Namun, bagi yang skeptis, nama ini lebih mirip “Dana Antara”—antara siapa dan siapa? Antara rakyat dan oligarki? Atau antara impian dan kenyataan? Tapi ini bukan sekadar mimpi. Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Danantara pada 24 Februari, dengan aset senilai Rp14.700 triliun—angka yang cukup untuk membeli mimpi kita semua.
Lembaga ini diklaim sebagai simbol “era baru kemandirian bangsa,” bertujuan mendanai megaproyek tanpa ketergantungan pada investasi asing. Terdengar heroik. Kita patut bangga jika benar kita sudah mandiri.
Tapi ada satu pertanyaan kecil: dana sebesar itu datang dari mana? Apakah itu uang yang sudah ada atau hanya angka aset di atas kertas?
Presiden menyebutkan sumber dana antara lain dari dividen BUMN, yang tahun lalu mencapai Rp300 triliun. Jika dihitung, butuh 49 tahun untuk mengumpulkan Rp14.700 triliun—dengan asumsi seluruh dividen BUMN disalurkan ke Danantara tanpa menyisakan sepeser pun untuk APBN. Maka, pertanyaannya: apakah ini dana yang riil atau sekadar proyeksi optimistis?
Lebih menarik lagi, Danantara tidak sekadar lembaga investasi. Ia juga akan mengambil alih seluruh BUMN, termasuk raksasa seperti Pertamina, PLN, Telkom, dan lainnya. Dengan kata lain, BUMN yang selama ini menopang ekonomi negara akan “dibubarkan,” digantikan oleh satu entitas yang langsung berada di bawah presiden.
Kalau begitu, buat apa masih ada Kementerian BUMN? Apakah ini berarti menterinya bisa pensiun dini dan fokus menanam hidroponik di rumah? Ataukah kementerian itu hanya akan menjadi simbol belaka—seperti raja tanpa mahkota, ada dalam struktur tapi tanpa kuasa?
Lebih jauh, kepala Danantara kabarnya akan dijabat oleh Rosan Roeslani—pengusaha batubara yang juga mantan tim sukses Prabowo. Wakilnya? Pandu Sjahrir, keponakan Luhut Binsar Pandjaitan, juga pengusaha batubara. Maka, ini dana abadi untuk rakyat atau dana kolosal untuk energi fosil?
Secara konsep, Danantara memang mirip “sovereign wealth fund” (SWF) di Norwegia, Singapura, atau Uni Emirat Arab. Tapi ada perbedaan mendasar: di negara-negara itu, pengelolaan dana dilakukan secara transparan dan diawasi ketat oleh parlemen.
Di Indonesia? Danantara langsung berada di bawah presiden, tanpa mekanisme pengawasan yang jelas. Sebelumnya, BUMN masih melapor ke Kementerian BUMN dan diawasi DPR. Sekarang? Satu tangan mengendalikan ribuan triliun rupiah tanpa filter.
Dengan struktur seperti ini, apakah presiden masih kepala negara atau sudah CEO dari mega-korporasi negara? Jika besok-besok Danantara merugi, siapa yang bertanggung jawab? Atau, lebih tepatnya, siapa yang bisa meminta pertanggungjawaban?
Salah satu keunikan khas pemimpin negeri ini adalah: bangun dulu, aturan belakangan. Danantara adalah contoh nyata. Lembaganya sudah berdiri, pejabatnya sudah dilantik, asetnya sudah diklaim, tetapi dasar hukumnya masih samar-samar.
Seharusnya, entitas sebesar ini dibentuk berdasarkan undang-undang yang matang, melalui pembahasan di DPR, dengan sistem pengawasan ketat. Tapi yang terjadi: bentuk dulu, ribut belakangan. Hingga kini, belum jelas betul dasar hukum pengembangan Danantara.
Ini seperti membangun restoran mewah tanpa dapur dan koki, lalu berharap makanan enak muncul sendiri di meja. Jika nanti terjadi skandal atau penyalahgunaan, siapa yang bisa mengontrol? Apakah para pengawasnya, yang salah satunya disebut-sebut adalah Jokowi?
Selama ini, pengawasan pemerintahan ada di tangan wakil rakyat di DPR/MPR. Perusahaan, yayasan, dan ormas pun punya mekanisme kontrol yang jelas. Tapi Danantara? Karena sosoknya tidak jelas apakah bagian pemerintahan, perusahaan, atau yayasan, maka tak jelas pula siapa yang mengontrolnya.
Tak ada yang menolak ide investasi jangka panjang demi masa depan bangsa. Tapi ketika semua mekanisme pengawasan tak jelas, ketika dana negara dikendalikan oleh satu entitas tanpa
checks and balances, kita tidak sedang membangun ekonomi rakyat —kita sedang menciptakan monster finansial yang bisa beroperasi tanpa batasan.
Sebelum kita beramai-ramai merayakan Danantara sebagai era baru kemandirian ekonomi Indonesia, ada baiknya kita bertanya:
Apakah ini mesin pertumbuhan ekonomi atau cara baru untuk mengonsolidasi kekuasaan finansial di tangan segelintir elite?
Apakah ini benar-benar untuk kemandirian bangsa atau sekadar memperpanjang umur industri energi fosil yang kian dipertanyakan?
Apakah ini akan membawa kesejahteraan bagi rakyat atau justru melahirkan oligarki baru dengan legitimasi negara?
Atau, ini hanya alat politik untuk mengumpulkan pundi-pundi sebagai modal memuluskan ambisi kekuasaan menuju Pemilu 2029?
Kita bertanya sebanyak ini dan menunggu jawabannya, sebab sejarah telah mengajarkan: banyak negara jatuh bukan karena kekurangan dana, tetapi karena uang rakyat dikelola tanpa akuntabilitas.
Jadi, apakah Danantara akan menjadi kapal yang membawa kita ke masa depan gemilang, atau Titanic yang karam oleh ambisi penguasa?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya. Tapi jika kita tidak waspada dari sekarang, mungkin jawabannya sudah bisa ditebak.
*Penulis adalah Pemerhati Kebangsaan, Pengasuh Pondok Pesantren Tadabbur Al-Qur'an
BERITA TERKAIT: