Senin siang (11/3), kediaman Robertus Robet di Kompleks Mutiara Depok Blok DA1, Sukmajaya, Depok, nampak sepi. Tidak ada keriuhan sama sekali. Hanya terlihat dua motor terparkir di garasi. Samar-samar terdengar suara obrolan dari daÂlam rumah satu lantai itu. Tidak terdengar jelas apa yang dibicarakan. Setelah diketuk beberapa kali, seorang pria terburu-buru membuka pintu. "Pak Robet enggak ada di rumah. Dari Jumat (8/3) belum balik," ucap Dewin, salah seorang aktivis saat berbincang-bincang dengan
Rakyat Merdeka, kemarin.
Kediaman Robertus Robet berada di tengah-tengah permukiman elite di Kota Depok. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Jalan Tole Iskandar. Masuk ke dalam kompleks, disamÂbut gerbang megah, layaknya istana. Ada dua pintu masuk. Hanya sayap kiri yang dibuka. Tidak sembarang orang bisa masuk. Harus izin terlebih dulu dengan Satpam yang berjaga. Setelah mendapat izin, portal baru dibuka lebar.
Setelah dibuka, dari kejauhan terlihat rumah Robet. Posisinya tidak jauh dari gerbang masuk. Sekitar 100 meter. Letaknya berada di hook. Bangunanya cukup luas. Sekitar 400 meter persegi. Suasananya sangat asri. Aneka tanaman tumbuh di depan rumah. Beberapa pot juga ditempatkan di berbagai sudut halaman.
Tepat di pintu masuk, terdaÂpat teras. Tidak terlalu besar. Hanya memuat dua kursi dan satu meja. Kondisinya rapi dan bersih. Coneblock merah jadi alasnya. Di langit-langit rumah, ditempatkan CCTV yang meÂnyorot langsung ke arah pintu masuk."Sehari-hari rumah koÂsong. Kami para aktivis yang kadang-kadang kumpul," ujar Dewin kembali.
Sayangnya, tidak bisa melihat-lihat isi di dalamnya. Sebab, sang penjaga rumah tidak mengizinkan siapapun masuk ke dalamnya. Apalagi, seluruh jendela ditutup rapat dengan korden. Sehingga tidak bisa diintip dari luar. "Anak dan istri Pak Robet juga belum balik ke rumah," ungkap pria bertubuh gemuk itu.
Dewin memastikan, konÂdisi rumah Robet tetap aman. Tidak ada pihak manapun yang melakukan intimidasi. "Yang ketuk-ketuk ke rumah juga tidak ada," tandasnya.
Namun, ia enggan berkomenÂtar lebih jauh soal kondisi Robet setelah ditetapkan menjadi terÂsangka ujaran kebencian. "Nanti sama bapak saja ya," elak Dewin sambil berlalu pergi.
Ganih, salah seorang petugas Satpam mengungkapkan, ruÂmah Robet mulai ditinggalkan penghuninya satu per satu sejak peristiwa penangkapan oleh keÂpolisian, Jumat (8/3). "Sekarang rumah hanya ditempati para aktivis," ujar Ganih kepada
Rakyat Merdeka, kemarin.
Ganih mengungkapkan, sebeÂlum disambangi kepolisian, rumah Robet sudah diintai oleh beberapa intel dari Kodim Depok dan juga DenPOM Depok. Para intel menggunakan pakaian sipil dan terus memantau situasi dari pos penjagaan. "Mereka menanyakan alamat rumah Robet. Setelah dikasih tahu, hanya mengamati dari jauh," ujarnya.
Para intel, kata Ganih cukup lama berjaga-jaga di sekitar rumah Robet. "Sekitar dua hari. Habis itu langsung pergi," ucapnya.
Namun dia memasÂtikan, situasi kediaman Robet aman dan tidak ada gangÂguan apapun. "Kami jaga seperti biasa," imbuhnya.
Pria bertubuh tambun ini mengaku tidak tahu hingga kaÂpan Robet pulang ke rumahnya. "Belum ada tanda-tanda kepuÂlangan. Mungkin menunggu situasi tenang," duga dia.
Tak lupa, Ganih mengatakan, Robet baru saja dilantik menjadi Ketua RT 2 RW 13 Kelurahan Sukmajaya, sekitar dua bulan lalu. Robet, kata dia, juga dikeÂnal santun dan ramah kepada setiap warga kompleks. "Kalau keluar rumah juga suka menegur Satpam," ujarnya.
Selain itu, kata Ganih, Robet juga termasuk orang yang suka berolahraga. Bahkan, hampir setiap minggu selalu main bulu tangkis bersama warga. "Saya juga kadang ikut main bulu tangÂkis bareng," ucapnya.
Latar Belakang
Ditangkap Setelah Lagu Plesetannya Viral di Media SosialVideo aksi Robertus Robet di Aksi Kamisan, 28 Februari 2019 di Depan Istana Negara, menuai kontroversi di media sosial (Medsos). Aksi Kamisan adalah unjuk rasa menyuarakan penegakan hukum dan HAM yang dilakukan setiap pekan di depan Istana Negara.
Dalam video yang diunggah oleh akun YouTube Jakartanicus yang berdurasi hampir 8 menit itu, Robet menyuarakan aspirasinya menolak isu kebijakan Dwi Fungsi TNI yang sempat diisukan akan dimunculkan kembali. Naasnya, orasi tersebut dituding menghina TNI.
Tak lama setelah video itu menyebar, polisi langsung berÂtindak. Penangkapan dilakukan pada Kamis (7/8). Bareskrim Mabes Polri lalu menetapÂkan Robertus Robet sebagai tersangka. Dia dijerat pasal Undang-Undang ITE dan ujaran kebencian karena diduga telah mengubah lirik Mars ABRI, tapi tidak ditahan dan tak wajib lapor.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menilai, orasi yang diucapkan dalam aksi Kamisan oleh Robet pada akhir Februari itu berbahaya bagi institusi. Sebab, apa yang disampaikan itu tidak sesuai dengan data dan fakta yang sebenarnya. "Itu mendiskreditkan salah satu instiÂtusi. Itu berbahaya," ujar Dedi.
Dedi menjelaskan, orasi yang disampaikan Robertus melangÂgar Pasal 207 Kitab Undang-Undang Hukum dan Pidana (KUHP). Pasal 207 KUHP berÂbunyi, Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan huÂkum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dedi mengatakan, pihaknya memiliki dua alat bukti permulaan yang cukup, untuk menaikan tahap penyelidikan Robet menjadi penyidikan. Pertama dari pemeriksaan ahli, kedua, dari alat bukti berupa pengakuan dari Robert.
Menurut Dedi, ahli bahasa dilibatkan untuk mengkonstruksi narasi-narasi yang disampaikan Robet secara verbal. Kemudian, masuk ke ahli hukum pidana untuk melihat narasi-narasi yang masuk dalam unsur pelanggaran pidana sesuai Pasal 207 KUHP. "Hasilnya konstruksi hukum perbuatan melawan hukum unÂtuk Pasal 207-nya terpenuhi di situ," jelasnya.
Dedi memastikan proses huÂkum terhadap Robet sudah seÂsuai prosedur. Karena ancaman hukuman cuma 1 tahun 6 bulan, jadi penyidik tidak melakukan penahanan. "Sehingga diperboÂlehkan yang bersangkutan untuk kembali," kata dia.
Selain tidak ditahan, Robet juga tidak dikenakan wajib lapor, Namun kata Dedi, jika penyidik memerlukan keterangan tambahan, Robet dapat dipanggil lagi.
Dedi mengimbau kepada siaÂpapun yang ingin menyampaiÂkan pendapat di muka umum hendaknya harus menghormati hak asasi orang, menghormati aturan moral yang berlaku.
Dan ketiga, harus mentaati aturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat harus menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum. Kelima, menjaga keutuhan perÂsatuan dan kesatuan. "Lima kriÂteria ini tidak boleh dilanggar," tegasnya.
Dedi menambahkan, kasus yang menjerat Robertus bukan berasal dari laporan masyarakat. Laporan dalam kasus itu disebut sebagai Model A, yaitu peristiwa pidana yang ditemukan sendiri oleh kepolisian. Laporan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, tugas polisi adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, melakukan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, dan penegakan hukum.
Sementara itu Robertus Robet mengatakan, dirinya tidak berÂniat sama sekali menyinggung TNI saat berorasi. Lagu yang dinyanyikannya saat itu bukan pula gubahannya. Lagu itu popuÂlar saat gerakan mahasiswa di tahun 1998. Hal itu pun sudah dijelaskan oleh Robet saat berÂorasi. Sayangnya, pengantar itu tidak ada dalam rekaman video yang viral tersebut.
Lagu itu adalah sebuah kritik terhadap ABRI di masa lampau. Bukan terhadap TNI di masa kini. "Sebagai dosen saya pun tahu persis upaya-upaya reformasi yang sudah dilakukan TNI. Saya sangat mengapresiasi upaya-upaya reformasi yang dilakukan oleh TNI yang lebih maju dibandingkan dengan yang lain," tandasnya.
Sementara, kuasa hukum Robertus Robert, Arif Maulana mengungkap adanya kejanggalan dalam penetapan tersangka terhadap kliennya. "Pasal-pasal yang dijadikan alasan penangÂkapan kliennya mengada-ada," tuding Arif.
Dalam perkara ini, kata Arif, kliennya sama sekali tidak perÂnah menyebarkan informasi apapun melalui elektronik. Apa yang dilakukan Robet adalah sebagai bagian dari kajian akaÂdemis atas rencana pemerintah untuk menempatkan TNI pada kementerian-kementerian sipil.
Tentu saja hal ini tidak dapat dikategorikan sebagai kebenÂcian atau permusuhan. "Karena rencana itu jelas bertentangan dengan fungsi TNI sebagai penjaga pertahanan negara," pungkasnya. ***