikeringkan setelah meÂngerahkan pompa penyedot air berkapasitas besar.
Banjir rob yang kerap melanda kawasan utara Jakarta terjadi kaÂrena permukaan tanah lebih renÂdah dari air laut. Akibatnya ketika pasang, air laut meÂngeÂnangi seÂjumlah wilayah.
Pembangkit Lebih Rendah Dari Laut
Pihak PLTU Muara Karang mengakui kini lokasi pembangkit lebih rendah dari air laut. “PLTU Muara Karang berdiri tahun 1979. Waktu itu permukaan taÂnahÂnya masih ada di atas perÂmuÂkaan laut. Kini, setelah 33 tahun beroperasi permukaan tanah di Muara Karang berada dua meter di bawah permukaan laut,†kata Bambang Satrio, Kepala Humas PLTU Muara Karang.
Penurunan permukaan tanah ini tak terjadi sekaligus. MeÂlainÂkan bertahap. Lantaran peÂnuÂrunan terjadi pelan-pelan, banyak orang tak menyadarinya. Tapi damÂpaknya cukup terasa. Banjir rob kerap terjadi dan ketinggian airnya terus bertambah.
Menurut Bambang, setiap taÂhun permukaan tanah PLTU MuaÂra Karang turun antara lima hingÂga 10 centimeter. Untuk mengÂÂhindari masuknya air laut, pihak pengelola PLTU meningÂgikan tanggul di bibir laut dan Sungai Karang yang bermuara di laut JaÂkarta. “Tanggul ini dulu tingginya hanya satu meter sekarang sudah kami tingkatkan menjadi dua meter,†kata Bambang menÂjeÂlasÂkan tanggul barat yang dibangun pada tepian Sungai Karang.
Pengamatan Rakyat Merdeka, setiap hari Jalan Muara Baru Raya tergenang rob. Walaupun keÂÂÂtinggian air hanya 10 cenÂtiÂmeÂter cukup menganggu aktifitas warga yang mendiami kawasan padat penduduk ini. Sebagian besar warga memilih beraktifitas di dalam rumahnya karena engÂgan melintasi genang air yang berÂwarna hitam pekat itu.
Rob yang cukup besar terjadi 28 November 2011 lalu. KeÂtingÂgian air mencapai 30 cenÂtiÂmeter. Selain di Muara Baru, rob juga sering melanda kawasan Kamal Muara yang masih di dalam KeÂcamatan Penjaringan.
Jalan RE Martadinata Jakarta Utara tak luput dari genangan air. Air dengan ketinggian 60 cenÂtimeter menutupi sekitar 150 meÂter badan jalan. Arus lalu lintas pun terhambat.
Banjir rob ini terjadi karena laut Jakarta sedang pasang. Air pasang mendesak arus sungai-sungai berbalik arah ke hulu. PeÂnguÂkuran permukaan laut di PeÂlaÂbuhan Tanjung Priok meÂnunÂjukÂkan ketinggian air mencapai 2,28 meter. Biasanya 1,8 meter.
Terjangan rob tidak hanya meÂnerjang pemukiman padat penÂduduk, tapi juga menggenangi 50 rumah di pemukiman elite di Pantai Mutiara, Penjaringan, Jakarta Utara setinggi satu meter.
Banjir ini disebabkan air laut pasang dan rendahnya tanggul di kawasan tersebut. Kejadian ini merupakan yang terparah meÂlanda kawasan perumahan elite itu. Sebelumnya, banjir hanya samÂpai ke jalan raya.
Sejumlah penghuni meningÂgalÂkan rumah mereka untuk meÂngungsi ke tempat lain. Bahkan beberapa warga menyewa truk untuk mengangkut mobil mewah mereka. [Harian Rakyat Merdeka]
Tiru Belanda, Bangun Dam Raksasa Rp 50 T
Pemerintah Provinsi (PemÂprov) DKI Jakarta akan melaÂkuÂkan penguatan tanggul di Pantai Utara untuk mengatasi banÂjir akibat luapan rob. PeÂnguaÂtan tanggul tidak sekadar pada struktur juga ketinggian tanggul akan ditambah.
“Perkuatan tanggul di kaÂwaÂsan Pantai Utara harus mampu menahan ketinggian air hingga level lebih dari 250 sentimeter dan mampu menahan angin kenÂcang,†kata Gubernur DKI JaÂkarta, Fauzi Bowo.
Foke mengatakan, ketinggian tanggul yang saat ini mencapai 3 meter sudah sesuai standar. Tercermin saat terjadinya rob beberapa hari yang lalu, tanggul setinggi 3 meter itu cukup memÂbantu warga di kawasan utara Pompa Air Pluit.
“Biasanya warga di kawasan utara Pompa Air Pluit saat terÂjadi rob, pasti terendam banjir. Kini dengan adanya tanggul terÂsebut, sudah tidak terendam, teÂtap kering dan kondisinya lebih baik,†ujarnya.
Namun, masih ada wilayah lainÂnya yang mengalami banjir akibat rob, sehingga ketinggian tanggul sekitar tiga meter terseÂbut harus dievaluasi kembali. PaÂsalnya, pada banjir rob yang terjadi di Jakarta, ketinggian air mencapai lebih dari 250 senÂtiÂmeter. Artinya lebih tinggi 30 sentimeter dari level ketinggian air normal yang mencapai 220 sentimeter. Ditambah lagi pada saat bersamaan terjadi angin kencang yang membuat air sungai melimpas melewati puncak tanggul.
Namun, penyebab banjir beÂsar di kawasan pemukiman PanÂtai Mutiara yang terjadi beberap hari lalu bukan disebabkan tangÂgul roboh, melainkan diseÂbabÂkan banyaknya kavling peÂrumahan yang belum didirikan bangunan. Sehingga air yang melimpas dari tanggul dengan leluasa mengalir masuk lalu menggenangi kawasan peruÂmahan tersebut.
Untuk menahan rob tersebut, Pemda berencana menambah ketÂinggian puncak tanggul 50 sentimeter sehingga mampu menahan air sungai dan angin kencang. Walaupun telah ada tanggul di Pantai Utara, meÂnurut Gubernur, diperlukan adaÂnya sebuah master plan peÂnangÂgulangan yang lebih luas.
Gubernur mengatakan saat ini pihaknya telah mencoba unÂtuk mengontrol dan meÂngenÂdaÂliÂkan banjir rob. Namun langÂkah tersebut sifatnya bukan unÂtuk jangka panjang.
“Langkah yang kita lakukan bisa dibilang ad hoc sifatnya. UnÂtuk jangka panjang itu meÂmerÂlukan konsep yang lebih komÂprehensif yang sedang dalam proÂses perumusannya,†katanya.
Foke mengatakan sementara untuk mengatasi banjir rob adaÂlah dengan membangun tanggul yang lebih tinggi. Namun pemÂbangunan tanggul bukan solusi jangka panjang. Sebab tanggul berÂtahan paling lama lima tahun untuk mencegah banjir rob.
“Untuk sementara waktu tanggul setinggi tiga meter ini memang cukup memadai. Tapi belajar dari rob hingga 250 senÂtimeter itu, kita harus meÂmiÂkirÂkan untuk menambah ketingÂgian dan kekuatan tanggul, kaÂrena besaran air itu sangat kuat,†jelasnya.
Kepala Dinas Pekerjaaan Umum DKI Jakarta, Ery BasÂworo mengatakan, saat ini peÂmeÂrintah DKI Jakarta sejauh ini masih berkonsentrasi memÂbaÂngun tanggul yang sifatnya seÂmentara untuk mengurangi damÂpak penurunan tanah di kawasan Jakarta Utara. “Kita bangun setinggi tiga meter dan ini memang untuk jangka meÂnengah,†katanya.
Sementara untuk jangka panÂjang diusulkan untuk memÂbaÂngun tanggul raksasa atau giant sea wall, yang dibangun seÂpanÂjang 32 kilometer di kawasan utara Jakarta.
Rencana pembangunan tangÂgul raksasa, kata Ery, masih diÂbaÂhas Kementerian Pekerjaan Umum. “Kajian kelayakannya masih ada di Kementerian PeÂkerjaan Umum karena memang waktu yang dibutuhkan tidak sebentar,†katanya
Ery mengatakan, usulan pemÂbangunan tanggul raksasa diÂsampaikan oleh Pemprov JaÂkarta dan diharapkan bisa berÂtahan lima puluh sampai seratus tahun lebih.
Erry mengatakan tanggul ini meniru bangunan serupa di AmsÂterdam, Belanda. Tanggul ini tidak hanya berfungsi seÂbaÂgai tanggul sebagai penahan air tapi juga bisa digunakan seÂbaÂgai jembatan atau penampung air.
Rencananya tanggul itu, sambung Ery, akan dibangun atas dana yang bersumber dari pemerintah Jakarta, pemerintah pusat, dan swasta. “Biayanya mungkin lebih dari Rp 50 triÂliun,†katanya.
Wakil Kepala Dinas PekÂerÂjaan Umum DKI Jakarta NoÂvizal menjelaskan, pihaknya telah memperbaiki tanggul di kawasan Jakarta Utara. Di anÂtaranya tanggul Muara Angke yang sempat bocor akibat peÂkerjaan peninggian Jembatan Layang Muara Angke.
“Ada kebocoran di sayap pembatas jembatan yang juga berfungsi sebagai tanggul,†kata Novizal. Akibatnya, limpasan rob masuk melalui tanggul yang bocor dan menggenangi kawaÂsan sekitarnya. Namun, samÂbungnya, keÂboÂcoÂran telah diÂatasi dengan memÂperbaiki saÂyap pembatas jembatan mengÂguÂnakan batu kali. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.