Menyemai biji labu air, jaÂdi salah satu kegiatan harian Dharma Diani. Seperti yang dilakukannya Jumat lalu. Biji-biji labu air itu, ditempatkan di sebuah wadah, lalu dicuci. Nantinya, biji-biji itu, dan juga biji timun suri, menjadi bibit dan siap ditanam.
Lokasi tanamnya tak jauh. Persis di depan shelter. Tempat tinggalnya, dan juga ratusan warga Kampung Akuarium yang lain. Memang tak merata. Tapi, tanaman labu dan juga timun suri yang ditanam, membuat suasana shelter tempatnya tingÂgal, jadi lebih sejuk. Hijau. Rapi. Enak dipandang. Tak ada teknik khusus. Bibit ditanam begitu saÂja. Di pot, atau di tanah. Bahkan, di sisa-sisa puing bangunan yang telah dirobohkan, hampir tiga tahun lalu.
"Disiramnya juga biasa. Pakai air yang kita pakai," ucap Yani, sapaan akrab Dharma.
Wanita yang juga Koordinator Wilayah (Korwil) Kampung Akuarium itu, sudah setahun terakhir tinggal di shelter. Bersama keluarganya. Sejak tempat itu didirikan, bagi 200-an Kepala Keluarga (KK), yang rumahnya dibongkar.
Hari-hari ini, Yani, dan juga ratusan warga lainnya bisa berÂharap lebih. Bayangan untuk tinggal di rumah yang lebih layak, semakin dekat. Rancangan rumah yang diinginkan warga, mendapat respon positif dari Pemprov DKI. "Sudah disÂampaikan pada Gubernur dan timnya," terangnya.
Rancangannya berkonsep rumah kontainer. Memakai kontainer bekas. Tapi bukan asal kontainer. Kontainer yang didaur ulang. "Tapi nggak asal kontainer yang ditumpuk gitu aja," tegasnya.
Kepada
Rakyat Merdeka, Yani memperlihatkan rencana bentuk rumah kontainer yang dimaksud. Gambar-gambar itu disimpan di telepon pintar miliknya. Ada beberapa gambar. Mulai dari tinggi tumpukan, sampai benÂtuk bangunan.
Dari yang terlihat, tumpukan kontainer mencapai tiga level. Masing-masing level diberi warna berbeda. Hijau di bagian paling bawah. Di tengah merah. Paling atas, kuning. Di atasnya lagi terlihat warna hijau.
"Itu warna yang menggambarÂkan tanaman, hijau. Jadi paling atas itu biasa untuk tanam," terangnya.
Selanjutnya, terlihat model bangunan. Tak seperti yang dibayangkan. Tak semua bagianrumah terbuat dari kontainer bekas. Ada dua bagian. Setengah terbuat dari kontainer. Setengahnya seperti dinding biasa. "Bahannya batu," ungÂkap Yani.
Model bangunan terlihat seperti bangunan rumah pada umumnya. Ada ruang keluarga. Ada kamar. Tak lupa, dapur dan kamar mandi. Di gambar itu juga terlihat ukuran bangunan rumah kontainer. Terlihat ukuran panÂjangnya sekitar enam meter.
Yani menuturkan, rancangan itu didapat dari seorang arsitek. Sang arsitek, beberapa kali mengunjungi wilayah yang bertetÂangga dengan Pelabuhan Sunda Kelapa itu.
"Tapi memang enggak jauh dari rancangan warga. Alhamdulillah, respons Pemprov DKI positif," tuturnya.
Meski sudah disambut positif, Yani belum tahu kapan pemÂbangunan akan dilaksanakan. Dari hasil pertemuan dengan Pemprov, katanya, selanjutnya akan dibahas lagi.
"Ada tim terkait yang membaÂhas lagi," sebutnya.
Konsep Rumah Kontainer Bisa Jadi Ciri Khas Kampung Akuarium Rumah berkonsep konÂtainer dipilih warga Kampung Akuarium, untuk dijadikan hunian. Ada filosofi tersendiri, mengapa warga memilih konÂsep tersebut.
Yani, Korwil Kampung Akuarium menilai, kawasan tempat tinggalnya dapat menÂjadi objek wisata. Dia bilang, penggunaan kontainer sebagai tempat tinggal belum jamak ditemui. Itu dapat menjadi ciri khas kampung tersebut.
Katanya, ada keunikan yang menjadi ciri khas karenaterbuat dari kontainer. Apalagi, samÂbungnya, wilayah Kampung Akuarium bertetangga dengan kawasan yang biasa dijadikan tempat bongkar muat kontainer. Pelabuhan Sunda Kelapa.
Yani menuturkan, bila kontainer diterapkan sebagai temÂpat tinggal warga, maka suasananya akan selaras dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. "Jadi pas. Karena, posisinya tepat berdampingan," kata Yani.
Katanya lagi, Kampung Akuarium juga bisa menarik perhatian turis. Baik lokal, maupun mancanegara. Soalya, wilayah itu berada di sekitar bangunan-bangunan cagar budaya. "Turis-turis yang lagi wisata bisa tertarik ke sini," ujarnya.
Menurutnya, turis bakal tertarik dengan penataan kamÂpung yang unik. Terutama dengan kontainernya, hingga penghijauannya. Dia bilang, warga bisa membuka berbagai usaha. Mulai dari toko cinderamata, hingga membuka kafe. "Masih banyak yang lain sebenarnya. Dan, itu bisa meningkatkan perekonomian warga lebih baik," ujarnya.
Teddy, warga Kampung Akuarium lainnya mengungkapkan kegembiraannya terkait rencana tersebut. Dia menyebut, seluruh warga sudah setuju. Terutama setelah meliÂhat rancangan rumah kontainer yang diajukan. "Yang penting, bisa memenuhi aturan dari pemerintah," kata Teddy.
Dia menuturkan, warga meÂmang menginginkan hunian yang lebih permanen secepatnya. Agar, identitas warga Kampung Akuarium yang sempat hilÂang, kembali lagi. "Identitas maksudnya, wargabisa punya rumah lagi," ujarnya.
Menurutnya, shelter temÂpat tinggalnya saat ini, tidak bisa dikatakan sebagai rumah. Makanya, warga menyambut baik rencana rumah kontainer. "Dan Pak Gubernur juga kan menyambut positif," katanya.
Apalagi, desain rumah konÂtainer, bukan desain yang diterima mentah-mentah dari arsitek. Desain model itu, kata dia, juga sudah disiapkan warÂga. "Nggak masalah. Karena, memang niatnya ingin punya rumah, punya kepastian," ujarnya.
Latar Belakang
Tahun 2016 Kampung Akuarium Rata Dengan Tanah Senin, 11 April 2016, ratuÂsan pemukiman di Kampung Akuarium dan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, dibongkar. Ratusan warga direlokasi ke berbagai tempat.
Saat itu, sebanyak 4.218 polisi dikerahkan menjaga pengguÂsuran. Pemprov DKI saat itu berencana menyulap Kampung Akuarium menjadi tanggul untukmenghalangi rob. Tanggul akan dibangun di kawasan Muara Baru, termasuk Pasar Ikan. Tingginya 3,5 meter di atas permukaan laut. Proyek ini akan menggunakan lahan seluas 10 hingga 12 hektare.
Tak semua warga menerima pembongkaran tersebut. Bahkan, hingga beberapa waktu sejak pembongkaran, puluhan warga memilih bertahan. Bahkan, mereka mendirikan tenda di atas puing bangunan yang telah diruntuhkan.
Selain untuk tempat tinggalsementara, saat itu tenda didirÂkan untuk arena bermain anak-anak. Di antara puing yang berserakan, terlihat warga juga bergotong-royong membangun Musala Al-Jihad. Tempat ibaÂdah tersebut ikut diratakan saat pembongkaran.
Teddy, warga Kampung Akuarium mengaku, memilih berÂtahan di tempat tersebut. Dia merasa, memiliki hak untuk tinggal. Meski berstatus penÂdatang, dia mempunyai syarat-syarat yang bisa membuatnya dianggap legal.
Hingga setahun pasca pengÂgusuran, puluhan warga masih menetap di lokasi tersebut. Bahkan, membangun bangunan semi permanen. Saat itu, warga siap melawan jika Pemprov DKI ingin kembali membongkar bangunan milik mereka. "Warga memang sudah diinstruksikan waspada," kata Toyib, warga setempat.
Rini, warga lainnya, mengaku pasrah. Namun, dia mengaku tetap bakal berusaha maksimal. Dia tidak ingin bedeng miliknya dan warga lain tidak dibongkar. "Saya mau beresin tempat tingÂgal saya juga jadi males, paling nanti dibongkar lagi," ucap Rini, saat itu.
Pembongkaran di kawasan itu berlangsung pada masa pemerÂintah Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Selanjutnya, pada 2018, di bawah pimpinan Gubernur Anies Baswedan, Pemprov DKImembangun shelter bagi warga, yang rumahnya dibongkar.
Shelter dibanguan mulai awal 2018. Anies mengatakan, shelter yang dibangun di Kampung Akuarium bukan bangunan permanen. Bangunan itu hanya ditempati warga sementara wakÂtu. Niatnya, untuk memperbaiki kualitas hidup warga setempat.
Saat itu, cukup banyak bangunanliar dan semi permanen di kampung yang berseberangan dengan kawasan Masjid Luar Batang itu. Selanjutnya, Anies merencanakan, Kampung Akuarium sebagai proyek perconÂtohan pertama pembangunan rumah berlapis di Jakarta.
Apalagi, selama beberapa tahun hingga saat itu, sudah lebih dari 20 orang meninggal. Karena, tidak ada tempat tinggal yang baik. "Jadi kesehatan terÂganggu, konsekuensinya fatal," kata Anies. ***