Jalan Pancoran, Pinangsia, Kecamatan Tamansari, jadi salah satu pusat keramaian jelang Imlek. Di jalan selebar sekitar lima meter itu, ratusan pedagang pernak-pernik, dan kebutuhan Imlek lainnya, berjejer. Bahkan, hampir tak ada lahan kosong, di jalan sepanjang 300 meter itu.
Lapak-lapak pedagang, tumpah hingga ke jalan. Rata-rata, pedagang musiman. Tapi, ada juga pedagang yang memang memiliki kios di jalan itu. Kios mereka makin luas jika ditambah dengan lapak yang berada di badan jalan.
Hans, salah satu pedagang yang mencoba peruntungan di jalan itu. Tak setiap hari dia berdagang pernak-pernik khas China. Biasanya, dia berdagang pakaian di tempat lain.
Lapaknya tidak besar. Hanya 2x2 meter. Tapi, barang daganÂgannya lengkap. Mulai dari pakÂaian, yang umumnya bermodel cheongsam khas China, pohon mehwa, dan angpau. Tak samÂpai di situ, di lapaknya dia juga menjual lampion, gantungan, dan gambar shio babi. Lambang tahun yang akan datang dalam kalender China.
Jumat siang (1/2) lapak Hans tampak ramai. Pengunjung silih berganti. Banyak yang beli. Tapi, tak sedikit yang sekadar tanya. Tawar menawar kerap terdengar di lapak itu.
Tahun ini, adalah kelima kali dia berjualan pernak-pernik Imlek.
Dia berdagang di sana hanya saat menjelang Imlek. Sebelumnya, ayahnya yang berjualan di sana, tiap menjelang Imlek.
"Terus Bapak saya pindah, sekarang saya yang nerusin," ujar Hans.
Harga yang ditawarkan Hans beragam. Dari yang paling muÂrah, sampai yang paling mahal. Tapi, beberapa pembeli sempat protes. Barang dagangan Hans dianggap kemahalan. Tapi, menurut Hans, harga barang dagangannya masih wajar. Terbukti, dari banyaknya pembeli.
Tahun lalu, Hans mengaku, sudah memberikan harga tinggi.Tak ada yang mengeluh. Makanya, tahun ini dia berani menaikkan harga. Klaimnya, kualitas barang dagangannya bagus. Di atas standar.
"Makanya, kami berani naikÂkan harga tinggi," kata Hans.
Dia mencontohkan, pohon mehwa. Pohon yang dirangkainÂya sendiri. Untuk produk itu, dia menaruh harga lebih tinggi dari tahun lalu. Tahun lalu, pohon mehwa ukuran 30 centimeter (Cm), bisa didapat dengan harga Rp 50 ribu. Sekarang, bunga sudah lebih mahal. "Jadi, dijual Rp 75 ribu," ucapnya.
Hans, bersama sang istri, merangkai sendiri pohon itu. Warnanya merah dan merah muda. Ukurannya bervariasi. Yang paling kecil, ukurannya 30 Cm. Sedangkan yang paling beÂsar, 1,5 meter. "Harganya mulai dari Rp 75 ribu sampai Rp 900 ribu," bebernya.
Tak cuma Hans, Anton, pedaÂgang lainnya, turut menaikÂkan harga jual. Tapi, katanya, pendapatannya malah turun dibanding tahun lalu. Tahun lalu, penghasilan kotornya sampai Rp 10 juta per hari. Tahun ini, dia mengaku sangat bersyukur jika bisa dapat nilai yang sama dalam beberapa hari.
Bahkan, sambungnya, yang didapatnya dalam sehari tahun lalu, bisa lebih dari Rp 10 juta. Anton sendiri, sudah membuka lapaknya sejak 1 Januari lalu. Dia akan menutup lapaknya pada 4 Februari ini. "Tahun ini turun, mungkin pengaruh pemilu juga," ucap Anton.
Meski menaikkan harga, Anton tetap menyesuaikan harga jual dengan pedagang lainnya. Sebab, dia tak mau kehilangan pelanggan jika barangnya terÂlalu mahal. Apalagi, ia telah memiliki pelanggan hingga luar kota. Seperti Palembang dan Bandung. Kata Anton, jika berÂhalangan, pelanggannya kerap mengutus wakil. Bisa keluarga, atau kerabat.
"Paling mereka sebut barangÂnya, kita tinggal kirim pesananÂnya," ujarnya.
Sambut Imlek, Vihara Dharma Bhakti Bersih-bersih
Sambut Imlek
Imlek tak cuma pernak pernik. Warga yang merayakannya, kerap beribadah saat hari itu datang. Salah satu tempat ibadah yang kerap didatangi warga Jakarta dan sekitarnya saat Imlek yakni, Vihara Kim Tek Le. Sebutan lainÂnya, Vihara Dharma Bhakti.
Menyambut Imlek yang jatuh pada 5 Februari ini, vihara itu pun bersolek. Lalu lalang jemaat yang beribadah, tak menghalangi petugas untuk berbenah. Jumat siang (1/2), sejumlah petugas tampak menyiapkan lilin dan lidi dupa hio. Perlengkapan itu diletakkan di beberapa titik.
Hari itu, bangunan vihara terlihat begitu semarak. Warna merah menyala terlihat dari aneka lampion yang digantung di sepanjang bangunan. Petugas juga memasang lampion di depan vihara. Bangunan vihara terlihat kinclong. Rapi dan bersih.
Dari segi keamanan, tak ada yang mencolok. Tak tampak petugas berseragam, baik sipil, poliÂsi, maupun militer yang tengah bersiaga. Keamanan kondusif. Termasuk di lingkungan sekitar. Terutama di Jalan Kemenangan III, Petak Sembilan, Glodok, Jakarta Barat, tempat vihara itu berdiri.
Zhaky, Staf Pengurus Vihara Dharma Bhakti menyebut, kegÂiatan bersih-bersih, agar ibadah dan perayaan Imlek berjalan khusyuk. Hal ini sudah menjadi kegiatan rutin yang dilakukan jelang Imlek.
Zhaky mengatakan, Vihara Dharma Bhakti siap menyambut perayaan Imlek. Menurutnya, dari sisi kebersihan, ada tembokyang dicat kembali. Patung yang ada di vihara juga dicuci.
"Termasuk mengganti baju patung Dewi Kwan Im," terang Zhaky.
Dia menambahkan, persiapan ini sudah dilakukan sejak akhir Desember 2018. Sedangkan unÂtuk persiapan ritual cuci patung dan ganti baju, sudah dipersiapÂkan sejak dua bulan lalu.
Zhaky menambahkan, kemungkinan jumlah jemaat saat perayaan Imlek meningkat. Bahkan, kemungkinan nyaris meningkat dari jumlah jemaat pada 2018. Tahun lalu, jemaat yang datang mencapai 4.000. Tahun ini, dia memprediksi bisa mencapai 5.000 jemaat.
Untuk pengamanan pada perÂayaan Imlek, menurutnya, tidak ada yang spesial. Nantinya akan ada petugas keamanan setempat, Kepolisian dan Babinsa. "Serta warga setempat yang akan memÂbantu menjaga situasi dan konÂdisi agar perayaan Imlek berjalan kondusif," tandasnya.
Latar Belakang
Imlek Jadi Hari Libur Sejak Tahun 2000 Tahun ini, adalah perayaan Tahun Baru Imlek yang ke- 2570. Selain pernak-pernik dan kegiatan ibadah, Imlek juga tak lepas dari makanan khas. Ada beberapa jenis makanan, yang merupakan simbol harapan, di tahun yang baru.
Pertama, kue keranjang. Bentuknya yang bersusun meruncÂing seperti pagoda, membuatÂnya gampang dikenali. Kue itu disebut kue keranjang lantaran proses pembuatan tradisionalnya menggunakan alat menyerupai keranjang. Kue keranjang disebut sebagai nian (tahun) gao (kue) dalam bahasa Mandarin. Di saat yang sama, ata "gao" juga menÂgandung makna sejenis "tinggi".
Hal inilah yang membuat kue keranjang selalu disejajarkan dengan harapan menyongsong Tahun Baru Imlek yang berbunyi "nian nian gao gao", setiap tahun semakin tinggi.
Selanjutnya, mi. Makanan ini juga menjadi salah satu saÂjian yang mengandung harapan. Kalangan Tionghoa memang sering menghidangkan mi pada momen-momen khusus. Seperti, ulang tahun dan tahun baru. Bentuk mi yang panjang, diasosiasiÂkan sebagai lambang umur atau kesuksesan yang tidak terputus.
Selanjutnya rebung. Dalam tradisi China yang masih kental, rebung juga menjadi sajian wajib ketika Imlek. Rebung merupaÂkan tunas bambu yang masih agak lunak untuk dimasak.
Tunas adalah lambang tumÂbuhnya harapan baru. Bambu akan tumbuh tinggi menjulang ke atas. Artinya, setiap langkah semakin tinggi dan semakin sukses.
Tradisi China juga mengenal istilah "sam seng" yang berarti tiga macam hewan. Tiga macam hewan ini mewakili habitatnya masing-masing, yakni air, darat, dan udara. Dulu, para petani China memakainya sebagai simbolisasi rasa syukur akan datangnya musim semi.
Salah satu menu lainnya daÂlam perayaan Imlek adalah ikan bandeng. Sajian ini pun kerap hadir dalam sembahyang leluhur yang diadakan berhari-hari sebeÂlum Imlek. Umumnya, sam seng mengandung ayam atau bebek yang mewakili unsur udara. Babi yang mewakili darat. Serta, ikan sebagai unsur air. Jenis bandeng menjadi prioritas.
Di Indonesia, Imlek pertama kali dirayakan besar-besaran pada 2000. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000, Gus Dur keÂtika itu mencabut Instruksi Presiden Soeharto pada 1967 yang membatasi gerak kelompok Tionghoa.
Pada 2000 itu, Gus Dur menetapkan bahwa Tahun Baru Imlek adalah hari libur yang fluktuatif. Artinya, hanya mereka yang merayakan yang boleh libur. Kebijakan itu, kemudian dilanjutkan Presiden Megawati Soekanorputri. Putri Proklamator Soekarno itu, menetapkan hari raya tersebut sebagai hari libur nasional pada 2003.
Di Indonesia, tahun baru Imlek biasanya berlangsung sampai 15 hari. Satu hari sebelum atau saat hari raya Imlek, bagi etnis Tionghoa adalah suatu keharuÂsan untuk melaksanakan pemuÂjaan kepada leluhur.
Pemujaan itu seperti dalam upacara kematian, memeliharameja abu atau lingwei (lembarpapan kayu bertuliskan nama almarÂhum leluhur). Bersembahyang leluhur seperti yang dilakukan di hari Ceng Beng (hari khusus untuk berziarah dan membersiÂhkan kuburan leluhur).
Oleh sebab itu, satu hari sebeÂlumnya atau pada saat Hari Raya Imlek, para anggota keluarga akan datang ke rumah anggota keluarga yang memelihara linÂgwei (meja abu) leluhur untuk bersembahyang. Atau, menÂgunjungi rumah abu tempat penitipan lingwei leluhur untuk bersembahyang. Sebagai bentuk penghormatan dan sebagai tanda balas-budi, maka saat acara semÂbahyang, dilakukan pula persemÂbahan jamuan makan untuk arwah para leluhur. ***