Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tiga Tahun Beli Kantor Rp 6,5 Miliar di Kalibata

Ngintip Bisnis Lembaga Survei

Sabtu, 05 November 2011, 08:53 WIB
Tiga Tahun Beli Kantor Rp 6,5 Miliar di Kalibata
Ja­ringan Suara Indonesia (JSI)
RMOL.Secara beruntun, sejumlah lembaga survei merilis hasil jajak pendapat mengenai beragam isu. Hasilnya mengejutkan. Walaupun mengklaim hasil ini menggambarkan persepsi publik, tapi bertolak belakang dengan logika orang kebanyakan.

Kecurigaan bahwa survei-survei itu adalah pesanan pihak tertentu pun mencuat. DPR di­de­sak menelurkan Undang-Undang (UU) mengenai survei yang me­ngatur kode etik lembaga survei.

Bagaimana lembaga survei menjalankan bisnisnya? Berikut liputan Rakyat Merdeka.

Widdi Aswindi memelototi tum­pukan berkas di atas meja ker­janya. Direktur Eksekutif Ja­ringan Suara Indonesia (JSI) ini membaca-baca lagi hasil survei yang dilakukan lembaganya.

“Setahun, kami bisa mela­ku­kan 190 survei,” katanya saat di­te­mui di kantor JSI di Jalan Wa­rung Jati Timur Nomor 8AS, Ka­libata, Jakarta Selatan.

Kebanyakan mengenai pil­ka­da, baik untuk tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. JSI, kata dia, juga melakukan survei me­ngenai anggota legislatif di ting­kat nasional maupun daerah.

Untuk menggelar survei, JSI di­dukung 38 staf di kantor di Ja­karta, 33 koordinator wilayah yang bertempat di ibu kota pro­vinsi dan 14 ribu relawan.   

Me­nurut Widdi, dengan modal itu pihaknya bisa menggelar survei atau jajak pendapat secara nasional.

Sebagian besar staf itu pin­da­han dari beberapa lembaga survei yang telah lebih dulu berdiri. JSI berdiri tahun 2008. Sebelum men­dirikan lembaga survei sen­diri, Widdi bekerja sebagai di­rek­tur riset di Lingkaran Survei In­do­nesia (LSI) milik Denny JA.

“Karena melakukan cara-cara yang mengganggu hati nurani, akhirnya kami memilih keluar demi integritas diri,” ujar Widdi.

Dengan modal patungan, Wid­di dan kawan-kawan men­di­ri­kan JSI. Widdi menegaskan, lembaga survei yang dipimpinnya me­nge­depankan kejujuran.

Walaupun memiliki sumber daya untuk menggelar survei se­cara nasional, JSI lebih senang ber­main di daerah. Mereka meng­garap survei pemilihan bupati/walikota dan pemilihan gubernur.

“Kalau tingkat bawah sudah kuat baru main di tingkat nasio­nal,” kata Widdi.

Tahun ini, JSI mulai meng­ga­rap survei secara nasional. Isu yang dijadikan obyek survei ada­lah kinerja lembaga penegak hu­kum. Hasil survei dirilis belum lama. Kesimpulannya men­ce­ngangkan: polisi lebih dipercaya daripada KPK.

Dalam waktu dekat, JSI akan merilis hasil survei lagi. Isunya tak jauh-jauh dari pilkada. Yakni keinginan masyarakat mengenai pemilihan gubernur.

“Apakah ma­syarakat ingin pe­mi­lihan langsung atau dipilih oleh ang­gota DPRD,” kata Widdi.

Untuk menggarap survei nasio­nal, JSI mematok tarif Rp 400-600 juta. Tingkat provinsi Rp 200-350 juta. Sedangkan untuk kabupaten/kota Rp 100-200 juta.

Menurut Widdi, wajar semakin besar cakupan survei makin besar pula tarifnya. “Untuk tiket pesa­wat staf ke lapangan, kami me­ngeluarkan Rp 200 juta setiap bu­lan,” ungkapnya.

Selain bergerak di bidang survei, JSI juga menawarkan jasa se­bagai konsultan politik. Klien­nya calon kepala daerah, anggota legislatif dan parpol.

Widdi menyebutkan 16 calon yang didampingi JSI meme­nang­kan pilkada. Delapan belas caleg tingkat nasional maupun daerah berhasil lolos.

“Kami juga men­jadi konsultan Parpol seperti Gol­kar, Demokrat maupun PAN,” kata Widdi.

Berapa tarif yang dipatok? Me­nurut Widdi, bervariasi. “Bia­sa­nya para calon memilih satu pa­ket antara survei dengan kon­sul­tan politik,” katanya tanpa me­nye­butkan besar tarifnya.

Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo salah satu peng­guna jasa JSI. Fauzi memilih satu paket. “Setiap enam bulan sekali kami melakukan survei untuk melihat tingkat kepercayaan dan kepuas­an publik terhadap Fauzi Bowo,” katanya.

JSI terus melakukan survei hing­ga sebulan sebelum pemili­han. Rencananya, Pilgub Jakar­ta digelar pertengahan 2012.

“Pada saat itu pilihan orang tidak akan be­rubah lagi. Kalau masih jauh hari pilihan orang masih berubah te­rus tergantung keadaan,” katanya.

Dengan menyasar klien peserta pilkada, Widdi optimistis lemba­ga­nya bisa eksis. “Dulu, kami di­ramalkan berumur pendek, tak lebih dari dua tahun. Alham­dulil­lah kami makin besar,” ujarnya.

Dari keuntungan bisnis ini, JSI bisa memiliki kantor sendiri se­harga Rp 6,5 miliar. “Baru lunas tahun ini,” kata Widdi.

Kantor JSI di Kalibata ber­lantai dua dilengkapi basement. Bangunannya modern dan me­gah. Halamannya disesaki pu­luhan mobil milik para staf.

Logo dan tulisan “Jaringan Sua­ra Indonesia” dipasang di teras kantor. Masuk ke dalam kan­tor, interiornya gaya min­i­malis.

Lantai bawah digunakan untuk ruang menerima tamu dan ruang rapat. Ruangan pimpinan dan staf berada di lantai dua.

Ruang kerja Widdi berada di pojok kiri dari tangga. Memasuki ruang kerjanya terlihat peng­har­ga­an dari Museum Rekor In­do­ne­sia (MURI) yang diberi bingkai.

Penghargaan diberikan karena hasil survei JSI soal hasil pilkda Konawe Utara, Sulawesi Utara, paling presisi dibanding lembaga lain. Hanya berbeda 0,01 persen dibanding hasil per­hitungan suara KPUD setempat. Ruang direktur eksekutif di­leng­kapi meja kerja yang diletakkan di tengah dan sofa untuk me­ne­rima tamu.

KPK Minta Survei Apel Lawan Apel

Belum lama ini, JSI merilis hasil survei mengenai kinerja lembaga hukum. Hasilnya tingkat ke­per­cayaan publik terhadap ke­po­lisian lebih tinggi dibanding­kan KPK maupun MA, MK dan Kejaksaan Agung.

Dalam survei yang melibatkan 1.200 responden itu, tingkat ke­percayaan KPK hanya 53,8 per­sen. Sementara kepolisian 58,2 persen. Peringkat ketiga MA de­ngan 47,8 persen. Selanjut MK 47,3 persen. Kejaksaan Agung be­rada di posisi juru kunci de­ngan 46,0 persen.

Survei itu juga menyimpulkan ke­puasan publik terhadap kepo­li­sian cukup tinggi. Sebanyak 53,6 persen responden puas ter­hadap kepolisian.

Responden yang menyatakan puas terhadap KPK 45,0 persen. Tingkat kepuasan terhadap MK sebesar 43,5 persen, MA sebesar 42,1 persen dan Kejaksaan Agung sebesar 41,1 persen.

Untuk tingkat ketidakpuasaan, KPK ditempatkan dalam posisi teratas dengan 42,7 persen. Beri­kut­nya Kejaksaan Agung 42,1 persen. Kepolisian di peringkat ketiga dengan 39,7 persen. Se­telah itu, MA sebesar 37,5 persen, dan MK sebesar 35,3 persen.

Widdi menjelaskan, tingkat ke­ti­dakpuasan terhadap KPK sangat dipengaruhi rendahnya kinerja lembaga itu dalam menangani ka­sus-kasus besar. Misalnya, kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games, dugaan suap di Ke­men­terian Tenaga Kerja dan Trans­mig­rasi, serta kasus Bank Century.

Tingkat kepuasan terhadap ke­polisian cukup tinggi karena lem­baga penegak hukum memili­ki aparat sampai ke tingkat ke­ca­ma­tan. Itu tak dimiliki KPK.

“Kalau di daerah-daerah kecil masyarakat kadang meminta ban­tuan polisi dalam berbagai ben­tuk, kadang ingin melahirkan anak juga mintanya di sana (po­lisi),” kata Widdi.

Widdi mengatakan, survei ini tak dibiayai siapa-siapa, murni dari kantong lembaganya. “Kami lakukan survei itu selama se­minggu di seluruh Indonesia dan menghabiskan dana hingga ratusan juta,” katanya.

Survei ini dirilis tak lama sete­lah mencuat isu dana penga­ma­nan 14 juta dolar AS yang di­te­rima Polri dari Freeport.

Wakil Ketua Komisi Pem­be­ran­tasan Korupsi (KPK) M Jasin mengkhawatirkan hasil survei ini akan digunakan untuk memo­jokkan lembaganya.

“Saat ini banyak yang ingin me­nyudutkan KPK, membonsai ke­wenangannya. Bahkan ada yang ingin membubarkan,” katanya.

Jasin mempertanyakan metode survei yang digunakan JSI. Me­nurut dia, KPK tak bisa di­ban­dingkan dengan kepolisian. “Ha­rusya apple to apple. Kalau ins­tansi lain punya terorisme, pidana umum. Kalau KPK hanya ko­rupsi,” katanya.

Kendati begitu, KPK akan menggunakan hasil survei ini se­bagai bahan evaluasi. “Ini pen­do­rong bagi KPK agar selalu me­ning­katkan kinerja. Kita tidak akan iri,” katanya.

Sorry, Tidak Terima Klien Tersangka

Kode Etik Ala JSI

Direktur Eksekutif JSI Widdi Aswindi menegaskan, lembaganya menjunjung tinggi integritas dalam melakukan survei. Ia juga menegaskan tak akan melacurkan diri kepada pihak-pihak tertentu. “Ingatkan bila kami berbuat seperti itu,” pinta Widdi.

Untuk menjaga kemurnian survei yang dilakukan lem­baga­nya, Widdi memisahkan Divisi Riset dengan Divisi Strategi Politik. “Kedua dua divisi tidak boleh bertemu sama sekali. Bila ini dibiarkan bertemu bisa di­pastikan hasil survei gampang dipengaruhi. Tidak murni lagi.”

Dalam melakukan survei me­ngenai kepala daerah, pihaknya menghindari mengarahkan res­ponden kepada calon tertentu.

Widdi tak menutupi jika ada survei pesanan. Sebab, tak s­e­mua lembaga survei men­jun­jung tinggi integritas dan ke­ju­juran. “Yang penting kami da­lam setiap melakukan survei dila­ku­kan secara transparan dan bisa dicek oleh siapa saja.”

Widdi mengatakan, JSI me­megang teguh sejumlah kode etik. Misalnya, hasil survei yang dibiayai pihak tertentu tidak akan diumumkan. Hasil survei hanya untuk kepentingan internal.

“Kalau surveinya meng­gu­na­kan dana lembaga, hasilnya akan diumumkan ke publik,” ujarnya.

Selama ini, quick count (hi­tung cepat) yang digelar JSI juga menggunakan dana lem­baga. “Ini kami lakukan agar hasilnya betul-betul independen dan berdasarkan realitas di lapangan,” tandas Widdi.

Widdi menjelaskan, JSI tidak sembarangan menerima pesa­nan survei dan pendampingan. Kandidat kepala daerah yang berstatus tersangka maupun bakal tersangka kasus apa­pun bakal ditolak. “Itu sudah menjadi kode etik kami,” katanya.

Bisa Menyulut Bakar-bakaran

Untuk mencegah survei jadi penggiring opini menjelang pes­­ta demokrasi, perlu ada ak­re­ditasi terhadap lembaga survei.

Usul itu diutarakan anggota Ko­misi Pemilihan Umum (KPU) I Gusti Putu Arta. Me­nu­rut dia, akreditasi bisa men­cegah lembaga survei me­la­ku­kan sur­vei pesanan yang ha­sil­nya tak bisa dipertanggungjawabkan.

”Pemantau saja diakreditasi. Bila perlu, sertifikasi lembaga survei. Serahkan ke LIPI (Lem­baga Ilmu Pengetahuan In­do­ne­sia) sebagai lembaga inde­pen­den dan profesional yang me­lakukan sertifikasi,” katanya.

Putu mengatakan, akreditasi lembaga survei itu berlaku un­tuk pemilu presiden, anggota lem­baga legislatif, ataupun pe­milu kepala daerah.

Selama ini, banyak muncul lem­baga survei menjelang pil­kada yang kredibilitas dira­gu­kan. Hasil surveinya sulit di­per­tang­gungjawabkan secara ilmiah.

“(Itu) rentan memicu konflik horizontal. Pemicu konflik Pil­kada Tanah Toraja adalah pe­ngumuman oleh lembaga survei lokal. Akibatnya, kotak suara di sejumlah kecamatan dibakar pendukung pasangan calon,” kata Putu. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA