Pada dekade 1980-an, perusaÂhaÂan pelat merah ini pernah berÂjaya lewat sejumlah film dan taÂyangan yang diproduksinya. SaÂlah satunya Unyil.
Keluarga InÂdonesia sangat akrab dengan tayangan untuk anak-anak yang ditayangkan TVRI pada setiap Minggu pagi. Setelah televisi swasta berÂopeÂrasi, Unyil mulai tergeser. Hingga akhirnya tayangan ini tak lagi diproduksi.
Setelah lama vakum, tokoh Unyil dibangkitkan lagi ke layar kaca. Kali ini ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta. NaÂmun kebangkitan ini tak diÂsertai kebangkitan PFN. PeruÂsaÂhaÂan ini terus merugi. Tahun 2009 rugi Rp 1,29 miliar.
Wakil Kepala Bagian AdmiÂnisÂtrasi Umum Perum PFN, Winarto mengatakan, pihaknya tak lagi memproduksi film. “Kalaupun ada produksi film, mayoritas daÂlam bentuk kerja sama dengan pemerintah daerah. Itu pun jaÂrang-jarang,†katanya.
Pria yang bekerja sejak 1982 ini menjelaskan, kondisi peruÂsaÂhaÂan negara ini sangat memÂpriÂhaÂtinkan. Untuk hidup, menganÂdalÂkan “sedekah†dari pemerinÂtah. “Anggarannya hanya untuk pembayaran gaji 106 karyawan,†curhat Winarto.
Namun, Winarto tak tahu persis kucuran dana dari pemerintah unÂtuk pembayaran gaji karyawan. “Yang tahu lebih detailnya BaÂgian Keuangan,†kata dia.
Lantaran tak lagi memproduksi film, praktis para karyawan PFN “nganggurâ€. Untuk menyambung hidup, beberapa karyawan nyamÂbi di rumah produksi (production house/PH) swasta.
“Karyawan di sini kan latar belakangnya macam-macam. Ada yang sutradara, penulis nasÂkah, lighting. Banyak yang diÂtaÂwari untuk membantu pembuatan film swasta,†katanya Kepala BaÂgian Pemasaran Film PFN Zulkarnaen.
Namun, kata dia, para karÂyaÂwan siap setiap saat bila PFN meÂnerima order pembuatan film maupun tayangan. “Kami akan seÂmuanya, mulai dari studio inÂdoor sampai sumber daya maÂnuÂsianya,†kata Zulkarnaen.
Lantaran sepi order, PFN meÂnyewakan aset yang dimiliki unÂtuk memperoleh pemasukan. SaÂlah satunya studio film mulai dari kecil sampai besar.
Di kantornya di kawasan CaÂwang, Jakarta Timur, PFN meÂmiliki tiga studio kecil dan seÂbuah studio besar.
“Studio besar disewakan deÂngan tarif Rp 3,9 juta per 12 jam. Sedangkan yang kecil Rp 1 juta per 12 jam,†terang Zulkarnaen.
Kadang, kata dia, ada yang meÂnyewa sampai dua hari. Setiap buÂlan ada saja yang menyewa stuÂdio film PFN. “Lumayanlah bisa menambah kas perusahaan,†ucap Zulkarnaen.
Menteri BUMN Dahlan Iskan menyebut perusahaan pelat meÂrah yang terus menerus rugi seÂbagai “dhuafaâ€. Sebab untuk bisa hidup dan berÂoperasi mengandalÂkan “sedekah†dari pemerintah.
Sejumlah BUMN yang sehat pun berencana mengambil alih BUMN yang selama ini merugi. Nah, PFN diincar oleh PT Adhi Karya untuk dijadikan anak perusahaan.
Bagaimana reaksi orang PFN atas rencana akuisisi ini? Winarto tak berani berkomentar. Ia pasrah bila nanti PFN diambil alih Adhi Karya. “Itu urusan pemimpin peÂrusahaan. Kami sebagai bawahan ikut saja,†katanya.
Digerogoti Lumut Dan Karat
Perusahaan Film Negara (PFN) menempati tiga kavling di Jalan Otto Iskandar Dinata 125-127, Cawang, Jakarta Timur.
Gerbang masuk berada di tengah dengan lebar empat meter. Sebuah pos jaga yang cukup besar dibangun di belakang gerbang. Dua petugas keamanan mengenakan seragam putih hitam berÂjaga di pos ini. Masuk ke daÂlam terlihat halaman yang cukup luas. Puluhan mobil parkir di halaman ini.
Di lahan seluas 2,3 hektar berÂdiri sejumlah bangunan. Dilihat dari fisik dan modelnya, baÂnguÂnan-bangunan itu sudah berusia puluhan tahun. Informasi yang diperoleh RakÂÂyat Merdeka, seÂmua bangunan di sini dibuat pada masa penjajahan Jepang.
Dua bangunan berlantai dua menempati bagian depan. BaÂnguÂnan ini dicat putih dengan hiasan warna biru di pinggirnya. Di dinÂding depan terdapat tulisan “PFN†dengan posisi vertikal. Ukurannya lumayan besar seÂhingga bisa terlihat dari jalan.
Walaupun bermodel lawas, bangunannya cukup terawat diÂbanding bangunan lainnya yang ada di situ. Pemimpin perusahaan berkantor di sini.
Masuk lebih di sebelah kiri terÂdapat bangunan besar setinggi dua lantai. Bentuknya seperti guÂdang. Tak jelas apa warna asli geÂdung ini.
Lantai dasar dicat warna putih. Sedangkan list plang lantai atas warna merah muda. Bagian atas lanÂtai ini dicat dengan warna hijau.
Sementara dinding yang meÂnyangga atap dicat putih. Lukisan bekas air hujan memenuhi dinÂding luar bangunan ini. MeÂningÂgalkan warna kehitam-hitaman di sana-sini.
Beberapa bagian dinding atas teÂlah mengelupas. Batu bata berÂwarna merah kecoklatan meÂnyembul keluar. Bisa terlihat jelas dari kejauhan. Begitu juga karat yang memenuhi list plang di bagian atap.
Pintu masuk ke dalam baÂnguÂnan gedung berada di bagian teÂngah. Pintu besar terbuat dari besi. Di pintu ini terdapat tulisan “Studio PFNâ€. Lantai dua baÂnguÂnan ini dicat warna-warni, kuning dan hijau cerah. Bangunan ini adalah studio utama atau besar.
Di belakang studio terdapat baÂnguÂnan berlantai empat. KonÂdisiÂnya juga memprihatinkan. Warna putih yang melapisi dinding baÂngunan ini sudah kusam terÂmaÂkan zaman. Bekas air hujan terÂlihat di mana-mana. Beberapa bagian dinding ditumbuhi lumut.
Bangunan ini difungsikan untuk ruang studio, ruang mixing dan dubbing. Ada tiga studio kecil di sini.
Di depan bangunan ini terdapat gÂedung berlantai dua. Lantai daÂsar gedung ini digunakan untuk ruang promosi dan pemasaran. SeÂdangkan atasnya dijadikan kantor Bagian Umum.
Mengintip ke dalam terlihat ruangan kantor yang cukup lebar. Tak terlihat kesibukan kerja di sini. Empat karyawan duduk di kursi kerjanya masing-masing. SeÂorang karyawan terlihat meÂnikÂmati krupuk di mejanya.
Menanti Wajah Baru Di Bawah Adhi Karya
PT Adhi Karya berniat mengamÂbil alih Perusahaan Film Negara (PFN). Kedua BUMN memiliki bidang usaha yang jauh berbeda.
Adhi Karya di bidang konsÂtruksi. Sementara PFN memÂproÂduksi film maupun tayangan unÂtuk layar kaca.
Menurut Menteri BUMN DahÂlan Iskan, BUMN yang diambil alih bisa mengganti bidang usaÂhaÂnya mengikuti keinginan induk semangnya.
“BUMN dhuafa ini diarahkan agar bermetamorfosis. Jadi, meÂreÂka ganti bidang usaha boleh. Mau ganti nama juga boleh. Yang penÂting PT-nya tetap dan bisa survive (bertahan—red),†kata Dahlan.
Balai Pustaka, BUMN yang berÂgerak di bidang penerbitan buku mengubah bidang usahanya menjadi penyedia layanan conÂtent setelah diakuisisi PT Telkom.
Balai Pustaka akan menjadi peÂnyedia electronic book (e-book). Untuk itu, perusahaan ini telah mempekerjakan beberapa ahli di bidang teknologi inforÂmaÂsi. “Jadi, bisnisnya bisa diÂmoÂdiÂfiÂkasi sesuai strategi BUMN yang mengakuisisi,†ujar Dahlan.
Perusahaan Listik Negara (PLN) lebih dulu memelopori meÂngakuisisi BUMN yang meÂrugi. PT Bahtera Adi Guna (BAG) yang bergerak di bidang pelayaran diambil alih pada Agustus lalu.
Bidang usaha PT BAG diÂubah menjadi menjadi peÂngangÂkut batu bara ke pembangkit-peÂmÂbangkit listrik milik PLN. Nah, bagaimana wajah baru PFN di bawah Adhi Karya? Kita tunggu saja.
Dari Renville Sampai G30S/PKI
Perusahaan Film Negara (PFN) memiliki sejarah panÂjang. Cikal bakalnya berawal dari pendirian perusahaan perÂfilman oleh Albert Ballink pada tahun1934. Perusahaan ini berÂnama Java Pasific Film.
Pada tahun 1936 namanya diÂubah menjadi Algemeene NeÂderÂlands Indiesche Film (ANIF). Perusahaan ini memÂfoÂkuskan diri pada pembuatan film cerita dan film dokumenter.
Pada 1942 Jepang datang dan melakukan pendudukan di Indonesia. Semua aset Belanda dan perusahaan-perusahaan orang Belanda diambil alih, termasuk ANIF. Jepang lalu mendirikan seÂbuah perusahaan perfilman yang diberi nama Nippon Eiga Sha di bawah pengawasan Sendenbu.
Film yang diproduksi Nippon Eiga Sha pada umumnya berÂtujuan sebagai alat propaganda politik Jepang di Indonesia.
Setelah kemerdekaan, para karyawan Nippon Eiga Sha melakukan pergerakan untuk mengambil alih perusahaan ini. Pada 6 Oktober 1945, Nippon Eiga Sha diserahkan kepada PeÂmerintah Indonesia. Namanya kemudian diganti menjadi BFI.
BFI telah membuat 13 film doÂkumentasi dan berita mengeÂnai berbagai peristiwa di awal kemerdekaan. Di antaranya PeÂkan Olahraga Nasional I di SuÂrakarta (1948), pemÂbeÂronÂtakan PKI Madiun 1948, agresi miÂliter Belanda I dan II, peÂrÂunÂdiÂngan di atas kapal Renville dan di Linggajati serta serah terima kedaulatan di Belanda pada 27 Desember 1949.
Pada tahun 1950, BFI beÂrÂganti nama menjadi Perusahaan Pilem Negara (PPN). PenÂyemÂpurÂnaan ejaan bahasa membuat nama perusahaan ini perlu diubah. Namanya menjadi PeÂruÂsahaan Film Negara (PFN).
Pergantian nama dikukuhkan dengan keluarnya surat keputuÂsan Menteri Penerangan Nomor 55 B/MENPEN/1975 pada tanggal 16 Agustus 1975. BerÂdaÂsarkan surat keputusan ini maka PFN berubah menjadi PuÂsat Produksi Film Negara (PPFN).
Pergantian nama kembali terjadi seiring dengan berbagai usaha yang dilakukan untuk mengembangkan perusahaan dan agar dapat dikelola secara profesional dengan mengÂgunaÂkan prinsip-prinsip yang dapat memberikan keuntungan bagi negara serta perusahaan.
Agar dapat mencapai hal terÂsebut, status PFN diubah menÂjadi Perusahaan Umum lewat Peraturan Pemerintah (PP) NoÂmor 5 Tahun 1988 yang dikeÂluarÂkan pada tanggal 7 Mei 1988. Dengan demikian resmiÂlah PPFN berganti nama menÂjadi Perusahaan Umum ProÂdukÂsi Film Negara (Perum PFN).
Selama kurun 1980 sampai akhir dekade1990-an, PFN memÂproduksi sejumlah tayaÂngan yang akrab dengan keÂluarga Indonesia. Di antaranya Si Unyil dan Aku Cinta InÂdonesia (ACI).
Film Pengkhianatan G30S/PKI-yang-di era Soeharto seÂlaÂlu diputar pada setiap 30 SepÂtember-menjadi maÂhaÂkarÂya PFN. Setelah Soeharto tumÂbang, film ini tak lagi diputar. Perusahaan ini juga memÂbuat film-film bertema peÂrÂjuaÂngan. Di antaranya Serangan FajÂar dan Kereta Api Terakhir. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.