Hal inilah yang tampaknya menjadi salah satu fokus pemerintah dalam memperbaiki pendidikan, khususnya pendidikan tingkat dasar dan menengah. Sejak dilantik, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti bergerak cepat.
Ia menjadi pendengar dan pembaca aktif dari sekian banyaknya kalangan masyarakat yang menyampaikan aspirasi tentang dunia pendidikan, tak terkecuali hal ihwal penerimaan murid baru jalur zonasi.
Tentu, aspirasinya tidak seragam. Sejumlah pihak mendorong pemerintah untuk menghapus jalur zonasi, karena telah memicu pelbagai persoalan. Akan tetapi, tak sedikit pula yang menilai bahwa zonasi tak perlu terlalu tergesa-gesa untuk dihapuskan, melainkan disempurnakan mengingat cita-cita luhur dan semangat yang diusungnya.
Melongok ZonasiTerdapat empat jalur dalam penerimaan murid baru, yang salah satunya adalah zonasi dan pertama kali diterapkan pada 2017. Kelahiran zonasi dilatarbelakangi oleh adanya ketimpangan bahkan memunculkan semacam kastanisasi atau favoritisme dalam satuan pendidikan. Dengan zonasi, diharapkan favoritisme dalam pendidikan dapat dikikis sehingga tidak ada lagi yang namanya kasta antarsekolah.
Dalam buku Zonasi Pendidikan, Membangun Inspirasi tanpa Diskriminasi yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2019, jalur zonasi merupakan suatu upaya dalam rangka mempercepat pemerataan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan yang dilakukan dengan pendekatan wilayah geospasial berbasis zona.
Semangat atau nilai-nilai yang dikandung dalam sistem ini sangat jelas. Kesetaraan dan keadilan.
Dalam berbagai kesempatan, Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa paling tidak ada empat hal yang menjadi fondasi sekaligus spirit dari zonasi.
Pertama, pendidikan bermutu untuk semua. Sebelum adanya zonasi, sekolah-sekolah tersegregasi ke dalam kotak-kotak sekolah elit dan sekolah alit.
Kotak-kotak tersebut turut andil dalam melanggengkan kastanisasi.
Misalnya, sekalipun secara akademik mumpuni, seorang murid kerap tidak diterima di sekolah yang tergolong elit hanya dikarenakan alasan ekonomi. Zonasi sendiri dimaksudkan untuk menjembatani persoalan tersebut sekaligus agar pendidikan kita tidak lagi terpasung dalam kotak-kotak yang memicu perbelahan dan ketimpangan sosial.
Kedua, inklusi sosial. Dengan adanya kebijakan penerimaan murid baru berbasis wilayah, maka kelompok ekonomi kelas atas dan bawah dapat saling berbaur. Hal ini kemudian bermuara pada terbangunnya inklusi sosial, kerukunan, dan persatuan yang tidak lagi tersekat oleh kelas-kelas sosial.
Ketiga, integrasi sosial. Penerimaan siswa baru berbasis zona ini secara tidak langsung memperkokoh integrasi sosial sehingga ikatan sosial pun menguat. Sekolah tidak hanya berperan sebagai meeting point atau tempat terjadinya pertemuan para murid dari latar belakang yang pusparagam, melainkan juga sebagai melting point. Terakhir atau yang keempat adalah membangun kohesi sosial.
Dapat dikatakan bahwa zonasi menjadi salah satu terobosan untuk membuka kesetaraan akses bagi semua pihak. Dalam catatan Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) terkait zonasi di Jakarta, persentase anak miskin yang masuk ke sekolah negeri meningkat signifikan sejak 2020, dan pada tahun 2022 mencapai 30 persen, mengurangi kesenjangan antarsekolah, serta secara umum menurunkan biaya transportasi. Secara nasional, jalur zonasi juga berkontribusi menurunkan kesenjangan hasil belajar antarsekolah.
Sebelum diterapkannya jalur zonasi pada 2017, kesenjangan hasil belajar numerasi jenjang SMP berdasarkan performa sekolah setara dengan 21 bulan pembelajaran dan turun menjadi 6 bulan pembelajaran setelah diberlakukannya zonasi di tahun 2017. Hal ini membuktikan bahwa kuota zonasi sebelumnya berkontribusi pada cita-cita pendidikan bermutu untuk semua.
Akan tetapi, di sisi lain, tak bisa dimungkiri bahwa zonasi juga menuai polemik. Karena basisnya adalah memprioritaskan penerimaan siswa berdasarkan jarak rumah, tak jarang sistem ini diakali oleh sebagian pihak. Cita-cita untuk membuka kesetaraan akses pendidikan bagi semua pun ternodai dengan perbuatan-perbuatan, seperti jual beli kursi, manipulasi data, pemalsuan KK, dan siswa titipan.
Kebijakan yang BerkeadilanBerbagai kelemahan sistem sebelumnya perlu mendapat perhatian dan tentu menjadi bahan evaluasi bagi pemerintahan yang baru. Pemerintah perlu menimbang secara saksama bahwa muatan dari berbagai kebijakan yang dikeluarkannya merupakan kebijakan yang berkeadilan dan berkesetaraan.
Dalam konteks penerimaan murid baru, misalnya. Pemerintah secara resmi telah mengganti nomenklatur Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB). Ini bukan perubahan nama belaka, melainkan terdapat sejumlah penyempurnaan dalam rangka mengatasi gap yang terjadi dalam sistem sebelumnya sekaligus mencerminkan sistem penerimaan murid baru yang sebenarnya.
Sistem penerimaan murid baru yang sejati ialah sistem yang berkeadilan. Sistem ini dapat tercapai apabila didukung oleh kebijakan yang berkeadilan pula.
Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza Ul Haq menyebut bahwa kebijakan yang berkeadilan merupakan sebuah kebijakan yang menaruh perhatian kepada kelompok kecil lagi terpinggirkan. Memberikan perhatian kepada kelompok ini penting, karena merekalah yang selama ini mengalami apa yang oleh Amartya Sen (1999) sebut sebagai “
lack of access.”
Berkeadilan juga dapat dimaknai dengan tidak mengeluarkan kebijakan yang diskriminatif. Baik itu diskriminasi secara langsung maupun diskriminasi dalam dampak, yaitu ia (kebijakan) tidak kelihatan mendiskriminasi kelompok lain, tetapi sesungguhnya dampaknya adalah meminggirkan kelompok lain.
Sikap peminggiran ini tentu tidak sejalan dengan nilai yang dikandung konstitusi. Konstitusi memberikan jaminan kesetaraan kepada setiap warga negaranya. Kesetaraan merupakan elemen utama dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia. Karena itu, konsekuensi dari adanya jaminan kesetaraan ialah larangan berlaku sebaliknya: membeda-bedakan warga negara atas dasar apa pun.
Terlepas dari apakah jalur zonasi akan diubah secara total (dihapuskan) atau melakukan sejumlah penyesuaian dan penyempurnaan, yang terpenting adalah pemerintah mesti memastikan bahwa kebijakan yang dikeluarkannya tidak memuat penyakit konstitusional. Yakni, kebijakan yang tidak mengandung semangat atau norma-norma yang bertentangan dengan konstitusi.
Akhirnya, jika pendidikan kita memang mau punya hari depan yang lebih berkesetaraan, jalan yang mesti ditempuh ialah keluar dari kotak sekolah favorit dan kotak sekolah non-favorit.
Karena, semua itu hanya akan melanggengkan diskriminasi dan kebijakan yang mendukung itu sesungguhnya juga memiliki andil dalam menyuburkan pelembagaan diskriminasi dalam dunia pendidikan di Indonesia.

*
Penulis adalah Kader Muhammadiyah; Alumnus Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif (SKK-ASM) IV
BERITA TERKAIT: