"Ini seolah menjadi peluang emas bagi partai-partai menengah dan medioker untuk putar balik dari koalisi lama, dengan membelot pada kubu pemenang," kata pengamat politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam kepada
Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (20/2).
Khoirul Umam menuturkan, partai-partai kelas menengah cenderung tidak siap berhadap-hadapan dengan kekuasaan dan akan berisiko jika tidak ikut koalisi pemenang.
"Mereka juga tampaknya tidak siap untuk menanggung risiko dan konsekuensi ekonomi-politik dan stabilitas internal partainya, ketika mereka harus berpuasa dari kekuasaan," kata Khoirul.
Adapun masalah yang dihadapi partai politik dengan keputusan untuk bergabung dengan kekuasaan ini merupakan ujian riil terhadap konsistensi atau keistikamahan partai-partai politik itu terhadap gerakan perubahan dan narasi kritis yang mereka usung selama kampanye Pemilu 2024 lalu.
"Di mana, baik kubu 01 maupun kubu 03 sangat intens menyerang kubu 02 dan pemerintahan Jokowi sebagai kekuasaan yang merendahkan etika dan konstitusi, tidak memegang moralitas berdemokrasi, hingga dituding mirip dengan karakter kekuasaan yang otokratik," kata Khoirul.
Artinya, kata Khoirul, jika akhirnya parpol menengah itu memilih bergabung dengan kekuasaan, maka mereka sejatinya tengah menjilat ludah sendiri dan menipu rakyat.
"Rakyat bisa menuding, narasi kritis dan narasi perubahan yang selama ini mereka kampanyekan ternyata hanya gimik murahan. Sehingga wajar jika rakyat akan bertanya, siapa yang sesungguhnya tidak beretika?" tutup Khoirul.
BERITA TERKAIT: