Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Gerakan Pemurnian Ajaran Islam

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/republikmerdeka-id-1'>REPUBLIKMERDEKA.ID</a>
LAPORAN: REPUBLIKMERDEKA.ID
  • Kamis, 22 Juli 2021, 14:26 WIB
Gerakan Pemurnian Ajaran Islam
Kiai Haji Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya yang mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah./Repro
rmol news logo Persyarikatan Muhammadiyah didirikan dengan semangat memurnikan kembali penerapan ajaran Islam di Indonesia dari perilaku adat dan tradisi yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam.

Di masa itu, ketidakmurnian ajaran Islam yang dipahami oleh sebagian umat Islam Indonesia, sebagai bentuk adaptasi yang tidak tuntas antara tradisi Islam dan tradisi lokal nusantara yang bermuatan faham animisme dan dinamisme.

Dalam praktiknya, di era sebelum kelahiran Muhammadiyah, umat Islam masih banyak menerapkan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Yakni berbentuk kemusyrikan, taqlid, bid’ah, dan khurafat.

Kondisi inilah yang menjadi pemikiran Kiai Haji Ahmad Dahlan untuk melakukan pemurnian ajaran Islam di Indonesia agar penerapannya sesuai dengan Alquran dan Sunnah Rasul. Tidak melebih-lebihkannya. Juga tidak mengurang-kurangi.

Junus Salam dalam bukunya berjudul KH Ahmad Dahlam Amal dan Perjuangan (1968) mengatakan, kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, didorong atas pergumulan pribadi dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia kala itu.

Kiai Dahlan melihat, banyak masyarakat muslim yang tidak memegang teguh tuntunan dari Alquran dan Sunnah Nabi. Pengamalan ajaran Islam  masih tercampur baur dengan tradisi animisme dan dinamisme. Menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat. .

Muslim saat itu dinilai Kiai Dahlan masih terkukung  alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir secara dogmatis. Masih berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme.

Faktor lain yang menjadi latar belakang didirikannya Muhammadiyah adalah pengaruh paham moderen dari masa kolonial. Penjajah yang datang di Indonesia mulai menyebarkan paham moderenisasi Eropa. Mulai dari paham individualisme, liberalisme, rasionalisme, hingga sekulerisme. Beberapa paham ini bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang bisa generasi baru Islam yang liberal dan sekuler.

Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam. Tidak tegaknya ukhuwah Islamiyah serta tak ada wadah organisasi yang kuat. Termasuk pula, kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memproduksi kader-kader Islam yang dapat memenuhi tuntutan zaman.

Mengutip buku HA Mukti Ali dalam Sujarwanto dan Haedar Nashir (1990), berdirinya Muhammadiyah disebut karena alasan-alasan dan tujuan: membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern. Reformulasi ajaran dan pendidikan Islam, dan mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar.

Sejarah Muhammadiyah
8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah atau 18 November 1912 merupakan momentum penting kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia, yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri berpenduduk terbesar muslim di dunia. Muhammadiyah. Sebuah gerakan yang didirikan seorang kiai alim, cerdas, dan berjiwa pembaru, Kiai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata ”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad.

Menurut tokoh Muhammadiyah H Djarnawi Hadikusuma, penisbahan nama Muhammadiyah mengandung pengertian:

”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad Saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya.

Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya pada tahun 1903, Kiai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air.  Gagasan pembaruan diperoleh Kiai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kiai Fakih dari Maskumambang.

Kiai Dahlan juga banyak terinspirasi setelah membaca pemikiran-pemikiran para pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha.

Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Saudi Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide pembaruan dalam diri Kiai Dahlan.

Sekembalinya dari Arab Saudi, Kiai Dahlan membawa ide dan gerakan pembaruan itu. Ada pun, embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-gagasan merupakan hasil interaksi Kiai Dahlan dengan kawan-kawannya dari Boedi Oetomo yang tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kiai Dahlan. Di antaranya, yakni R Budihardjo dan R Sosrosugondo.

Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kiai Dahlan di Kweekscholl Jetis. Kiai Dahlan mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler. Salah seorang murid  yang sering datang ke rumah Kiai dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kiai Dahlan tidak diurus sendirian tetapi oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan, bahkan setelah Kiai wafat.

Dalam catatan ahli sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) kelahiran Kauman, Adaby Darban, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat dan sekaligus sahabat Kiai Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta. Kemudian nama Muhammadiyah diputuskan Kiai Dahlan setelah melalui shalat istikharah.

Artinya, pilihan untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi Kiai atau dunia pesantren.

“Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kiai Dahlan, secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911,” kata Adaby Darban.

Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kiai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kiai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya.

Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma disebutkan, sekolah yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”. Yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kiai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.

Tepat pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah atau 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”Muhammadiyah”.

Organisasi baru ini diajukan pengesahannya pada 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914.

Ada pun, dalam ”Statuten Muhammadiyah” yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan sebagai tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak mencantumkan tanggal Hijriyah.

Dalam artikel 1 statuten Muhammadiyah dinyatakan, perhimpunan itu ditentukan buat 29 tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta.

Sedangkan maksudnya (artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”

Ada kata menarik yakni, kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata ”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kiai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni: Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun 1941).

Ada pun yang dimaksud Persyariakatan dalam Statuten tahun 1914 yaitu:  Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland, Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam kepada lid-lidnya.

Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan mengetengahkan ajaran Islam yang murni serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan menggembirakan.

Kemudian barulah pada AD Tahun 1946 pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan. Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni untuk pertama kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II, dengan kalimat, ”Persyarikatan berasaskan Islam”.

Jika ditelusuri maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah. Yakni berturut-turut tahun 1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000, dan 2005.

Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU Keormasan tahun 1985.

Saat itu, asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”.

Namun asas Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA