Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Josef M. Ullmer: Indonesia akan Sukses dalam Transformasi Energi Baru Terbarukan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Selasa, 18 Januari 2022, 15:04 WIB
INDONESIA sedang berbenah untuk melakukan transformasi besar-besaran di sektor energi. Upaya membangun ekosistem energi baru terbarukan (EBT) ini tentu memerlukan keterlibatan banyak kalangan.

Dalam perbincangan dengan Kantor Berita Politik RMOL, Presiden Direktur PT Andritz Hydro, Dr Josef M. Ullmer, mengurai peluang yang dimiliki dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam transformasi energi ini.

Andritz Hydro adalah salah satu perusahaan yang aktif dalam  pemasaran dan penjualan, serta pengawasan teknik dan manufaktur untuk pembangkit listrik tenaga air berskala besar (Large Hydro and Compact Hydro Plants) yang beroperasi di berbagai negara, seperti Myanmar, Thailand, Vietnam, Laos, Malaysia, Filipina, Australia, dan Selandia Baru.

“Indonesia tampak seperti surga. Kita memiliki tanah yang sangat subur. Kita punya iklim yang bagus. Ya, kita juga ditantang karena berada di cincin api, dengan banyak gunung berapi dan banyak gempa bumi. Meski begitu, saya pikir Indonesia diberkahi dengan banyak hal, dalam hal minyak, gas, nikel, tembaga, emas, bauksit. Apapun yang Anda butuhkan, dalam kaitannya dengan sumber daya, ada di sini,” ujar Josef M. Ullmer.

Berikut kutipan lengkap perbincangan CEO RMOL Network Teguh Santosa dengan Presiden Direktur PT Andritz Hydro, Dr Josef M. Ullmer:

Renewable energy atau energi baru terbarukan (EBT) bukan isu yang sama sekali baru, terlebih bagi praktisi di bidang energi dengan pengalaman 32 tahun seperti Anda. Pemerintah Indonesia juga telah membuat kebijakan transformasi dari energi fosil ke EBT. Bagaimana pendapat Anda terkait potensi dan tantangan dari transformasi ini?

Saya pikir ada beberapa pertanyaan mendasar. Apakah kita perlu berkontribusi atau bertansformasi ke ekonomi global dengan emisi nol bersih? Saya rasa tidak ada yang mempertanyakan ini lagi.

Apakah ada jalan dan cara untuk mencapainya? Tentu ada. Kenapa belum terjadi? Masih dalam proses, tentu dengan beberapa poin untuk Indonesia.

Pertama-tama, ketika Anda melihat ukuran Indonesia, dari Timur ke Barat, ini sedikit lebih mirip dengan Amerika Serikat. Lalu, Indonesia punya lebih dari 13.000 pulau, dengan 5.000 di antaranya ditempati. Tapi ketika Anda melihat lebih jauh, 85 persen populasi justu hanya menempati 5 persen dari wilayah, yaitu di Pulau Jawa.

Tentu, Indonesia tampak seperti surga. Kita memiliki tanah yang sangat subur. Kita punya iklim yang bagus. Ya, kita juga ditantang karena berada di cincin api, dengan banyak gunung berapi dan banyak gempa bumi. Meski begitu, saya pikir Indonesia diberkahi dengan banyak hal, dalam hal minyak, gas, nikel, tembaga, emas, bauksit. Apapun yang Anda butuhkan, dalam kaitannya dengan sumber daya, ada di sini.

Apakah kita mengolah sumber daya ini dengan benar, itu adalah persoalan lain. Kenapa? Sebagai negara berkembang, tentu Anda membutuhkan kemampuan teknis untuk menguasai semua ini.  Anda membutuhkan modal untuk menggerakkannya. Anda membutuhkan sumber daya terlatih untuk melakukannya.

Dengan adanya infrastruktur dan perspektif pembangunan yang sudah muncul sejak krisis Asia terakhir pada 1998, muncul fenomena, dengan tujuan utama dari pembangunan adalah listrik. Anda bisa lihat mayoritas dari pembangunan telah difokuskan ke Jawa, dengan pendekatan menggunakan batubara, dan itu alamiah.

Satu hal yang dilupakan adalah, pada awal-awal kemerdekaan, tenaga hidro merupakan kontributor besar dalam pembangkit listrik. Salah satu proyek pemulihan setelah Perang Dunia adalah membangun Karangkates. Mengapa? Karena selain mengontrol air sungai, itu juga membantu lahan di sekitarnya subur, juga bisa membangkitkan listrik. Hari ini, kita lihat sumber daya hidro di Indonesia, dan hanya 5 persen yang digunakan.

Sebenarnya, kita mampu membangkitkan listrik untuk seluruh Indonesia. Kita membangkitkan listrik di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, meski tidak ada demand, karena semua demand ada di Jawa.

Sekarang ada pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), floating solar yang bisa ditanam di reservoir dan murah. Jadi Anda tidak tidak perlu menggunakan lahan yang subur untuk PLTS.

Angin tidak begitu banyak karena kita terlalu dekat dengan garis khatulistiwa. Jadi entah kita memiliki banyak angin atau tidak memiliki cukup angin, tetapi tenaga surya pasti memiliki potensi yang sangat besar, ditambah kemampuan untuk memasuki revolusi industri baru. Artinya, jika mengingat program transmigrasi di masa pemerintahan Soeharto, kita harus memindahkan penduduk pedesaan ke daerah yang lebih sedikit penduduknya.

Saat ini menjadi mungkin untuk menciptakan zona industri di sisa wilayah yang ada. Dengan begitu, selain menciptakan demand yang bisa terpuaskan dengan EBT dan melakukan ekstraksi, tetapi juga muncul industri pengolahan dan industri di hilir, untuk menciptakan rantai nilai yang sempurna bagi Indonesia.

Lalu berapa lama waktu yang diperlukan agar Indonesia dapat melakukan transformasi energi ke EBT?

Proses ini tidak bisa dilakukan dalam satu malam. Ini membutuhkan waktu beberapa dekade. Salah satu masalah utama, ini risiko yang juga harus diterima semua orang, yaitu keamanan pasokan energi. Jadi kita perlu memastikan bahwa kita memiliki pasokan listrik yang stabil, aman, dan terjangkau.

Seberapa cepat kita dapat mengubah tenaga dari batu bara menjadi EBT adalah pertanyaan tentang kemauan politik dan subsidi.

Seperti berita hari ini, PLN harus membeli batubara di masa depan dari pemasok dalam negeri, bukan lewat DMO (Domestic Market Obligation) dengan plafon 70%, tetapi dengan harga pasar dan pemerintah akan menyangga atau mensubsidi selisih antara harga pasar dan plafon.  Jika kita bisa menggunakan skema ini untuk PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) atau PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air), kita bisa menghasilkan listrik termurah.

Masalahnya pembangkit listrik ini tidak dapat dibangun dalam tiga bulan. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan perencanaan yang tepat, penataan, dan implementasi.

Jadi saya perkirakan, transisi ini pasti akan rampung dalam waktu 25 hingga 30 tahun ke depan. Saya merasa kita tidak akan membutuhkan kerangka waktu 2060, karena pada saat itu batu ara akan menjadi terlalu mahal dan tidak dapat diterima oleh konsumen di dunia. Pasalnya, bukan hanya listrik yang kita konsumsi, tetapi juga listrik yang dapat menghasilkan produk yang kita ingin jual sebagai produk ekspor, produk akhir, ke seluruh dunia.

Selain itu, konsumen di seluruh dunia akan dan sudah melihat efek pemanasan global di mana-mana, akan sangat kritis dalam hal memiliki produk yang bahan-bahannya benar-benar hijau.

Jadi akselerasi dari transisi ini akan didasarkan pada, pertama, relokasi permintaan industri di masa depan. Seperti yang kita lihat di Tanah Kuning, Kalimantan Utara. Pada dasarnya kita sepakat bahwa ini adalah industri masa depan, pusat masa depan.

Ketika Anda melihat, contohnya, Mahakam. Kita hanya melihat Mahakam sebagai proyek batubara. Padahal alamiah dari Mahakam adalah salah satu sungai terbesar di dunia. Tapi di sana tidak ada satu pun PLTA.

Lalu kenapa kita tidak membuat Mahakam seperti Serawak, membentuk sungai agar mereka bisa dilalui kapal. Seperti ketika Anda membangun jalan raya di jantung Kalimantan.

Di antara pembangkit listrik tenaga surya, angin, dan sebagainya. Apa kelebihan dari tenaga hidro?

Jadi hidro pada dasarnya memiliki empat fungsi. Pertama, mitigasi banjir. Kedua, irigasi. Ketiga, transportasi. Dan keempat adalah pembangkit listrik. Kita memiliki banyak sumber daya yang dapat dikombinasikan untuk mengakselerasinya secara besar-besaran.

Apa yang menjadi persoalan di Indonesia? Mitigasi banjir mungkin tidak menjadi isu sentral. Irigasi adalah bagian Kementerian Pertanian atau Perhutanan. Transportasi tidak dapat berjalan tanpa ketiganya.

Jika ada lebih banyak integrasi, koordinasi, maka sumber daya alam yang tidak dapat kita monetasi hari ini, bisa bertransformasi menjadi produk akhir. Selain menjadi pengekspor sumber daya, Indonesia bisa melakukan revolusi industri. Dan ketika kita melihat parameter ini, apa yang mendorongnya? Satu yang pasti, meninggalkan bahan bakar fosil. Ini juga sudah terjadi hari ini, di mana bank dan perusahaan keuangan tidak lagi hadir di proyek bahan bakar fosil.

Transisi perusahaan minyak swata dari fosil ke EBT, sebagian ke PLTA, PLTS, dan PLTMH, menurut pendapat saya sudah dimulai. Kita sudah melihat lebih banyak komitmen, pendanaan, dan juga perkembangan yang pesat dari tahun ke tahun pada sektor ini. Dipastikan pada 2030-2035, kita tidak akan melihat combustion engine (CE) lagi di jalan-jalan di Eropa, seperti halnya di Jepang atau Korea, bahkan China, dan tentunya di negara ini.

Lalu apa artinya? Akan ada kombinasi antara electro mobility (e-mobility) yang jarak pendek dan hidron yang jarak jauh.

Infrastruktur juga akan mengikuti, khususnya terkait pengisian daya. Jadi Anda bisa bepergian sejauh 1.000 km. Satu stasiun pengisian akan ada di Bandung, satu di Surabaya, mungkin satu di Semarang. Sehingga distribusi dalam hal ini akan berubah total.

Di tempat terbuka, e-mobility menjadi sangat realistis, karena Anda memiliki tempat parkir dan steker listrik. Bahkan Anda mungkin bisa mendapatkan uang dari crowdsourcing. Dengan blockchain, Anda bisa meninggalkan mobil yang sedang mengisi daya. Misalnya Anda bisa makan siang atau ke toilet.

Ini bisa terjadi 10 tahun ke depan, yang tidak bisa kita bayangkan hari ini.

Persoalan utamanya adalah terkait keamanan. Namun ada teknologi blockchain. Ini mungkin bisa kita lihat selama empat tahun terakhir dalam transisi sektor perbankan, di mana banyak langkah-langkah yang terotomatisasi, juga banyak pembiayaan yang aman dengan blockchain.

Kita juga telah melihat pilot project transisi energi, baik di swasta maupun publik, menggunakan fixed singularity dan blockchain. Jadi di Thailand, Inggris, Prancis, Austria, Jerman, Selandia Baru, Australia, California, ini sangat nyata. Apakah kita memiliki kemampuan untuk mengimplementasikannya? Ya.

Dan saya pikir ada kesempatan besar bagi Indonesia untuk memiliki lompatan lain. Jika Anda ingat, 30 tahun yang lalu, telepon kabel langka di Indonesia. Dengan persoalan geografis, distribusi telepon kabel menjadi rumit. Kemudian muncul telepon seluler. Hari ini, Anda bisa memiliki telepon selular di mana pun di seluruh kepulauan di Indonesia. Jadi Anda melompati itu.

Persoalan selanjutnya adalah bagaimana mendistribusikan pembangkit listrik yang berbeda-beda, sebagian dengan surya, sebagian angin, dan membangun pumped storage, yang kita harapkan dapat dibangun pertama di Jawa, Cisokan, dengan kapasitas 2.250 MW di luar Bandung. Perusahaan kami juga telah memenangkan tender ini, jadi kami sangat bangga.

Termasuk juga pengembangan di Kayan, Mentarang, potensi hidro di Papua, semuanya didorong dengan upaya memproduksi hidrogen, green ammonia, yang akan diekpor, dan tentu untuk konsumsi di dalam negeri. Jadi melihat ini semua, saya pikir transisi ini terakselerasi, seperti halnya komunikasi.

Pandangan ini sangat realistis, mungkin terjadi, dan dapat dicapai. Tapi tantangan apa yang Indonesia hadapi?

Koordinasi dan keinginan politik. Kepemimpinan dari atas yang akan membuatnya terjadi. Karena ini adalah jalan yang baru, artinya perusahaan terbesar di Indonesia tidak akan lagi Pertamina, tetapi yang lain. Jadi akan ada pergeseran politik, bukan lagi mereka yang menguasai pembangunan industri selama 30 tahun terakhir. Akan ada banyak pemain baru.

Hal ini sangat menarik karena saya pikir, kita akan melompati itu meski kita memulainya dengan lambat. Tapi ketika Indonesia masuk dalam gerakannya, kita tangguh, kita fokus, kita memiliki sumber daya, kita memiliki orang-orang bertalenta yang luar biasa pekerja keras, yang juga akan dihargai karena mereka mendedikasikan diri untuk pekerjaan hal yang benar.

Penjelasan Anda mengingatkan saya ketika belajar di Hawaii. Saya mempelajari future studies, dan sebagai futurolog, kita harus mencoba berpikir 30-40 tahun ke depan. Anda sendiri sudah ada di Indonesia sejak lebih dari tiga dekade lalu. Berdasarkan pengalaman Anda, apakah Anda sudah melihat adanya pergerakan ke arah tersebut atau ini semua hanya retorika semata?

Bagian terbaik dalam hidup saja dihabiskan di sini, dan saya berharap bisa menjalani beberapa dekade lagi di sini. Selama bertahun-tahun, transformasi energi bukan hanya mungkin terjadi di Indonesia, tetapi juga seluruh kawasan Asia, termasuk Australia dan Selandia Baru.

Saya pikir Indonesia telah bertransformasi dengan pesat. Lihat kota yang kita tinggali hari ini, dan bandingkan dengan foto 30 tahun lalu. Dulu, setengah dari Thamrin adalah kebun pisang, dan Sudirman tidak ada apa-apa, kemudian Kuningan masih dalam tahap pembangunan.

Projek pertama saya adalah jaringan 500 KV di Gandul. Membutuhkan 4,5 jam dari kota ke Gandul, tapi hari ini ada tol dan Anda bisa menempuhnya hanya kurang dari 45 menit. Saya pikir Indonesia berkembang dengan luar biasa.

Tapi jika Anda selalu ada di sini, Anda selalu merasa pertumbuhan ini terlalu lambat, dan ini seharusnya bisa lebih dipercepat. Tetapi ketika dicermati, mereka seperti Thailand, Vietnam mirip Indonesia 30 tahun lalu. Bahkan Filipina tertinggal 20 tahun di belakang.

Saya pikir sudah ada pergerakan konsisten yang luar biasa (di Indonesia), tidak pernah keluar jalur. Tahun per tahun, ada yang pertumbuhannya 12 persen, tapi ada juga 7 persen. Namun ketika semua itu dikumpulkan bersama, kemudian dibandingkan dengan kendala geografis yang Indonesia miliki, saya pikir itu adalah angka yang besar.

Dan bisakah kita melakukannya dengan lebih baik? Tentu saja. Selalu ada ruang untuk memperbaiki. Selain itu ada hal lain yang membuat persoalan lebih kompleks, seperti lambatnya pengambilan keputusan.

Selama tahun 2015 hingga 2019, saya menjabat sebagai CEO ANDRITZ di India, salah satu pusat manufaktur terbesar yang mungkin kita miliki. Jika dibandingkan dengan India, pengambilan keputusan di Indonesia seperti kilat, jadi kita sangat cepat.

Jadi ketika Anda melihat hanya dari perspektif Anda, maka akan terlihat terlalu lambat. Tetapi jika Anda mengambil perspektif yang lebih tinggi dan jauh, kemudian bandingkan, saya pikir Indonesia telah membuat pertumbuhan yang sangat luar biasa.

Hal yang kita bahas, membandingkan transformasi sumber daya, jika dalam sebuah perlombaan, Indonesia berada di depan. Meski Nigeria serupa, saya pikir Indonesia ada di depannya.

Transformasi saat ini sangat penting, karena bukan hanya untuk mengekstraksi, tetapi juga refining. Dan lebih jauh lagi, ini adalah warisan Jokowi, sehingga saya kira arahnya sudah benar. Apabila ini berhasil, dan saya yakin berhasil, Indonesia akan menjadi kekuatan industri. Dan yang pasti menjadi salah satu kekuatan ekonomi terdepan di dunia pada tahun 2030-2040.

Mengingat ukuran, kemampuan, dan kesempatan yang kita miliki masih besar. Ketika tenaga hidro telah dimanfaatkan 100 persen, lalu ke mana kita akan pergi? Apakah ke tenaga panas bumi? Apakah ke tenaga surya? Ada banyak ruang di Indonesia. Yang kita butuhkan adalah keyakinan bahwa kita bisa melakukannya.

Jika ada pandangan publik, dengan berkembangnya media online, akses dan pengetahuan dari konsumen media juga perusahaan media, kita berkembang dengan pesat.

Apabila Anda bandingan, kita lihat di Thailand. Mereka punya lese majeste, informasi terbatas, itu hal jelas bagi sebuah negara komunis. Tetapi juga pembatasan untuk isu ini, saya pikir kita membuat kemajuan yang luar biasa. Apakah bisa dipercepat? Iya, selalu bisa untuk dipercepat. Tetapi persoalan di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian adalah mendorong pemberantasan korupsi, politisi dan pejabat yang bersih, serta memberikan semua orang, khususnya anak-anak, pendidikan dan layanan medis yang layak.

Saya juga merasa bagian dari ini. Saya bangga karena telah berkontribusi, 60 persen tenaga hidro di Indonesia menggunakan peralatan kami, mereka masih beroperasi dan baik-baik saja. Pembangkit pertama yang dikirim sejak 1908 juga masih bekerja.

Saya rasa persoalannya adalah menjadi bangga dan nyaman. Tidak boleh terlalu bangga, tetapi juga rendah hati. Indonesia adalah negara mahsyur dengan masyarakat yang hebat dan sumber daya yang besar.

Jika kita melihat seluruh struktur politik bekerja bersama-sama, maka mereka tidak bisa kritis. Padahal kemajuan bisa tercapai jika adanya checks and balances yang kritis. Kemajuan tidak akan terjadi jika denominator lemah. Kemajuan harus mencerminkan pernyataan bapak pendiri bangsa bahwa Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kekuatan kita adalah perbedaan, dan kekuatan kita ditentukan dengan keberagaman. Kita satu, memiliki tujuan dan fokus yang sama. Dan saya sangat yakin, meski ada pasang surut, Indonesia akan sukses dalam hal ini.

Tadi Anda sampaikan bahwa lebih dari 60 persen dari proyek hidro di Indonesia memanfaatkan peralatan dari ANDRITZ. Bisakah Anda jelaskan?

Kami mulai berkontribusi di Indonesia pada awal abad ke-20, kemudian masuk lebih dalam ke Indonesia pada akhir 1980-an, dan menjadi penyuplai pertama pada saat itu. Indonesia merupakan negara Asia pertama yang memasang jaringan listrik 500 KV, selain Jepang. Tidak ada negara lain yang memiliki jaringan listrik 500 KV, termasuk China, India, atau Korea. Indonesia adalah negara kedua setelah Jepang di Asia yang memiliki jaringan listrik 500 KV.

Ketika itu, perusahaan saya menyuplai transformer (trafo) dengan berat 150 ton satu unit, suplai terberat yang pernah dikirimkan.

Itu adalah tugas pertama saya di Indonesia. Tugas kedua saya kemudian di Cirata, Sungai Citarum. Waduk Cirata dan Saguling di Jatiluhur juga kami lengkapi dengan turbin dan generator. Lalu kami ke tahap kedua, kami mendapatkan proyek Sengguruh, Tulungagung, Kotapanjang, Singkarak, Renun, Musi, Besai.

Proyek-proyek itu didorong dengan keuangan internasional dari World Bank, ADB (Asian Development Bank), dan juga kerangka IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia), di mana dunia Barat mendukung Indonesia dalam pengembangan energi melalui pinjaman yang murah dan pemanfaatan sumber daya.

Lalu datang krisis 1998, sebuah kekacauan besar, restrukturisasi terjadi, dan situasi ini bertahan hingga 2002-2003. Kemudian fenomena pembangunan muncul lagi, hingga 2010.

Tapi ketika itu, tentunya dengan ketidakjelasan politik, tenaga hidro bukan pilihan, karena tenaga hidro membutuhkan waktu yang lebih lama dari masa pemerintahan. Jadi Anda harus berpuas diri dengan persoalan jangka pendek. Sementara ini adalah isu besar, tujuan besar, IPP (Independent Power Producer).

Selama beberapa tahun ini, klien-klien kami menjadi lebih ramah lingkungan, berkomitmen untuk memproduksi nikel hijau. Tetapi hidro adalah energi paling murah. Pertama kami rehabilitasi, kami isi dengan peralatan di pembangkit listrik pertama dan kedua.

Kemudian PLN mulai, kami mendapatkan Peusangan, Asahan, yang berisi komitmen menjajaki proyek. PLN bisa berbangga diri, karena ini sektor yang rumit. Saat ini kami sedang menunggu penandatanganan Cisokan, yang menjadi pumped storage besar pertama di Indonesia. Dan lagi, kami sangat senang dengan apa yang dilakukan PLN.

Jadi kami berkontribusi banyak selama beberapa tahun terakhir. Dan kami juga dengan bangga mengatakan, bahkan tanpa UU, 35-40 persen dari peralatan perusahaan kami merupakan produk dalam negeri. Jadi dalam 25 tahun ini, semua peralatan mulai dari turbin hingga generator kami produksi bersama dengan perusahaan dalam negeri.

Tanpa insentif apapun, segala kemungkinan tetap ada. Perusahaan kami sebelumnya juga menyuplai Krakatau Steel.

Jadi, ya, kita bergeser. Kita bergerak, perlahan tapi pasti. Dan ANDRITZ punya kesepakatan untuk mengembangkan salah satu produk dominan yang diekspor, termasuk kami juga menyuplai peralatan sektor minyak sawit. Saya pikir kita telah melakukannya dengan sangat baik.

Apakah mesin, turbin, dan peralatan lainnya tidak dibuat di Indonesia?

Sebanyak 40 persen peralatan kami dapatkan dari dalam negeri, sementara 60 persen masih impor dari India, Austria, Meksiko, dan Eropa. Tapi sekitar 35-40 persen kami memanfaatkan produk lokal.

Apa proyek terbesar Anda di Jawa?

Tidak, dua proyek terbesar saat ini yang kami miliki ada di Sumatera. Bukan hanya saat ini, tetapi memang ada fabrikasi di sana untuk proyek Asahan, dan kami juga tengah memasang peralatan di Peusangan I dan II di Aceh.

Jadi saat ini fokus saya di Jawa, serta mini hidro untuk klien swasta. Tapi kami juga tengah mempertimbangkan proyek 1.200 MW di luar Bandung, Cisokan.

Bagaimana dengan Kalimantan?


Di Kalimantan, kami berharap bisa berpartisipasi dalam beberpa proyek. Dan Kayan adalah tanda tanya besar, entah Indonesia bisa sabar untuk mengembangkan Kayan dengan China lantaran selama lima tahun terakhir tidak ada program.

Apakah apa proyek di Sulawesi?

Ya, kami memiliki enam proyek di Sulawesi. Kami sudah menyuplai ke Tanggari sejak 1970-an, dan reaktivasi pada 1980-an. Lalu kami menyuplai untuk Balambano dan Larona, Kemudian kami juga menyuplai untuk mini hidro.

Apakah Papua juga menjanjikan?


Kami memiliki mini proyek di Papua, dengan pengembangan hidro yang sangat luar biasa. Papua memiliki kemampuan untuk menghasilkan 2.000 MW dari hidro, tapi hanya kurang dari 100 yang dimanfaatkan. rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA