Sebagai tempat parkir kenÂdaraan, halaman ini tak dilapisi aspal, semen maupun cone block. Seluruh areanya ditimbun dengan tanah dan puing-puing bekas baÂngunan yang kemudian diratakan.
Bangunan berlantai dua berdiri menghadap halaman parkir ini. Di dinding teras pintu masuk yang menjorok ke luar dipasang tulisan “Balai Pustaka.†Di siniÂlah kantor BUMN yang bergerak di bidang percetakan ini berkanÂtor sejak April lalu.
Sebelumnya, Balai Pustaka berÂkantor di gedung berlantai tuÂjuh di Jalan Gunung Sahari, SeÂnen, Jakarta Timur. Gedung ini telah dijual kepada Kementerian Keuangan.
Kesulitan keuangan yang diÂalami membuat BUMN ini perlu melakukan restrukturisasi, termaÂsuk melego asetnya untuk memÂperoleh dana segar. Dari sekian baÂnyak aset Balai Pustaka, geÂdung di Gunung Sahari yang paÂling besar nilainya.
Selama ini, Balai Pustaka terus merugi. Kementerian BUMN menÂcatat, pada 2009 perusahaan ini merugi sampai Rp 66,67 miliar.
Untuk memperbaiki kinerja Balai Pustaka, Kementerian BUMN memasukkannya sebagai “pasien†Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Di bawah kepemimpinan DahÂlan Iskan, Kementerian BUMN mulai menggenjot pengambil alihan sejumlah “dhuafa†oleh perusahaan-perusahaan negara yang sehat.
Balai Pustaka termasuk kateÂgori dhuafa. Selama ini, untuk berÂtahan hidup perusahaan ini meÂngandalkan kucuran dana dari PPA. Rencananya, Balai Pustaka akan diambil alih PT Telkom. Proses akuisisi itu sudah harus selesai dalam tiga bulan.
Direktur Utama PT Balai PusÂtaka Persero Zaim Uchrowi pasÂrah bila perusahaan yang diÂpimÂpinÂnya diambil alih PT Telkom.
“Pada prinsipnya, kami sangat mendukung rencana Menteri BUMN untuk melakukan akuisisi terhadap tujuh perusahaan yang diÂnyatakan dhuafa,†kata Zaim keÂpada Rakyat Merdeka di kantornya.
Zaim tak menutupi bila peruÂsaÂhaan yang dipimpinnya mengaÂlami kerugian sampai Rp 66,67 miliar. Kerugian ini berasal dari pencetakan buku-buku umum dan buku pelajaran sekolah.
Walaupun begitu, Zaim yang memimpin sejak Juli 2007 mengÂklaim berhasil mengurangi angka kerugian. Pada 2007, kerugian diteken hingga hanya Rp 9 miliar. Tahun sebelumnya, Balai Pustaka rugi Rp 50 miliar.
Tak hanya itu, Zaim juga mengÂklaim kinerja keuangan BaÂlai Pustaka membaik. “KeseluÂruÂhan transaksi keuangan yang ada, Balai Pustaka mengalami peÂningkatan sejak beberapa tahun ini,†ujarnya.
Zaim menyebutkan, pemasuÂkan tahun 2010 mencapai Rp 90 miliar. Meningkat Rp 30 miliar dibanding tahun sebelumnya.
Tahun 2011, Balai Pustaka menargetkan pemasukan hingga Rp 100 miliar. Zaim mengakui omzet itu masih minim. Idealnya, BUMN bisa memperoleh pemaÂsukan sampai Rp 1 triliun per tahun. “Itu sebuah keniscayaan dengan kondisi BUMN seperti kami,†kata dia.
Walaupun kinerja keuangan perusahaan terus meningkat, Zaim tak berani menjamin Balai Pustaka akan mampu berlari kencang seperti perusahaan neÂgara yang sehat.
“Terlalu jauh bila memÂbanÂdingÂkan kami dengan Bank ManÂdiri, Telkom, Angkasa Pura. TerÂlalu jauh bagi kami untuk meÂngejar ketertinggalan. Sama saja kami disuruh lari, tapi kaki kami diikat,†kata Zaim.
Direkturnya Bersandal Jepit
Zaim Uchrowi sadar betul peruÂsahaan yang dipimpinnya masih merugi dan mengandalkan hidup dari “sedekah†pemerintah. Lantaran itu dia tak mau berÂmeÂwah-mewah.
Kondisi itu terlihat dari kantor BaÂlai Pustaka saat ini. Setelah menÂjual gedung di Jalan Gunung SaÂhari, Balai Pusat berkantor di temÂpat percetakannya di KawaÂsan InÂdustri Pulogadung, Jakarta Timur.
Memasuki kantor berlantai dua dari teras depan terlihat ruang lobby berukuran 4x4 meter. InteÂriornya tak mewah. Di situ terÂdapat meja resepsionis. Seorang perempuan menunggui meja itu. Ia tak mengenakan seragam.
Rakyat Merdeka berbincang-bincang dengan Zaim di ruang rapat. Ruangannya tak besar. Di ruangan ini terdapat meja panjang berikut kursi untuk rapat.
Di salah satu sudut ruangan dileÂtakkan sofa untuk menerima tamu. Sebagai direktur utama BUMN, penampilan Zaim sederÂhana. Ia tak mengenakan jas.
Kemeja panjang warna merah hati dikombinasikan celana panÂjang hitam menjadi penutup tuÂbuhnya. Melirik ke bagian baÂwah, pria itu tak mengenakan seÂpatu. SeÂpasang sandal jepit menÂjadi alas kakinya.
Kepada Rakyat Merdeka, Zaim mengatakan memperbaiki konÂdisi Balai Pustaka tak semudah membalikkan telapak tangan.
Ia mengibaratkan seperti memÂbuat kapal yang telah karam meÂngapung dan berlayar lagi. Tapi dengan kerja keras, ia optimistis Balai Pustaka akan bergerak lagi.
“Misalnya membangkitkan seÂmangat karyawan, mensinergikan potensi, mengembangkan kerÂjasama dÂan saling berkoordinasi dalam menyelesaikan persoalan,†kata Zaim mengungkapkan kiat-kiatnya memperbaiki kondisi Balai Pustaka.
Ketika awal memimpin Balai Pustaka, Zaim memindahkan ruang direksi ke satu lantai. Saat maÂsih berkantor di Gunung SaÂhari, ruang direktur tersebar di beÂberapa lantai di gedung berlantai tujuh itu.
Pemindahan ruang direksi ke satu lantai untuk mempermudah koordinasi. Ini juga untuk meÂnunÂjukkan bahwa direksi komÂpak menyehatkan perusahaan.
Sejumlah birokrasi yang mengÂhambat komunikasi dan koorÂdiÂnasi dikikis habis. Zaim pun mengÂhimbau seluruh jajaran maÂnajemen dan karyawan untuk menjaga integritas. Di antaranya, dengan tidak menerima komisi dari transaksi yang dilakukan perusahaan.
Ubah Bisnis, Wariskan Sastra ke Kemendikbud
Dirut Balai Pustaka Zaim Uchrowi mengatakan hingga saat ini belum ada persiapan khusus menghadapi pengambil alihan oleh PT Telkom.
Masa depan Balai Pustaka di bawah BUMN telekomunikasi itu pun belum terang benar. “Bagaimana konsepnya, itu masih akan dibicarakan lebih lanjut,†ujar Zaim.
Setelah menjadi anak peruÂsahaan Telkom, Balai Pustaka disebut-sebut bakal menyediakan layanan content.
Ide untuk mengakuisisi Balai Pustaka berasal dari Telkom. PeruÂsahaan itu tengah mengemÂbangkan bisnisnya dengan memÂbuka sejumlah layanan content. Salah satunya layanan electronic book (e-book).
Telkom lalu mencari perusaÂhaan yang bisa diajak bekerja sama. Balai Pustaka pun dilirik lantaran selama ini berkecimpung di bidang penerbit buku.
Gayung pun bersambut. MeÂnurut Zaim, Balai Pustaka memiÂliki kemampuan menyediakan layanan content karena memiliki beberapa ahli di bidang teknologi informasi.
Namun, sampai saat ini pemÂbicaraan mengenai arah bisnis Balai Pustaka di bawah calon induk semangnya juga belum jelas.
“Misalnya kami diminta memÂbuat aplikasi atau program budaÂya. Tapi seperti apa, itu akan dibiÂcarakan lebih lanjut bersama TelÂkom. Kami dari Balai Pustaka saÂngat mendukung gagasan terseÂbut,†kata Zaim.
Lalu bagaimana dengan karya-karya sastra yang telah diterÂbitÂkan Balai Pustaka sejak zaman BeÂlanda? “Warisan budaya yang kami miliki akan diserahkan ke Kementerian Pendidikan,†kata Zaim enteng.
Misinya Melawan Bacaan Cabul
Balai Pustaka tak bisa dileÂpaskan dari sejarah sastra IndoÂnesia. Dalam periode sejarah diÂkenal sejumlah pengarang Angkatan Balai Pustaka. DiÂsebut demikian karena karya-karÂya mereka diterbitkan lemÂbaga ini. Misalnya, Merari SiÂregar, MaÂrah Rusli, MuhamÂmad YaÂmin, Nur Sutan IskanÂdar, Abdul Muis, dan Aman Datuk MadÂjoindo.
Balai Pustaka berawal dari komisi untuk bacaan sekolah pribumi dan bacaan rakyat yang dibentuk Belanda.
Pada 14 September 1908, GuÂbernur Jenderal Belanda menÂdirikan Commissie voor de Inlandsche School en yang diketuai Dr GAJ Hazeu.
Baru pada saat dipimpin Dr DA Rinkes pada 1910, komisi ini mulai menghasilkan bacaan. Rinkes yang memimpin samÂpai 1916 diberi tugas memÂaÂjuÂkam moral dan budaya serta meÂningkatkan apresiasi sastra.
Pada tahun 1917 pemeÂrinÂtaÂhan Belanda mendirikan KanÂtoor voor de Volkslectuur atau Kantor Bacaan Rakyat yaitu Balai Pustaka.
Tujuannya mengembangkan bahasa – bahasa seperti bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa MeÂÂlayu tinggi dan bahasa MaÂduÂra. Serta mencegah pengaruh buÂruk dari bacaan-bacaan cabul.
Selain itu, Belanda mencoba meredam dan mengalihkan geÂjolak perjuangan bangsa IndoÂneÂsia lewat media tulisan deÂngan mendirikan Balai Pustaka.
Untuk mengalihkan perhaÂtian terhadap kondisi di dalam neÂgeri, lembaga ini meÂnerÂjeÂmahkan atau menyadur hasil sastra Eropa.
Seiring dengan berdirinya BaÂlai Pustaka, pemerintah BeÂlanda mulai membuka perÂpuÂsÂtaÂkaan di sekolah-sekolah, meÂngadakan peminjaman buku – buku dengan tarif murah secara teratur, dan memberikan banÂtuÂan kepada usaha-usaha swasÂta untuk menyelenggarakan taÂman bacaan.
Agar tak bertentangan deÂngan kepentingan Belanda, karya-karya yang diterbitkan Balai Pustaka disensor ketat. SeÂmentara karya yang diterÂbitÂkan di luar Balai Pustaka diÂanggap bacaan liar.
Buku-buku yang diterbitkan Balai Pustaka dibagi dua. Yakni buku untuk anak dan buku hiÂburan serta pengetahuan. Buku-buku itu dicetak dalam bahasa Melayu maupun bahasa daerah.
Karya-karya sastra dalam bahasa Melayu mendapat temÂpat istimewa di Balai Pustaka. Para pengarang dari Sumatera cukup mendominasi saat itu. Tengok saja Merari Siregar (Azab dan Sengsara), Marah Rusli (Sitti Nurbaya) dan Abdul Muis (Salah Asuhan).
Pada masa pendudukan JeÂpang (1942-1945) Balai PusÂtaka tetap eksis. Namun namaÂnya diganti menjadi GunÂseiÂkanÂbo Kokumin Tosyokyoku yang artinya Biro Pustaka Rakyat PeÂmerintah Militer Jepang. SeÂteÂlah Jepang kalah dari sekutu dan Indonesia merdeka, lemÂbaga ini diambil alih republik.
Zaman keemasan Balai PusÂtaka sekitar tahun 1948 hingga pertengahan dekade 1950-an keÂtika dipimpin K.St. PamoenÂtÂjak. Saat itu, Balai Pustaka menÂÂdominasi penerbitan buku–buku sastra. Sejumlah pengaÂrang seperti HB.Jassin, Idrus, dan M.Taslim muncul pada era ini.
Di era Soeharto, Balai PustaÂka kerap menerima order dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) unÂtuk mencetak buku-buku peÂlajaran dari tingkat sekolah dasar (SD) hingga SMA. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.