Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

"Cak Jancuk" Jokowi, Masalah Atau Biasa-biasa Saja...

Gelar Nyeleneh Untuk Capres Petahana

Selasa, 12 Februari 2019, 10:55 WIB
"Cak Jancuk" Jokowi, Masalah Atau Biasa-biasa Saja...
Foto/Net
rmol news logo Capres petahana Jokowi dianugrahi gelar "Cak Jancuk" oleh para pendukungnya sendiri di acara deklarasi Forum Alumni Jatim#01 yang digelar di Tugu Pahlawan Surabaya, Jawa Timur pekan lalu. Di acara itu, Jokowi sempat diteriaki "jancuk" oleh para pendu­kungnya.

Menimpali teriakan para pendukung Jokowi, sang pembawa acara Djadi Galajapo menyemat­kan gelar "Cak Jancuk" untuk Jokowi.

Gelar ini terkesan nyeleneh. Sebab dis­ematkan kepada seorang presiden. 'Jancuk' bagi orang Jatim merupakan kata pisuhan. Namun, perkembangan zaman, kata jancuk mengalami pergeseran dan perluasan mak­na. Bisa menjadi makian, namun bisa juga sebagai bentuk keakraban.

Sebelum menyematkan Cak Jancuk kepada capres 01, Djadi Galajapo punya pemaknaan tersendiri. Cak Jancuk merupakan akronim. Cak adalah; Cakap, Agamis, dan Kreatif. Sementara "jancuk" berarti jujur, cakap, ulet, dan komit­men.

Kendati akronim Cak Jancuk sudah dijelaskan, polemiknya tetap saja mengalir. Banyak kalan­gan menilai, kata jancuk tak pantas disemat­kan pada seorang presiden. Hal itu berpotensi menurunkan citra presiden sebagai lembaga negara, sekaligus citra dan elektabilitas Jokowi sebagai capres. Namun sebagian lagi menilai sebagai bentuk keakraban warga Surabaya dengan Jokowi.

Berikut tanggapan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin atas polemik itu, dilengkapi dengan pandangan analis survei politik. Berikut penuturan lengkapnya.

Usman Kansong: Tak Perlu Dipolemikkan, Maksudnya Positif Kok


 Bagaimana pandangan TKN soal polemik gelar Cak Jancuk yang disematkan pada jago capres Anda?
Ya sebetulnya enggak perlu dipo­lemikkan sih. Karena sebetulnya itu bukan pemberian gelar. Kalau kita lihat konteksnya, kan spontanitas MC (pembawa acara), jadi bukan dari para pendukung. Jadi ada MC yang kasih singkatan ke Pak Jokowi. Dan 'Cak Jancuk' sendiri kan berupa singka­tan. Kata 'Cak' di sini artinya adalah cakap, agamis, dan kreatif. Sementara kata 'Jancuk' berarti jujur, cakap, ulet, dan komitmen. Artinya 'jancuk' di sini bukan kata negatif yang biasa digunakan di Jawa Timur. Dengan de­mikian buat apa dipolemikkan. Kalau kita lihat konteksnya juga jelas bukan pemberian gelar. Kalau pemberian gelar itu misalnya Pak Jokowi dapat gelar adat dari tokoh adat di Riau beberapa waktu lalu. Nah kalau ini kan cuma spontanitas MC-nya, jadi buat apa dipolemikkan.

Bagi kebanyakan orang Jawa Timur, konotasi kata jancuk itu negatif. Sementara Jokowi meru­pakan kepala negara. Bagaimana itu?

Ya kalau kita lihat Pak Jokowi-nya aman-aman saja tuh, enggak ada apa-apa. Istana juga enggak ada reaksi. Jadi saya kira enggak ada masalah. Kita sama-sama tahu kok, itu hanya bentuk spontanitas, dan kata 'jancuk' yang dimaksud di sini bukan yang konotasinya negatif. Kita bisa berdebat kalau soal teks ya. Kan kalau menafsirkan sebuah teks itu kita harus lihat konteks kan. Kita enggak bisa, menerjemahkan teks, cuma sebatas dengan melihat teks. Tapi kita harus lihat konteksnya itu apa. Konteksnya itu nomor satu, itu spontanitas MC. Kedua, kata 'jancuk' di sini bukan sebagai sebuah kata, tapi sebagai sebuah singkatan. Jadi untuk apa dipolemikan?

 Dan kalau kita lihat lagi, sebetulnya kata 'jancuk' itu dari nama seorang pelukis Belanda, Jan Cox. Dulu ditulis pada salah satu tank saat perang Surabaya, waktu me­lucuti tentara Jepang pada Perang Dunia II. Ya itu pengertiannya, hanya semakin ke sini konotasinya menjadi negatif. Tapi sebetulnya kata itu kan juga bisa berkonotasi positif, misalnya untuk mengung­kapkan kekaguman.

 Contohnya gini, kalau lihat perem­puan cakep orang Surabaya ada yang suka nyeletuk, jancuk cakepnya. Itu biasa seperti itu. Kayak kita di Jakarta kan juga nyeletuk seperti itu, gokil nih cakepnya tuh cewek. Jadi untuk apa dipolemikkan? Saya juga bingung tuh. Kalau kubu 02 ada yang berkomentar, saya pikir dia enggak melihat konteks, tapi dia hanya melihat teks jancuknya itu. Itu pandangan kami soal 'Cak Jancuk' tersebut.

Berarti TKN tidak akan mem­permasalahkan gelar Cak Jancuk itu ya?
Ya, kami sih sejauh ini enggak pernah komentar, kalau tidak di­mintai pendapat dari teman-teman wartawan. Bu Khofifah waktu dikejar oleh teman-teman di Surabaya, dia juga enggak mau komentar, karena ya untuk apa. Kalau kita mau mem­baca konteksnya saya kira enggak ada masalah, enggak ada yang harus dipolemikkan. Coba dicek deh pem­beritaannya, kata 'Jancuk' di situ adalah singkatan.

Jadi maknanya ya itu, sehingga kalau dilihat dari sisi itu enggak ada negatifnya, positif arti dari 'jancuk' di situ. Sekali lagi itu bukan gelar lho, itu spontanitas lho, lain kalau itu sebuah gelar resmi. Jadi apa yang mau dipolemikan. Sebutan itu juga diberikan spontan oleh MC, bukan massa yang mendeklarasikan dukun­gan. Tanya saja sama MC-nya apa maksudnya, biar lebih jelas.

Sebagian besar analis survei politik menilai, gelar Cak Jancuk berpotensi menurunkan citra dan elektabilitas Jokowi. Bagaimana pandangan Anda soal ini?

Blunder bagaimana? Yang ngomong bukan kami kok. Yang ngomong kan bukan TKN, tapi MC-nya yang spon­tan memberikan sebutan itu. Lantas di mana blundernya? Yang ngomong kan bukan TKN, masak blunder sih. Aneh saja kalau dibilang blunder, karena bukan kami yang bilang seperti itu.

Kalau kami yang ngomong ba­ru blunder, tapi kami kan enggak ngomong. Masa masih dibilang blunder juga sih, kan aneh. Apa kami harus protes? Nanti kalau kami protes dianggap blunder lagi, kan aneh.

TKN tak perlu memperkarakan MC itu?
Kalau kami tidak mempermasalahkan, ya karena itu tadi, kami liat konteksnya. Dan menurut kami konteksnya tidak ada masalah. Jadi enggak perlu diperpanjang lagi deh.

Rico Marbun: Jangan Ngeles, Sebutan Cak Jancuk Nggak Pantas

Apa tanggapan Anda soal gelar "Cak Jancuk" yang disematkan kepada Jokowi?

Waduh itu enggak pantas kalau menurut saya. Kalau menurut saya itu harus diproses secara hukum. Saya enggak mengerti, kok bisa be­gitu ya? Rasa-rasa kita semua tahu apa artinya jancuk itu, dan rasanya enggak pantas (sebutan) itu diberi­kan kepada kepala negara. Presiden Jokowi kan kepala negara, kita tidak bisa sembarangan untuk memberikan gelar bagi beliau. Dia itu bertang­gung jawab terhadap 270 juta lebih manusia Indonesia. Dia adalah wajah diplomasi bangsa, masak dikasih ge­lar seperti itu, yang benar saja.

Bukankah kata jancuk itu cuma singkatan?

Kita jangan ngeleslah, orang sudah tahulah arti kata jancuk itu. Kalau pendukungnya Pak Prabowo, menye­but Presiden Jokowi dengan sebutan itu apa enggak tersinggung? Atau kalau betul misalnya gelar itu sebuah kehormatan, terus semua orang mulai sekarang manggil seperti itu. Mau enggak? Aneh ini kalau menurut sa­ya, kok bisa ada gelar seperti itu. Mau ngasih sebutan sih silakan saja, tapi harus sepantasnya juga lah. Karena bagaimana pun dia itu kan presiden, jadi agak kelewatan menurut saya kalau diberi gelar seperti itu.

Jadi menurut Anda meski gelar jancuk sebagai singkatan tetap saja konotasinya negatif ya?
Ya iyalah. Kita tinggal google sedikit bisa tahu apa artinya (jancuk) itu. Masa presiden mau dipanggil be­gitu? Mau dibilang panggilan sayang juga enggak pantes menurut saya. Karena sebagai presiden dia adalah wajah bangsa Indonesia. Tapi kalau kubu 01 masih membela diri soal ini, mulai sekarang panggil saja Pak Jokowi 'Cak Jancuk'. Pantas enggak kira-kira kalau begitu? Kalau menu­rut saya sih enggak pantas.

Menurut Anda gelar 'Cak Jancuk' apa bisa mempengaruhi elektabilitas Jokowi enggak?
Ya jadi memang, menurut saya ini juga semacam blunder, atau gol bunuh diri dari kubu paslon nomor urut 01.

Pertama kan ada masalah Abu Bakar Ba'asyir, di mana tadinya dia mau melepaskan aktivis Islam. Pak Jokowi sendiri yang menyampaikan rencana pembebasan itu, lalu Pak Yusril sebagai kuasa hukum juga menyatakan begitu, tapi akhirnya enggak jadi. Harusnya, kalau mau dikabarkan sebelum ada kepastian, cari tokoh lainnya saja. Misalnya Alfian Tanjung, itu kan aktivis Islam juga. Tapi bedanya, enggak akan ada komplikasi kalau pun akhirnya enggak jadi.

Lalu ada masalah istilah "propa­ganda Rusia" yang sampai diprotes oleh Kedubes Rusia, dan pembe­rian gelar "Cak Jancuk" ini. Itu kan sebetulnya menjadi gol bunuh diri bagi kubu 01. Padahal menurut saya, semua hal yang kontroversial ini bisa dihindari. Pak Jokowi itu bukan penantang, dia presiden lho. Seharusnya kan bisa lebih rapi dalam menanganinya, mengingat untuk mencari informasi terkait ketiga hal tadi bukan hal yang sulit. Terutama mengenai istilah 'propaganda Rusia', presiden langsung yang bicara be­gitu soalnya. Kecuali Pak Jokowi itu sudah sekuat Donald Trump, itu bisa lain lagi ceritanya. Dia itu kan dari negara adidaya. Dia serang itu Mesiko, dia serang itu Kanada, dia serang itu negara-negara uni eropa, tapi tidak terjadi apa-apa, karena dia dari negara adidaya.

Dia pun sudah tahu hal itu, artinya dia tidak sembarangan menyinggung orang. Kalau posisi Pak Jokowi ini kan berbeda. Dan ingat, Pak Jokowi ini bukan oposisi, yang bisa begitu saja mengomentari isu luar negeri. Dia ini presiden. Jadi tidak pada tempatnya dia menggunakan istilah 'propaganda Rusia', karena akan mempengaruhi hubungan diplomatik antara kedua negara. Apalagi kalau ternyata itu tidak benar kan jadi bahaya.

Memang seharusnya seperti apa sikap kubu petahana itu?
Harusnya lebih terorganisir. Artinya seharusnya kesalahan-kes­alahan kecil itu bisa diminimalisir. Misalnya salah ucap, salah mengam­bil keputusan itu harusnya bisa dihindari menurut saya. Harusnya hal itu tidak perlu terjadi, seperti masalah Abu Bakar Ba'asyir. Abu Bakar Ba'asyir itu kan batal kar­ena dia tidak mau menandatangani pernyataan setia terhadap Pancasila. Seharusnya kalau soal itu belum clear, soal rencana pembebasannya tidak perlu diumumkan ke publik, biar enggak jadi polemik. Karena awalnya kan kita juga enggak tahu ada rencana pembebasan itu. Kalau begini kan yang rugi Pak Jokowi sendiri. Dia seakan ingin mengambil hati pemilih muslim, tapi enggak jadi dapat. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA