Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Direksi Masih Pikir-pikir, Karyawan Ngotot Menolak

Merpati Diminta Pindah Kantor dari Kemayoran

Senin, 07 November 2011, 08:40 WIB
Direksi Masih Pikir-pikir, Karyawan Ngotot Menolak
PT Merpati Nusantara
RMOL.PT Merpati Nusantara terlilit utang hingga triliunan rupiah. Pemerintah bersedia menyuntik dana agar maskapai plat merah itu tak limbung. Tapi, syaratnya Merpati harus melakukan efisiensi habis-habisan.

Selain menciutkan jumlah direksi, Merpati disarankan pin­dah kantor. Ke mana? Pilihannya dua: ke bandara atau Makassar, Sulawesi Selatan. Tujuannya agar lebih dekat dengan bidang bis­nisnya sehingga bisa memangkas biaya operasional.

Garuda Indonesia lebih dulu ber­kantor di Bandara Soekarno-Hatta. Bekas kantornya di Jalan Medan Merdeka Selatan kini di­tem­pati Kementerian BUMN.

Saat ini, Merpati berkantor di ge­dung milik Badan SAR Nasio­nal (Basarnas) di Kemayoran dengan sistem sewa. Biaya sewa mencapai Rp 3 miliar per tahun.

Dulu, gedung ini milik Mer­pati. Lantaran ada rencana pindah kantor ke Makassar, gedung dijual ke Basarnas seharga Rp 180 miliar. Belakangan, kar­ya­wan menolak pindah. Sudah te­lanjur dijual, Merpati mengontrak di bekas gedung miliknya.     

Akhir pekan lalu, Rakyat Mer­deka berkunjung ke kantor Mer­pati. Menatap dari kejauhan tam­pak gedung Basarnas berdiri de­ngan gagahnya.

Sekilas gedung berlantai 16 ini terlihat mentereng dibandingkan bangunan-bangunan di sekitar­nya. Tulisan “Badan SAR Na­sio­nal” di lantai paling atas men­coba mengukuhkan identitas pemilik gedung ini.

Menginjakkan kaki di lobby gedung, suasananya ramai. Orang wa­ra-wiri dengan berbagai ke­perluannya masing-masing.

Dari papan informasi yang di­tempel di dinding di belakang meja resepsionis, Merpati me­nem­pati beberapa lantai di ge­dung ini. Yakni lantai L, lantai M2, lantai 9, lantai 10 dan lantai 11.  

Lantai L adalah lobby. Merpati menyewa ruangan di bagian po­jok kanan lobby untuk penjualan tiket. Mengintip ke dalam, tam­pak beberapa staf sedang me­layani penjualan tiket kepada konsumen.

Rakyat Merdeka lalu naik ke Lantai M2. Di lantai ini terdapat ruang komisioner Merpati, stra­tegic management office, procu­re­ment, corporate  finance, ac­coun­ting, gudang dokumen, ruang rapat, teknik Jakarta, pe­ngadaan pesawat dan perp­ustakaan.

Keluar dari lift, terlihat meja kayu berukuran sedang di sebelah kiri. Di baliknya duduk satpam ber­seragam lengkap. Setiap orang yang berkunjung diminta me­ngisi buku tamu terlebih dulu se­belum masuk.  Satu set foda ku­l­it hitam disediakan untuk tempat duduk tamu yang menunggu.

Rakyat Merdeka memasuki ruang direksi Merpati. Posisinya berada di sisi kanan meja satpam atau di sisi kiri lift. Memasuki tem­pat ini, tampak satu set sofa kulit berwarna abu-abu. Lantai­nya dilapisi karpet warna senada.

Warnanya sudah memudar. Di beberapa bagian tampak me­nyem­bul karena lem perekat kar­pet dengan lantai sudah mengelupas.

Di dinding dekat sofa tunggu dipajang beberapa replika pesa­wat dan sertifikat yang tertata dengan rapi. Di balik dinding ini terdapat ruang kerja direksi.

Mengintip ke dalam ruang kerja Vice President, terlihat ada tiga ruangan yakni untuk staf khu­sus, sekretaris dan vice president.

Seperti ruang kerja kebanya­kan, di dalam ruang kerja Vice President Merpati terdapat satu meja kerja, lemari dan satu set sofa untuk tamu.

Merpati menyewa lantai 10 untuk flight operations support (OCC), aviation safety, sales dan revenue management, informa­tion and communication techno­logy, ruang PABX, gudang DX, Se­rikat Karyawan, AAK dan APM.

Sementara di lantai 11 dijadi­kan tempat SBU training centre dan flight operations. Dirut Mer­pati Sardjono Jhony masih pikir-pikir untuk pindah kantor. “Kan­tornya sangat sederhana, karp­et­nya saja bekas, wallpaper-nya juga bekas. Kalau pindah, kita akan hitung dulu apakah akan lebih ekonomis dan lebih efisien dari segi waktu,” kilahnya.

Bila pindah, pasti akan ada biaya yang dikeluarkan. Mi­sal­nya untuk beli furnitur. Se­men­tara pe­rusahaan sedang krisis ke­uangan. “Merpati ini sudah nggak punya apa-apa lagi,” ucapnya lirih.

“Perpindahan ke Makassar su­dah pernah dikaji. Kalau kita mau pindah kantor atau melakukan se­suatu yang sifatnya strategis, harus dihitung added value (nilai tambah) bagi perusahaan. Ini lagi-lagi tentang speed (ke­cepa­tan). Wajar kalau menteri me­nya­rankan untuk mendekat ke daerah operasional,” kata Sardjono.

Lokasi kantor baru, kata dia, be­lum tentu di Cengkareng. Se­bab, Merpati juga beroperasi di Bandara Halim Perdanakusuma. “Pertanyaannya adakah ruang yang tersedia atau tidak di sana,” kata Sardjono.

Berbeda dengan direksi, kar­yawan menolak pindah kantor. “Terus terang kita menolak. Me­nolak dalam arti kalau ke­bi­ja­kannya seperti tahun 2009, di­minta asal pindah tanpa per­tim­bangan yang matang,” kata Danu Risman, Ketua Harian Forum Pe­gawai Merpati.

Kalaupun mau pindah harus terencana, pelan-pelan, bukan langsung bedol desa. Menurut dia, tak mudah memindahkan 2.000 pegawai sekaligus ke luar Jakarta.

“Pertama kalau kita pindah ke Makassar biaya hidup gede. Memindahkan sekian ribu pe­gawai, itu kan perlu biaya besar. Daripada uang habis buat pindah, kenapa nggak dijadikan modal buat memperbaiki Merpati,” sarannya.

Jadi Pasien PPA, Andalkan Suntikan Dana Pemerintah

Bukan kali ini, Merpati Nu­santara terjerembab. Maskapai yang kini berusia 49 tahun sudah sering jatuh-bangun di bisnis penerbangan.

Merpati lahir lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1962 dengan modal Rp 10 juta. Tujuan pendiriannya sa­ngat mulia: untuk menyatukan wilayah Indonesia yang ter­pisahkan lautan.

Namun dalam perjalanan bis­nisnya, Merpati tak bisa lepas dari intervensi. Pada 1978, Mer­pati harus mengalihkan mo­dal­nya ke Garuda Indonesia. Mer­pati pun jadi anak usaha Garuda. Alasannya agar jadi se­hat dan bisa tetap menjalankan pe­ner­bangan perintis. Tahun 1996, Mer­pati berpisah dengan Garuda.

Campur tangan lainnya adalah ketika Merpati dipaksa memakai pesawat CN 235. Pesawat ini tak ekonomis jika di­operasikan untuk rute domes­tik. Akibatnya, Merpati merugi mengoperasikan pesawat pro­duksi PT Dirgantara Indonesia (DI) ini.

Sebab, pemasukannya dalam rupiah. Sementara, PT DI tak mau menerima pembayaran angsuran dalam bentuk rupiah. Harus dalam dolar yang nilai tukarnya berfluktuasi terhadap rupiah. Merpati pun mencoba menawarkan pesawat CN 235 untuk over kontrak ke negara.

Utang Merpati makin meng­gunung hingga Rp 1,7 triliun pada 1999. Saat ini sudah men­capai Rp 4 triliun.

Melihat kondisi ini, pemerin­tah tak tinggal diam. Merpati di­masukkan sebagai pasien PT Pe­rusahaan Pengelola Aset (PPA). Tapi, program peny­e­ha­tan ber­ja­lan lambat. Untuk ber­tahan, Mer­pati masih me­nga­n­dalkan sun­ti­kan dana pe­me­rintah. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA