Selain menciutkan jumlah direksi, Merpati disarankan pinÂdah kantor. Ke mana? Pilihannya dua: ke bandara atau Makassar, Sulawesi Selatan. Tujuannya agar lebih dekat dengan bidang bisÂnisnya sehingga bisa memangkas biaya operasional.
Garuda Indonesia lebih dulu berÂkantor di Bandara Soekarno-Hatta. Bekas kantornya di Jalan Medan Merdeka Selatan kini diÂtemÂpati Kementerian BUMN.
Saat ini, Merpati berkantor di geÂdung milik Badan SAR NasioÂnal (Basarnas) di Kemayoran dengan sistem sewa. Biaya sewa mencapai Rp 3 miliar per tahun.
Dulu, gedung ini milik MerÂpati. Lantaran ada rencana pindah kantor ke Makassar, gedung dijual ke Basarnas seharga Rp 180 miliar. Belakangan, karÂyaÂwan menolak pindah. Sudah teÂlanjur dijual, Merpati mengontrak di bekas gedung miliknya.
Akhir pekan lalu, Rakyat MerÂdeka berkunjung ke kantor MerÂpati. Menatap dari kejauhan tamÂpak gedung Basarnas berdiri deÂngan gagahnya.
Sekilas gedung berlantai 16 ini terlihat mentereng dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarÂnya. Tulisan “Badan SAR NaÂsioÂnal†di lantai paling atas menÂcoba mengukuhkan identitas pemilik gedung ini.
Menginjakkan kaki di lobby gedung, suasananya ramai. Orang waÂra-wiri dengan berbagai keÂperluannya masing-masing.
Dari papan informasi yang diÂtempel di dinding di belakang meja resepsionis, Merpati meÂnemÂpati beberapa lantai di geÂdung ini. Yakni lantai L, lantai M2, lantai 9, lantai 10 dan lantai 11.
Lantai L adalah lobby. Merpati menyewa ruangan di bagian poÂjok kanan lobby untuk penjualan tiket. Mengintip ke dalam, tamÂpak beberapa staf sedang meÂlayani penjualan tiket kepada konsumen.
Rakyat Merdeka lalu naik ke Lantai M2. Di lantai ini terdapat ruang komisioner Merpati, straÂtegic management office, procuÂreÂment, corporate finance, acÂcounÂting, gudang dokumen, ruang rapat, teknik Jakarta, peÂngadaan pesawat dan perpÂustakaan.
Keluar dari lift, terlihat meja kayu berukuran sedang di sebelah kiri. Di baliknya duduk satpam berÂseragam lengkap. Setiap orang yang berkunjung diminta meÂngisi buku tamu terlebih dulu seÂbelum masuk. Satu set foda kuÂlÂit hitam disediakan untuk tempat duduk tamu yang menunggu.
Rakyat Merdeka memasuki ruang direksi Merpati. Posisinya berada di sisi kanan meja satpam atau di sisi kiri lift. Memasuki temÂpat ini, tampak satu set sofa kulit berwarna abu-abu. LantaiÂnya dilapisi karpet warna senada.
Warnanya sudah memudar. Di beberapa bagian tampak meÂnyemÂbul karena lem perekat karÂpet dengan lantai sudah mengelupas.
Di dinding dekat sofa tunggu dipajang beberapa replika pesaÂwat dan sertifikat yang tertata dengan rapi. Di balik dinding ini terdapat ruang kerja direksi.
Mengintip ke dalam ruang kerja Vice President, terlihat ada tiga ruangan yakni untuk staf khuÂsus, sekretaris dan vice president.
Seperti ruang kerja kebanyaÂkan, di dalam ruang kerja Vice President Merpati terdapat satu meja kerja, lemari dan satu set sofa untuk tamu.
Merpati menyewa lantai 10 untuk flight operations support (OCC), aviation safety, sales dan revenue management, informaÂtion and communication technoÂlogy, ruang PABX, gudang DX, SeÂrikat Karyawan, AAK dan APM.
Sementara di lantai 11 dijadiÂkan tempat SBU training centre dan flight operations. Dirut MerÂpati Sardjono Jhony masih pikir-pikir untuk pindah kantor. “KanÂtornya sangat sederhana, karpÂetÂnya saja bekas, wallpaper-nya juga bekas. Kalau pindah, kita akan hitung dulu apakah akan lebih ekonomis dan lebih efisien dari segi waktu,†kilahnya.
Bila pindah, pasti akan ada biaya yang dikeluarkan. MiÂsalÂnya untuk beli furnitur. SeÂmenÂtara peÂrusahaan sedang krisis keÂuangan. “Merpati ini sudah nggak punya apa-apa lagi,†ucapnya lirih.
“Perpindahan ke Makassar suÂdah pernah dikaji. Kalau kita mau pindah kantor atau melakukan seÂsuatu yang sifatnya strategis, harus dihitung added value (nilai tambah) bagi perusahaan. Ini lagi-lagi tentang speed (keÂcepaÂtan). Wajar kalau menteri meÂnyaÂrankan untuk mendekat ke daerah operasional,†kata Sardjono.
Lokasi kantor baru, kata dia, beÂlum tentu di Cengkareng. SeÂbab, Merpati juga beroperasi di Bandara Halim Perdanakusuma. “Pertanyaannya adakah ruang yang tersedia atau tidak di sana,†kata Sardjono.
Berbeda dengan direksi, karÂyawan menolak pindah kantor. “Terus terang kita menolak. MeÂnolak dalam arti kalau keÂbiÂjaÂkannya seperti tahun 2009, diÂminta asal pindah tanpa perÂtimÂbangan yang matang,†kata Danu Risman, Ketua Harian Forum PeÂgawai Merpati.
Kalaupun mau pindah harus terencana, pelan-pelan, bukan langsung bedol desa. Menurut dia, tak mudah memindahkan 2.000 pegawai sekaligus ke luar Jakarta.
“Pertama kalau kita pindah ke Makassar biaya hidup gede. Memindahkan sekian ribu peÂgawai, itu kan perlu biaya besar. Daripada uang habis buat pindah, kenapa nggak dijadikan modal buat memperbaiki Merpati,†sarannya.
Jadi Pasien PPA, Andalkan Suntikan Dana Pemerintah
Bukan kali ini, Merpati NuÂsantara terjerembab. Maskapai yang kini berusia 49 tahun sudah sering jatuh-bangun di bisnis penerbangan.
Merpati lahir lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1962 dengan modal Rp 10 juta. Tujuan pendiriannya saÂngat mulia: untuk menyatukan wilayah Indonesia yang terÂpisahkan lautan.
Namun dalam perjalanan bisÂnisnya, Merpati tak bisa lepas dari intervensi. Pada 1978, MerÂpati harus mengalihkan moÂdalÂnya ke Garuda Indonesia. MerÂpati pun jadi anak usaha Garuda. Alasannya agar jadi seÂhat dan bisa tetap menjalankan peÂnerÂbangan perintis. Tahun 1996, MerÂpati berpisah dengan Garuda.
Campur tangan lainnya adalah ketika Merpati dipaksa memakai pesawat CN 235. Pesawat ini tak ekonomis jika diÂoperasikan untuk rute domesÂtik. Akibatnya, Merpati merugi mengoperasikan pesawat proÂduksi PT Dirgantara Indonesia (DI) ini.
Sebab, pemasukannya dalam rupiah. Sementara, PT DI tak mau menerima pembayaran angsuran dalam bentuk rupiah. Harus dalam dolar yang nilai tukarnya berfluktuasi terhadap rupiah. Merpati pun mencoba menawarkan pesawat CN 235 untuk over kontrak ke negara.
Utang Merpati makin mengÂgunung hingga Rp 1,7 triliun pada 1999. Saat ini sudah menÂcapai Rp 4 triliun.
Melihat kondisi ini, pemerinÂtah tak tinggal diam. Merpati diÂmasukkan sebagai pasien PT PeÂrusahaan Pengelola Aset (PPA). Tapi, program penyÂeÂhaÂtan berÂjaÂlan lambat. Untuk berÂtahan, MerÂpati masih meÂngaÂnÂdalkan sunÂtiÂkan dana peÂmeÂrintah. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.