Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Studio Disewakan, Karyawan Nyambi Di Rumah Produksi

Melongok Perusahaan Pelat Merah “Dhuafa” (1)

Minggu, 13 November 2011, 08:57 WIB
Studio Disewakan, Karyawan Nyambi Di Rumah Produksi
ilustrasi, tokoh “Si Unyil”
RMOL. Stiker warna biru bertuliskan “Si Unyil” ditempel di kaca jendela gedung Perum Produksi Film Negara (PFN). Warnanya sudah memudar. Begitu pula dengan prestasi BUMN itu.

Pada dekade 1980-an, perusa­ha­an pelat merah ini pernah ber­jaya lewat sejumlah film dan ta­yangan yang diproduksinya. Sa­lah satunya Unyil.

Keluarga In­donesia sangat akrab dengan tayangan untuk anak-anak yang ditayangkan TVRI pada setiap Minggu pagi. Setelah televisi swasta ber­ope­rasi, Unyil mulai tergeser. Hingga akhirnya tayangan ini tak lagi diproduksi.

Setelah lama vakum, tokoh Unyil dibangkitkan lagi ke layar kaca. Kali ini ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. Na­mun kebangkitan ini tak di­sertai kebangkitan PFN. Peru­sa­ha­an ini terus merugi. Tahun 2009 rugi Rp 1,29 miliar.

Wakil Kepala Bagian Admi­nis­trasi Umum Perum PFN, Winarto mengatakan, pihaknya tak lagi memproduksi film. “Kalaupun ada produksi film, mayoritas da­lam bentuk kerja sama dengan pemerintah daerah. Itu pun ja­rang-jarang,” katanya.

Pria yang bekerja sejak 1982 ini menjelaskan, kondisi peru­sa­ha­an negara ini sangat mem­pri­ha­tinkan. Untuk hidup, mengan­dal­kan “sedekah” dari pemerin­tah. “Anggarannya hanya untuk pembayaran gaji 106 karyawan,” curhat Winarto.

Namun, Winarto tak tahu persis kucuran dana dari pemerintah un­tuk pembayaran gaji karyawan. “Yang tahu lebih detailnya Ba­gian Keuangan,” kata dia.

Lantaran tak lagi memproduksi film, praktis para karyawan PFN “nganggur”. Untuk menyambung hidup, beberapa karyawan nyam­bi di rumah produksi (production house/PH) swasta.

“Karyawan di sini kan latar belakangnya macam-macam. Ada yang sutradara, penulis nas­kah, lighting. Banyak yang di­ta­wari untuk membantu pembuatan film swasta,” katanya Kepala Ba­gian Pemasaran Film PFN Zulkarnaen.

Namun, kata dia, para kar­ya­wan siap setiap saat bila PFN me­nerima order pembuatan film maupun tayangan. “Kami akan se­muanya, mulai dari studio in­door sampai sumber daya ma­nu­sianya,” kata Zulkarnaen.

Lantaran sepi order, PFN me­nyewakan aset yang dimiliki un­tuk memperoleh pemasukan. Sa­lah satunya studio film mulai dari kecil sampai besar.

Di kantornya di kawasan Ca­wang, Jakarta Timur, PFN me­miliki tiga studio kecil dan se­buah studio besar.

“Studio besar disewakan de­ngan tarif Rp 3,9 juta per 12 jam. Sedangkan yang kecil Rp 1 juta per 12 jam,” terang Zulkarnaen.

Kadang, kata dia, ada yang me­nyewa sampai dua hari. Setiap bu­lan ada saja yang menyewa stu­dio film PFN. “Lumayanlah bisa menambah kas perusahaan,” ucap Zulkarnaen.

Menteri BUMN Dahlan Iskan menyebut perusahaan pelat me­rah yang terus menerus rugi se­bagai “dhuafa”. Sebab untuk bisa hidup dan ber­operasi mengandal­kan “sedekah” dari pemerintah.

Sejumlah BUMN yang sehat pun berencana mengambil alih BUMN yang selama ini merugi. Nah, PFN diincar oleh PT Adhi Karya untuk dijadikan anak perusahaan.

Bagaimana reaksi orang PFN atas rencana akuisisi ini? Winarto tak berani berkomentar. Ia pasrah bila nanti PFN diambil alih Adhi Karya. “Itu urusan pemimpin pe­rusahaan. Kami sebagai bawahan ikut saja,” katanya.

Digerogoti Lumut Dan Karat

Perusahaan Film Negara (PFN) menempati tiga kavling di Jalan Otto Iskandar Dinata 125-127, Cawang, Jakarta Timur.

Gerbang masuk berada di tengah dengan lebar empat meter. Sebuah pos jaga yang cukup besar dibangun di belakang gerbang. Dua petugas keamanan mengenakan seragam putih hitam ber­jaga di pos ini. Masuk ke da­lam terlihat halaman yang cukup luas. Puluhan mobil parkir di halaman ini.

Di lahan seluas 2,3 hektar ber­diri sejumlah bangunan. Dilihat dari fisik dan modelnya, ba­ngu­nan-bangunan itu sudah berusia puluhan  tahun. Informasi yang diperoleh Rak­­yat Merdeka, se­mua bangunan di sini dibuat pada masa penjajahan Jepang.

Dua bangunan berlantai dua menempati bagian depan. Ba­ngu­nan ini dicat putih dengan hiasan warna biru di pinggirnya.  Di din­ding depan terdapat tulisan “PFN” dengan posisi vertikal. Ukurannya lumayan besar se­hingga bisa terlihat dari jalan.

Walaupun bermodel lawas, bangunannya cukup terawat di­banding bangunan lainnya yang ada di situ. Pemimpin perusahaan berkantor di sini.

Masuk lebih di sebelah kiri ter­dapat bangunan besar setinggi dua lantai. Bentuknya seperti gu­dang. Tak jelas apa warna asli ge­dung ini.

Lantai dasar dicat warna putih. Sedangkan list plang lantai atas warna merah muda. Bagian atas lan­tai ini dicat dengan warna hijau.

Sementara dinding yang me­nyangga atap dicat putih. Lukisan bekas air hujan memenuhi din­ding luar bangunan ini. Me­ning­galkan warna kehitam-hitaman di sana-sini.

Beberapa bagian dinding atas te­lah mengelupas. Batu bata ber­warna merah kecoklatan me­nyembul keluar. Bisa terlihat jelas dari kejauhan. Begitu juga karat yang memenuhi list plang di bagian atap.

Pintu masuk ke dalam ba­ngu­nan gedung berada di bagian te­ngah. Pintu besar terbuat dari besi. Di pintu ini terdapat tulisan “Studio PFN”. Lantai dua ba­ngu­nan ini dicat warna-warni, kuning dan hijau cerah. Bangunan ini adalah studio utama atau besar.

Di belakang studio terdapat ba­ngu­nan berlantai empat. Kon­disi­nya juga memprihatinkan. Warna putih yang melapisi dinding ba­ngunan ini sudah kusam ter­ma­kan zaman. Bekas air hujan ter­lihat di mana-mana. Beberapa bagian dinding ditumbuhi lumut.

Bangunan ini difungsikan untuk ruang studio, ruang mixing dan dubbing. Ada tiga studio kecil di sini.

Di depan bangunan ini terdapat g­edung berlantai dua. Lantai da­sar gedung ini digunakan untuk ruang promosi dan pemasaran. Se­dangkan atasnya dijadikan kantor Bagian Umum.

Mengintip ke dalam terlihat ruangan kantor yang cukup lebar. Tak terlihat kesibukan kerja di sini. Empat karyawan duduk di kursi kerjanya masing-masing. Se­orang karyawan terlihat me­nik­mati krupuk di mejanya.

Menanti Wajah Baru Di Bawah Adhi Karya

PT Adhi Karya berniat mengam­bil alih Perusahaan Film Negara (PFN). Kedua BUMN memiliki bidang usaha yang jauh berbeda.

Adhi Karya di bidang kons­truksi. Sementara PFN mem­pro­duksi film maupun tayangan un­tuk layar kaca.

Menurut Menteri BUMN Dah­lan Iskan,  BUMN yang diambil alih bisa mengganti bidang usa­ha­nya mengikuti keinginan induk semangnya.

“BUMN dhuafa ini diarahkan agar bermetamorfosis. Jadi, me­re­ka ganti bidang usaha boleh. Mau  ganti nama juga boleh. Yang pen­ting PT-nya tetap dan bisa survive (bertahan—red),” kata Dahlan.

Balai Pustaka, BUMN yang ber­gerak di bidang penerbitan buku mengubah bidang usahanya menjadi penyedia layanan con­tent setelah diakuisisi PT Telkom.

 Balai Pustaka akan menjadi pe­nyedia electronic book (e-book). Untuk itu, perusahaan ini telah mempekerjakan beberapa ahli di bidang teknologi infor­ma­si. “Jadi, bisnisnya bisa di­mo­di­fi­kasi sesuai strategi BUMN yang mengakuisisi,” ujar Dahlan.

Perusahaan Listik Negara (PLN) lebih dulu memelopori me­ngakuisisi BUMN yang me­rugi. PT Bahtera Adi Guna (BAG) yang bergerak di bidang pelayaran diambil alih pada Agustus lalu.

Bidang usaha PT BAG di­ubah menjadi menjadi pe­ngang­kut batu bara ke pembangkit-pe­m­bangkit listrik milik PLN. Nah, bagaimana wajah baru PFN di bawah Adhi Karya? Kita tunggu saja.

Dari Renville Sampai G30S/PKI

Perusahaan Film Negara (PFN) memiliki sejarah pan­jang. Cikal bakalnya berawal dari pendirian perusahaan per­filman oleh Albert Ballink pada tahun1934. Perusahaan ini ber­nama Java Pasific Film.

Pada tahun 1936 namanya di­ubah menjadi Algemeene Ne­der­lands Indiesche Film (ANIF). Perusahaan ini mem­fo­kuskan diri pada pembuatan film cerita dan film dokumenter.

Pada 1942 Jepang datang dan melakukan pendudukan di Indonesia. Semua aset Belanda dan perusahaan-perusahaan orang Belanda diambil alih, termasuk ANIF. Jepang lalu mendirikan se­buah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon Eiga Sha di bawah pengawasan Sendenbu.

Film yang diproduksi Nippon Eiga Sha pada umumnya ber­tujuan sebagai alat propaganda politik Jepang di Indonesia.

Setelah kemerdekaan, para karyawan Nippon Eiga Sha melakukan pergerakan untuk mengambil alih perusahaan ini. Pada 6 Oktober 1945, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada Pe­merintah Indonesia. Namanya kemudian diganti menjadi BFI.

BFI telah membuat 13 film do­kumentasi dan berita menge­nai berbagai peristiwa di awal kemerdekaan. Di antaranya Pe­kan Olahraga Nasional I di Su­rakarta (1948), pem­be­ron­takan PKI Madiun 1948, agresi mi­liter Belanda I dan II, pe­r­un­di­ngan di atas kapal Renville dan di Linggajati serta serah terima kedaulatan di Belanda pada 27 Desember 1949.

Pada tahun 1950, BFI be­r­ganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN).  Pen­yem­pur­naan ejaan bahasa membuat nama perusahaan ini perlu diubah. Namanya menjadi Pe­ru­sahaan Film Negara (PFN).

Pergantian nama dikukuhkan dengan keluarnya surat keputu­san Menteri Penerangan Nomor 55 B/MENPEN/1975 pada tanggal 16 Agustus 1975. Ber­da­sarkan surat keputusan ini maka PFN berubah menjadi Pu­sat Produksi Film Negara (PPFN).

Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar dapat dikelola secara profesional dengan meng­guna­kan prinsip-prinsip  yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta perusahaan.

Agar dapat mencapai hal ter­sebut, status PFN diubah men­jadi Perusahaan Umum lewat Peraturan Pemerintah (PP) No­mor 5 Tahun 1988 yang dike­luar­kan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmi­lah PPFN berganti nama men­jadi Perusahaan Umum Pro­duk­si Film Negara (Perum PFN).

Selama kurun 1980 sampai akhir dekade1990-an, PFN mem­produksi sejumlah taya­ngan yang akrab dengan ke­luarga Indonesia. Di antaranya Si Unyil dan Aku Cinta In­donesia (ACI).

Film Pengkhianatan G30S/PKI-yang-di era Soeharto se­la­lu diputar pada setiap 30 Sep­tember-menjadi ma­ha­kar­ya PFN. Setelah Soeharto tum­bang, film ini tak lagi diputar. Perusahaan ini  juga mem­buat film-film bertema pe­r­jua­ngan. Di antaranya Serangan Faj­ar dan Kereta Api Terakhir. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA