Setelah menginisiasi Deklarasi Djuanda pada 13 Desember 1957 dan dilanjutkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pria yang akrab disapa Bung Karno itu menitikberatkan kemaritiman dalam pola pembangunannya.
Pada 23 September 1963, Bung Karno selaku Pemimpin Besar Revolusi menggelar Musyawarah Nasional Maritim pertama di sekitar Tugu Tani, Jakarta. Seluruh stakeholder maritim nasional hadir dalam acara tersebut untuk memberikan kontribusinya dalam arah pembangunan maritim.
Di event itu pula, Bung Karno disematkan menjadi Nakhoda Agung NKRI yang bercita-cita menjadi negara maritim yang besar guna meneruskan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit.
Beberapa petikan pidato Bung Karno dalam acara itu yang dikutip dari Arsip dokumen Departemen Penerangan RI, 1963 yang berjudul Kembalilah Mendjadi Bangsa Samudera! adalah sebagai berikut:
“Tatkala saya melantik saudara Martadinata menjadi Kepala Staf Angkatan Laut di muka Istana Merdeka, pada waktu itu sudah saya sebut sedikit keterangan mengenai perkataan bahari, zaman bahari.
Yang kita maksudkan dengan perkataan zaman bahari ialah zaman purbakala, zaman dahulu, zaman kuno, zaman yang lampau itu kita namakan zaman bahari.
Apa sebab? Sebabnya ialah kita di zaman yang lampau itu adalah satu bangsa pelaut. Bahar, elbaher artinya laut. Zaman bahari berarti zaman kita mengarungi bahar, zaman kita mengarungi laut, zaman tatkala kita adalah bangsa pelaut.”
Bung Karno meyakinkan…
“Kita ini dahulu benar-benar bangsa pelaut. Bahkan bangsa kita ini sebenarnya tersebar melintasi lautan dari satu pokok asal.
Tersebar melintasi lautan, mendiami pulau-pulau antara pulau Madagaskar dan pulau Paskah dekat Amerika Selatan.Melewati beribu-ribu mil, melewati samudera, bahar, yang amat luas sekali.
Di situlah bersemayam sebenarnya bangsa Indonesia…itu adalah satu gugusan bangsa bangsa yang boleh dikatakan sama bahasanya, sama adat istiadatnya, sama pokok-pokok isi spirituil.
Bahasanya banyak yang sama. Banyak kata-kata yang diucapkan oleh orang Madagaskar kita temui kembali di Sumatera, Jawa, Kalimantan, di Timor, di Paskah itu, di selatan dari pada Philipina.
Misalnya ambillah satu contoh; bambu. Di Jawa ada yang mengatakan wuluh, di Sumatera mengatakan buluh, di Philipina orang mengatakan uluh, di Madagaskar orang berkata uluh, di Easter Island, pulau Paskah orang mengatakan boloh.”
Bung Karno pun menjelaskan teknologi melaut...
“Mengenai laut, yah perahu-perahu yang bersayap. Out-wriggled boats, kata orang Belanda vlerkprauwen.
Out-wriggled boats, saudara tidak akan temukan perahu bersayap itu misalnya di Amerika atau di Polandia atau di Jepang atau di Eropa, tidak.
Saudara akan temukan out-wriggled boats, vlerkprauwen, perahu sayap di Madagaskar, di Kepulauan Indonesia, di Polynesia sampai pulau Paskah.
Ini semua menunjukkan bahwa kita itu adalah sebenarnya satu gugusan bangsa, antara Madagaskar dan pulau Paskah.”
Dulu, lanjut Bung Karno dengan artikulasi suaranya yang khas,
“Kita betul-betul laksana sea hawk, sacral bahar, saker elbaher, havik van de zee, hawk on the sea. Hawk on the sea, kita terbang dari satu pulau ke pulau lain.” Namun,
“belakangan kita menjadi satu bangsa yang berdiam adem-adem di lereng-lereng gunung. Belakangan, saudara-saudara, tatkala kita terdesak dari pantai-pantai oleh bangsa asing yang mendiami pantai-pantai kita, kita menjadi bangsa yang hidup adem tentrem di lereng-lereng gunung, adem tentrem kadiya siniram banyu wayu sewindu lawas.”
Lebih jauh lagi, Bung Karno merawi legenda dan merumuskan kode-kode rahasia semiotiknya.
“
Tahukah saudara-saudara, menurut dongeng Sang Mahapatih Gajahmada itu matinya di mana?” Presiden Indonesia pertama membuka tanya. (Semua diam)
Kemudian panjang lebar dia meneruskan…
“Coba buka kitab sejarah. Tanya kepada ahli sejarah kita, di mana Gajah Mada mati?Tidak ada seorang bisa menjawab.
Tetapi dongeng, mitologi, mitologi kita, mitos kita berkata, Gajah Mada kembali ke laut, hilang di laut atau menghilang di laut.
Ini menggambarkan penjunjungan tinggi dari pada bangsa Indonesia kepada laut.
Bahkan tatkala saya melantik saudara Martadinata menjadi Kepala Staf Angkatan Laut, pada waktu itu saya menceritakan hal mitos yang belakangan terjadi sejak Kerajaan Mataram yang kedua.
Menjadi tradisi sejak Kerajaan Mataram yang kedua itu, tradisi yang mengatakan bahwa raja hanyalah bisa menjadi raja yang besar dan kuat, negara bisa menjadi besar dan kuat, ratu hanyalah bisa menjadi ratu yang hanyakrawarti hambahudenda, jikalau sang ratu itu beristerikan pula Ratu Loro Kidul, ratu dari Lautan Selatan, ratu dari samudera yang dulu bernama Samudera Hindia, tetapi kemudian kita robah dengan nama Samudera Indonesia, saudara-saudara…”
Sang proklamator kemerdekaan Indonesia itu melanjutkan rumusan tentang apa yang disebutnya dongeng, legenda, mitologi itu.
“Benar apa tidak, itu adalah lain perkara, saudara-saudara.
Apakah benar Sang Senopati, Sang Senopati Hangabei Loringpasar Sutowidjoyo, Sutawijaya, yang mendirikan Kerajaan Mataram, benar atau tidak, yaitu benar-benar kawin dengan Ratu Loro Kidul?
Itu bukan soal sebetulnya bagi kita.
Tetapi nyata bahwa ini berisi satu simbolik, kepercayaan ini berisi satu simbolik bahwa tidak bisa seseorang raja, bahwa tidak bisa sesuatu negara di Indonesia ini menjadi kuat jikalau tidak dia punya raja kawin beristrikan Ratu Loro Kidul.”
Menurut Bung Karno, simbolik ini berarti bahwa negara hanya bisa menjadi kuat, negara Indonesia hanyalah bisa menjadi kuat jikalau ia juga menguasai lautan.
“Jikalau negara di Indonesia ingin menjadi kuat, sentosa, sejahtera, maka dia harus kawin juga dengan laut,” demikian paparan Bung Karno.
Usai pidato, Bung Karno akhirnya disematkan menjadi Nakhoda Agung NKRI. Nakhoda yang berarti pemimpin kapal, agung artinya besar dan mulia, jadi Presiden Soekarno adalah pemimpin besar bangsa ini. Nakhoda Agung bagi bangsa yang memiliki laut yang lebih luas dari daratannya atau istilah lainnya merupakan negara kepulauan yang bercorak bahari.
Hari itu pula oleh Bung Karno diperingati sebagai Hari Maritim Nasional melalui Keppres Nomor 249/1964. Peringatan itu terus diperingati setiap tahun oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Namun hari ini, peristiwa sejarah itu bak tertelan bumi seiring berubahnya mindset pembangunan bangsa Indonesia.
Dalam kepemimpinannya, Bung Karno ingin menjadikan Indonesia sebagai Mercusuar Dunia dengan menjadikan sektor maritim dalam orientasi pembangunannya. Hal itu ditandai dengan membangun Kompartemen Maritim yang dipimpin oleh Letjen KKO Ali Sadikin dan beberapa industri maritim.
TNI AL di masa Bung Karno dalam rangka merebut Irian Barat melalui operasi Trikora juga terbilang dahsyat. KRI Irian dan 12 kapal selam kelas Whiskey yang didatangkan dari Uni Soviet menjadi kekuatan ampuh armada tempur kita yang ditakuti di kawasan saat itu.
Untuk mengingatkan kembali peristiwa itu, sekaligus sebagai sarana pembangunan karakter maritim untuk usia dini, Deputi IV Kemenko Maritim bekerja sama dengan RRI pernah mengangkat kisah itu dalam sebuah sandiwara radio.
Di-launching pertama kali pada 27 Februari 2017, dengan episode pertama berjudul ‘Nakhoda Agung’. Program yang diberi nama Drama Dapunta itu diambil dari nama raja pertama Kerajaan Sriwijaya, yang merupakan kerajaan maritim pertama di Nusantara.
Dalam cita-cita menuju negara maritim, kisah Bung Karno sebagai Nakhoda Agung NKRI perlu dijadikan suri tauladan yang baik. Dengan semangat gotong royong dan musyawarah mufakat sebagai intisari dari Pancasila, Bung Karno menggerakan pembangunan maritim hingga akhir kepemimpinannya.
Hal yang sangat berbeda hari ini, di mana karakter ego sektoral dan individualistik mendominasi pola pembangunan maritim sekarang. Sehingga rapor merah masih banyak dialami oleh pemerintah sekarang dalam membangun kemaritiman nasional.
Diharapkan tongkat estafet kepemimpinan dalam membangun negara maritim yang dilandaskan Pancasila dan UUD 1945 terus berlanjut di pemimpin yang akan datang, sehingga kejayaan maritim Indonesia sebagai bangsa yang besar menjadi suatu keniscayaan.
BERITA TERKAIT: