Permohonan diterima di Kepaniteraan MK dengan Nomor Tanda Terima Pendaftaran 1756/PAN.MK/II/2018.
Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum para pemohon memaparkan substansi dalam UU MD3 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 di antaranya tentang pemanggilan paksa terhadap warga masyakarat.
"Instrumen pemanggilan paksa merupakan instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan, sehingga tidak relevan kemudian untuk mengontrol perilaku warga masyarakat dengan menjadikan warga masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa," terang Irman melalui siaran pers, Minggu (25/2).
Kedua, tentang hak DPR mengambil langkah hukum terhadap warga negara yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip perwakilan melalui Pemilu. Irman menegaskan, fungsi DPR bukanlah untuk melakukan langkah hukum, tetapi fungsinya hanya membentuk sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum termasuk anggaran. Jikalau hal tersebut dilakukan, ia khawatir akan merendahkan marwah dan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
"Level DPR bukanlah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang secara kedudukan berada pada posisi yang lemah, terlebih orang perorangan di antaranya terdapat seorang warga negara yang tua renta dan miskin papa bisa menjadi subjek digugat perdata bahkan pidana oleh lembaga sebesar DPR," tegasnya.
Selanjutnya yang juga dipersoalkan pasal tentang Hak Imunitas Anggota DPR yang pada pokoknya bertentangan dengan prinsip negara hukum yang dijamin oleh konstitusi yakni pasal 20A UUD 1945. Pasal
a quo secara
a contrario ini menimbulkan tafsir bahwa hak imunitas anggota DPR hanya berlaku jika terjadi tindak pidana yang tidak berhubungan dengan tugas dari anggota DPR. Sedangkan hak imunitas tidak berlaku jika berhubungan dengan tugas dari anggota DPR.
Padahal seharusnya hak imunitas itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR. Selain itu dalam Pasal
a quo juga dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi hak imunitas yang absolut, sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR.
"Dari kesemua pasal yang dilakukan pengujian oleh para pemohon, jelas merugikan hak konstitusional para pemohon warga negara untuk diperlakukan sama di dalam hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak pemajuan diri untuk memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, hak untuk berkomunikasi, dan kemerdekaan pikiran," paparnya.
Dengan semua latar belakang ini, pihaknya berharap MK segera memutus permohonan sesegera mungkin atau setidak-tidaknya menerima permohonan provisi mengingat adanya kebutuhan yang mendesak terhadap pemberlakuan norma
a quo.
[wid]
BERITA TERKAIT: