Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Buka Kantor Di Jakarta Tapi Hanya Jadi Mess

Melongok Perusahaan Pelat Merah “Dhuafa” (8)

Minggu, 20 November 2011, 08:43 WIB
Buka Kantor Di Jakarta Tapi Hanya Jadi Mess
PT Kertas Leces

RMOL. Tiga tahun berturut-turut PT Kertas Leces merugi. Untuk memperbaiki keuangannya, badan usaha milik negara (BUMN) ini bisa menjual listrik ke PLN.

Data Kementerian BUMN menunjukkan perusahaan yang memproduksi kertas ini rugi Rp 49 miliar pada 2008. Tahun berikut Rp 53 miliar. Tahun 2010 Rp 78 miliar.

Lantaran terus merugi, PT Ker­tas Leces menjadi pasien Peru­sa­haan Pengelola Aset (PPA). Ren­cananya, perusahaan ini akan di­keluarkan dari program res­truk­turisasi PPA bila mampu me­ngubah pola kerjanya.

Rakyat Merdeka pun mencoba mengintip pola kerja perusahaan ini dengan mendatangi kantor ca­bangnya di Jakarta, Kamis lalu.  Kan­tor cabang PT Kertas Le­ces ter­letak di Jalan Radio IV No­mor 6, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Kantornya berada di kawasan pemukiman. Pagar besi yang di­cat warna biru muda mem­ben­tengi bangunan kantor itu. Ke­be­radaan pagar yang tinggi meng­halangi pandangan ke dalam. Dari luar hanya terlihat atap bangunannya.

Seorang pria paruh baya sigap membukakan pintu ketika ken­daraan hendak keluar masuk. Se­telah itu dia kembali duduk di pos jaga di dekat gerbang.

Memasuki halaman terlihat ba­ngunan menyerupai rumah. Ben­tuknya memanjang ke samping. Sebuah papan berwarna biru ber­tuliskan “Leces” dipasang di din­d­ing depan kantor ini. Letaknya di sebelah kanan. Tulisan itu di­sertai dengan logo perusahaan, ke­pala burung hantu dengan dua matanya yang besar.   

Halaman kantor berbentuk L. Juga memanjang ke samping. Ha­laman ini ditutupi cone block. Tiga mobil parkir di halaman. Dua sepeda motor parkir tak jauh dari mobil.

Ketiga mobil itu adalah ken­da­raan operasional kantor ini. Salah satunya Isuzu Panther. Biasanya, mobil ini dipakai untuk men­jem­put karyawan yang datang dari kantor pusat sekaligus pabrik di Probolinggo, Jawa Timur.  

Saat mendatangi kantor ini sua­sananya sepi. Masuk ke dalam kan­tor terlihat ruangan kerja ber­ukuran 3x4 meter. Di sini hanya terdapat satu meja kerja. Di depan meja itu kursi-kursi dijejerkan ber­­bentuk L. Sebuah kalender ber­­gambar uang kertas pecahan Rp 100 ribu menjadi penghias dinding ruang kerja itu.

Di meja kerja terlihat dua pe­rem­puan asyik ngobrol. Salah satu­nya sibuk chatting di situs je­jaring sosial Facebook. Kedua­nya dipekerjakan sebagai sek­re­taris di kantor ini.

“Di sini hanya kantor per­wa­ki­lan kami yang ada di Jakarta. Tidak ada proses produksi dan pemasaran apa pun di kantor ini,” kata Tini, staf kantor cabang ini.

Ada 11 karyawan di kantor ca­bang ini. Empat di antaranya adalah pengemudi. “Ini hanya kantor persinggahan saja bagi direksi atau karyawan perusahaan yang berasal dari pusat ketika datang ke Jakarta. Kalau tidak ada tamu yang datang dari pusat, kantor sepi,” kata Tini.

Lantaran karyawannya sedikit, banyak ruang kosong di kantor cabang ini. Menurut Tini, ruang kosong dijadikan mess. “Kami yang bekerja di sini semuanya berasal dari Jakarta dan sekitar­nya. Sehingga selesai jam kantor akan pulang ke rumah masing-masing,” jelasnya.

Mess ini diperuntukkan bagi karyawan kantor pusat yang ada keperluan di Jakarta. “Misalnya ikut seminar selama beberapa hari di Jakarta. Daripada mereka menginap di hotel, kantor ini bisa digunakan untuk tempat me­ngi­nap,” tutur Tini.

Mess ini memiliki empat kamar. Letaknya di lantai dua ba­ngunan yang berada di belakang kantor. Posisinya berderetan de­ngan dengan satu pintu untuk ma­sing-masing kamar.

Apa direksi juga menginap disini? Kata Tini, meskipun pim­pinan perusahaan sering datang ke Jakarta tapi tak pernah me­nginap di mess. “Direksi sudah punya rumah sendiri di Jakarta. Mereka memilih tinggal di ru­mahnya sendiri.”

Ketika berada di Jakarta, di­rek­si selalu menyempatkan untuk datang ke kantor cabang. Apalagi kan­tor cabang ini tak lagi me­mi­liki kepala karena sudah pensiun.

“Direksi datang untuk sekadar memantau perkembangan yang ada di kantor perwakilan ini. Ter­masuk tamu-tamu yang datang. Kami akan selalu melayani de­ngan baik,” kata Tini.

Para karyawan di kantor ca­bang ini tak terpengaruh de­ngan rencana Kementerian BUMN melakukan restrukturisasi ter­hadap PT Kertas Leces. Ter­ma­suk kemungkinan perusahaan ini diakuisisi BUMN yang sehat.

“Sampai saat ini, kami hanya terus bekerja dengan sungguh-sung­guh dan baik-baik saja. Kami tidak terlalu memikirkan ten­tang BUMN dhuafa dan pro­ses akuisisi. Itu kewenangan para pimpinan,” kata Tini.

Ia mencontohkan karyawan tetap kerja seperti biasa walau­pun tanpa pengawasan dari ke­pala kantor. Kata Tini, karyawan di kantor sudah paham akan tu­gas dan tanggung jawabnya ma­sing-masing.

Apakah para karyawan terlam­bat menerima gaji? Tini menolak berkomentar. “Saya hanya ingin sampaikan kalau kondisi kami baik-baik saja. Masih tetap kerja setiap harinya,” katanya.  

Lihat saja, lanjut Tini, kantor masih ter­awat dengan bagus, baik dari sisi kebersihan maupun ke­amanan. Pemantauan Rakyat Mer­deka, memang hampir selu­ruh bagian luar dari kantor per­wa­kilan ter­sebut tertata dengan rapih.

Meskipun halaman teras sam­ping ditanami beberapa pohon mangga, tak terlihat daun-daun kering berserakan. Bangunan kan­tor juga terlihat terawat. Se­tiap dindingnya dipoles dengan cat berwarna kuning gading.  

“Biar ini kantor perwakilan, tapi ini terletak di Jakarta. Jadi kalau ada tamu, tentunya kondisi bangunan tidak boleh mem­pri­hatinkan. kami akan menjaganya dengan baik,” katanya.

Kantor cabang PT Kertas Le­ces di Jakarta sudah ada sejak de­kade 1990-an. Lebih difungsikan se­bagai tempat transit ketimbang de­ngan tempat pemasaran produk.

Kalau ada pihak yang datang untuk menjalin kerja sama mau­pun memesan barang akan disa­ran­kan menghubungi kantor pu­sat di Probolinggo, Jawa Timur.  

“Bukan kami menolak, tapi karena kami tidak memiliki we­we­nang untuk menandatangi kon­trak kerja,” kata Tini, staf kan­tor PT Kertas Leces di Jakarta.

Kegiatan produksi, manaje­men, keuangan, sumber daya ma­nusia hingga pemasaran dita­ngani di kantor pusat.

“Kalau hanya sekadar mencari informasi mengenai produk kami, kantor ini bisa mena­ngan­i­nya,” kata Tini. Selama ini, kan­tor cabang ini hanya menjadi peng­hubung pi­hak yang hendak datang ke kantor pusat.

Siapa saja yang pernah datang ke kantor cabang ini? Tini menje­laskan, ada pihak perorangan maupun utusan perusahaan. “Bah­kan tidak sedikit pula tamu yang berasal dari luar negeri,” ujarnya.

Kertas yang diproduksi PT Kertas Leces tak hanya dipa­sarkan di dalam negeri. Tapi juga ke luar negeri. “Makanya banyak orang asing yang datang kesini untuk bertanya soal kertas dan produksinya. Kalau sudah begitu, kami akan hubungkan dengan kantor pusat agar langsung men­datangi saja,” jelasnya.

PT Kertas Leces memproduksi berbagai jenis kertas. Mulai dari untuk tisu, buku tulis sampai ker­tas untuk uang. Untuk kertas uang dilengkapi dengan pengaman (security) sehingga tak mudah dipalsukan.

Kertas produksi PT Kertas Le­ces digunakan untuk uang pe­cahan Rp 100 ribu seperti yang terpajang di kalendar di kantor cabang ini.

3 Saran Dahlan Iskan Untuk Kertas Leces

PT Kertas Leces adalah perintis industri kertas di Tanah Air. Tapi belakangan perusahaan negara ini terus merugi.

Beberapa waktu lalu Menteri BUMN Dahlan Iskan berkunjung ke kantor pusat sekaligus pabrik di Probolinggo, Jawa Timur.

 Selain meninjau aset milik perusahaan itu, Dahlan juga meng­gelar rapat dengan direksi un­tuk mencari solusi dari masa­lah yang dihadapi perusahaan kertas tertua kedua di Indonesia ini.

 â€œSaya sudah tegaskan Kertas Leces harus cari jalan sendiri de­ngan kemampuan sendiri,” kata Dahlan Iskan.

Dahlan menceritakan, dalam kunjungannya ia melihat aset Leces yang mempunyai boiler steam berkapasitas 240 ton. Pihak direksi Kertas Leces mengatakan bahwa boiler steam itu renca­na­nya digunakan semua untuk mem­produksi berbagai variasi kertas.

“Saya bilang tidak boleh be­gitu, saya minta Leces hanya produksi tisu MD yang diekspor ke Amerika dan kertas security. Sebab, hanya dua produk tersebut yang mampu bersaing di pasar, sehingga saya minta Leces fokus di dua produk itu,” ujarnya.

Untuk memproduksi dua pro­duk kertas tersebut, menurut Dah­lan hanya membutuhkan boi­ler steam berkapasitas 10 ton.

Sisa kapasitas boiler steam 230 ton digunakan untuk menggerak­kan pembangkit listrik turbin se­hingga bisa memproduksi listrik sebesar 60 megawatt.

Untuk menggerakkan boiler steam sendiri hanya akan me­ngon­sumsi listrik sebesar 10 me­gawatt. Untuk itu, Dahlan me­ngatakan bahwa sisanya bisa dijual ke PLN.

Dahlan juga mengusulkan, ba­han baku berupa ampas tebu yang didapat dari Pabrik Gula Jatiroto bisa dijual. Sebab, bahan baku itu laku dijual ke pasaran.

“Nantinya Leces akan men­da­patkan pendapatan dari listrik se­besar Rp100 miliar per tahun, pen­jualan bahan baku Rp 100 miliar, jual kertas tisu Rp 100 miliar, dan jual kertas security Rp 50-60 miliar. Jadi, Leces tidak perlu bantuan dari PPA (Peru­sahaan Pengelola Aset) lagi,” tutur bekas dirut PLN ini.

Dahlan juga melihat lokasi lo­kasi pabrik Kertas Leces di Pro­bolinggo masih luas. Ia me­nya­rankan agar lahan yang tidak di­gunakan bisa PT Perkebunan Nusantara (PTPN) untuk mem­bangun pabrik gula. Ditargetkan, pabrik sudah berdiri paa 2014.

Jika sudah berjalan, Kertas Leces akan menerima bahan baku berupa ampas tebu. Juga bisa men­dirikan pabrik alkohol. “Nan­tinya lingkungan pabrik Leces jadi hidup. Ada pabrik kertas, pembangkit listrik, pabrik gula, dan pabrik alkohol,” kata Dahlan Iskan.

Untuk diketahui, akhir Oktober lalu Komisi VI DPR memutuskan memberikan alokasi anggaran sebesar Rp 200 miliar ke PT Kertas Leces. Anggaran itu baru dapat dicairkan dengan syarat perusahaan produsen kertas itu melaporkan perkembangan ma­najemennya.

Kertasnya Dipakai Untuk Surat Suara  Pemilu 2004

Salah satu produk PT Kertas Leces adalah kertas ber­pe­ngaman. Kertas ini digunakan untuk uang maupun surat suara pemilu.

Pada Pemilu 2004, PT Kertas Leces ikut serta dalam me­nye­diakan kertas untuk formulir dan surat suara.

Selain PT Kertas Leces, ada beberapa perusahaan yang juga terlibat dalam pengadaan kertas untuk pesta demokrasi itu. Yakni PT Surabaya Agung In­dustri Pulp & Kertas, PT Adi­prima Suraprinita dan Indah Kiat Pulp & Paper.

Perusahaan-perusahaan itu dianggap lulus prakualifikasi yang ditetapkan Komisi Pem­i­lihan Umum (KPU).

Kebutuhan kertas untuk Pemilu 2004 mencapai 77 ribu ton. Yang terbesar diperlukan untuk formulir pemungutan suara sejumlah, yaitu 47 ribu ton. Menyusul tanda pengenal 63 ton, kertas suara 28 ribu ton, dan amplop 791 ton.

Adapun spesifikasi kertas untuk surat suara menggunakan kertas HVS ukuran 80 gram dengan tanda khusus, formulir pemungutan suara meng­gu­nakan kertas HVS 70 gram berwarna putih.

Kertas Samson Krap ber­war­na coklat 80 gram digunakan untuk sampul kelengkapan administrasi pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS), dan kertas Kartotik 120 gram digunakan untuk tanda pengenal anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) dan saksi di TPS.

Lima tahun kemudian, PT Ker­tas Leces gagal meme­nang­kan tender pengadaan kertas untuk Pemilu 2009.

Pihak perusahaan berkilah bahwa KPU mengubah metode pengadaan untuk kertas surat suara. KPU tak lagi menga­da­kan kertas sendiri. Tapi menjadi satu paket: kertas berikut cetak surat suara. Lantaran hanya bisa me­nyediakan kertas, PT Kertas Leces pun terdepak dari tender surat suara. [Harian Rayat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA