Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pedagang Ngarep Daging Ayam Tak Melebihi Rp 24 Ribu Per Kilo

Biar Semua Untung

Jumat, 05 Oktober 2018, 10:43 WIB
Pedagang Ngarep Daging Ayam Tak Melebihi Rp 24 Ribu Per Kilo
Foto/Net
rmol news logo Harga daging ayam broiler merangkak naik. Di pasar tradisional di Tangerang Selatan (Tangsel) misalnya, yang sebelumnya dijual Rp 18.500 per Kg, naik menjadi Rp 20.500 per Kg. Di Jakarta Rp 22.500.

Di Pasar Ciputat, Tangsel, beberapa pedagang mulai menjual daging ke konsumen sebesar Rp 20.500 per Kg. Kenaikan terse­but tidak membuat konsumen keberatan. Mereka tetap asyik memilih daging ayam yang tersedia di atas meja.

"Sudah mulai naik tiga hari lalu. Tapi masih murah, nor­malnya Rp 22 ribu per Kg," ujar Mamad, salah satu pedagang Ayam broiler di Pasar Ciputat, Selasa (2/10).

Pedagang ayam broiler di Pasar Ciputat memang tidak banyak. Jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Mereka lebih ban­yak menawarkan ayam broiler dibandingkan ayam kampung. Alasannya, harganya jauh leb­ih murah. Begitu juga secara tampilan lebih menarik. "Ayam kampung harganya bisa Rp 100 ribu per ekor," sebut dia.

Kenaikan harga daging ayam yang terjadi saat ini, kata Mamad, tak membuatnya untung lebih besar. Pasalnya, ayam dari peternak dilepas dengan harga Rp 18.500 per Kg. "Jadi, kami cuma ambil untung Rp 2 ribu per Kg," sebutnya.

Semakin mahal harga dagingayam, lanjut Mamad, tidak berarti keuntungannya berlipat ganda. "Saat harga ayam melonjak hingga Rp 30 ribu per Kg misalnya, kami malah bisa rugi Rp 5 ribu per Kg," ucapnya.

Penyebabnya, lanjut Mamad, para pelanggan tetapnya, seperti pedagang pecel ayam enggan membeli ayam lebih dari Rp 25 ribu per Kg.

"Jadi, kami harus menang­gung kerugian bila ada selisih dari harga tersebut," keluhnya.

Sebenarnya saat harga ayam turun di level terendah, Rp 18.500 per Kg, menurut Mamad, justru para pedagang mendapat untung lumayan, Rp 2 ribu per Kg. Bahkan, dirinya mampu menjual hingga 200 Kg daging ayam per hari karena masyarakat berbon­dong-bondong membeli ayam.

"Tapi memang yang dirugikan peternak, soalnya harga produk­sinya saja Rp 16 ribu per Kg," ujar Mamad yang juga peternak ayam ini.

Namun demikian, Mamad mengusulkan agar daging ayam stabil di harga Rp 22 ribu per Kg agar semua pihak, termasuk pembeli seperti pedagang maka­nan untung. Pasar daging ayam pun bergairah. Jika terlalu mahal, pasar menjadi lesu. "Kalau harga segitu, pedagang untung, peter­nak juga untung," ucapnya.

Senada, pedagang ayam di Pasar Ciputat lainnya, Emilia mengatakan, harga daging ayam mulai beranjak naik sejak dua hari lalu. "Sekarang harganya sudah naik jadi Rp 20.500 per kg," ujar Emilia.

Dengan harga segitu, Emilia mengaku bisa menjual 50 Kg daging ayam setiap harinya. "Tapi kalau harganya melonjak hingga Rp 25 ribu per Kg, paling laku hanya 20 Kg setiap harinya," keluhnya.

Emilia berharap, harga ayam tidak terlalu mahal agar dagangannya laris . "Kalau murah, mereka yang ingin daging sapi atau kambing, bisa ganti dengan daging ayam," ucapnya.

Namun di Jakarta harganya sedikit lebih mahal. Seperti di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, harga ayam broiler dijual Rp 22.500 per Kg. Harga tersebut lebih tinggi dibanding harga seminggu sebelumnya, Rp 18.500 per Kg.

"Naiknya sudah dua hari ini," ujar Sri, salah satu pedagangayam di Pasar Kebayoran Lama.

Di salah satu pasar tradisional besar di Jakarta Selatan ini, penjual daging ayam broiler cukup banyak. Hampir di setiap sudut pasar terdapat pedagang yang menjajakan daging ayam. Pembeli bisa dengan mudah memilih ayam dengan berba­gai ukuran, baik sedang, kecil hinggabesar. "Yang paling ban­yak dicari yang kecil, karena rasanya lebih gurih," ucap Sri.

Sri mengaku senang hargaayam sudah mulai stabil. Pasalnya, saat Lebaran melambung tinggi hingga Rp 30 ribu per Kg. "Kalau harga terlalu mahal, jarang yang beli dan pedagang bisa rugi banyak," ucapnya.

Dia ingin harga daging ayam tetap stabil di harga Rp 22 ribu -24 ribu agar pedagang, peternak dan pembeli sama-sama untung. "Kalau kurang atau lebih dari itu, pasti ada salah satu yang dirugikan," imbuhnya.

Tidak hanya di Jabodetabek, di sejumlah daerah, harga ayam broiler juga mulai merangkak naik. Kenaikannya tidak ter­lalu tinggi, hanya Rp 1 ribu per Kg. Seperti, di Pasar Sidodadi Kleco, Solo, harga daging ayam dari Rp 27 ribu per Kg kini di­jual Rp 28 ribu per Kg.

Lasmini, salah satu pedagang di Pasar Sidodadi mengatakan, kenaikan harga daging ayam sudah mulai terjadi, Senin (1/10) yang rata-rata naik Rp 1.000 per Kg, sehingga kini menjadi Rp 28 ribu per Kg. "Kondisi permintaan normal dan stok barang di pasar masih memenuhi kebutuhan," ujar Lasmini.

Menurut Lasmini, kenaikan harga daging ayam terjadi dari tingkat distributor, sedangkan pedagang di pasar hanya menye­suaikan saja.

"Tapi kenaikan harga daging ayam tidak diikuti sapi dan kambing," kata dia.

Dolar AS Naik Biaya Produksi Naik

Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan, penurunan harga ayam broiler yang terjadi selama bulan September diakibatkan karena menurunnya permintaan pasar sebagai akibat daya beli yang rendah.

Padahal, kata dia, produksi ayam cenderung membaik dibanding bulan sebelumnya. "Sekarang stok berlebihan. Tapi permintaan turun hingga 20 persen dibanding biasan­ya," ujar Singgih.

Menurut Singgih, saat ini produksi ayam broiler sebe­nyak 57 juta hingga 60 juta ekor setiap minggu. Bobot ayam, menurutnya, juga mengalami peningkatan dibandingsebelumnya.

"Sebelumnya hanya sekitar 1,2 Kg-1,5 Kg per ekor, seka­rang sudah normal 1,7 Kg per ekor," sebutnya.

Penurunan harga ayam, kata Singgih, juga berimbas pada peternak yang terus merugi selama sebulan tera­khir. Pasalnya, harga jual tak mampumenutupi biaya produksi. "Saat ini biaya produksi ayam sekitar Rp 19 ribu per Kg," ucapnya.

Biaya ini, lanjut Singgih, terus meningkat karena ada kenaikan harga pakan ter­nak sejak Januari lalu, hal itu ditambah dengan adanya kenaikan harga obat-obatan yang diimpor.

"Harga dolar meningkat, sehingga harga pakan naik. Penguatan dolar ini juga ber­dampak pada harga obat-oba­tan untuk ternak," keluhnya.

Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Peternak Unggas Nusantara (PPUN) Sigit Prabowo mendukung langkah Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang menaikkan harga jual daging ayam.

"Soalnya yang akan diben­tuk harga farm gate (di tingkat peternak), yang menyesuaikan biaya produksi, karena harga-harga sarana produksi ternak semua naik," jelas Sigit.

Seperti diketahui, selama ini, batas harga acuan telurdan daging ayam yang berlaku adalah Permendag Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Berdasarkan regulasi itu, harga batas bawah ayam di tingkat peternak Rp 17 ribu per Kg dan batas atas Rp 19 ribu per Kg. Sedangkan, harga di ting­kat konsumen paling mahal dipatok Rp 32 ribu per Kg.

Singgih mengatakan, nai­knya harga sarana produksi ternak (sapronak) ini sudah sekitar 6 bulan ini. "Doc (bibit) broiler yang normalnya Rp 5.500 per ekor, belakangan ini stabil di harga Rp 6.500 -Rp 6.800 per ekor. Jagung dari harga normalnya sekitar Rp 3.700 -Rp 4 ribu per Kg, saat ini sudah menyentuh harga Rp 5 ribu -Rp 5.100 per Kg," jelasnya.

Meski demikian, Sigit me­nilai, kebijakan Kemendag tidak akan memberikan dampak signifikan karena produksi daging ayam saat ini sedang melimpah di tengah biaya produksi yang tinggi.

Yang perlu dipahami, jelas­nya, bisnis perunggasan ini bukan dihasilkan oleh mesin produksi, tapi ini bisnis biolo­gis atau barang hidup. "Kalau semua peternak 90 persen masih jual dalam bentuk ayam hidup, selamanya akan berge­jolak," pungkasnya.
Latar Belakang
September, Daging Ayam Jatuh ke Titik Terendah Setelah Lebaran

 Harga ayam broiler jatuh ke titik terendah selama September, sebesar Rp 18,500 per Kg. Harga tersebut turun drastis dibanding­kan Juni 2018 atau saat momen Lebaran yang menyentuh Rp 30 ribu per Kg.

Agar harga daging ayam broil­er kembali stabil, Kementerian Perdagangan (Kemendag) me­netapkan aturan baru soal batas bawah dan atas harga telur dan ayam di tingkat peternak. Kebijakan ini mulai efektif berlaku pada Senin, 1 Oktober 2018.

Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita men­gatakan, kebijakan ini dilakukan untuk menolong peternak ayam yang mengalami kerugian secara terus-menerus selama beberapa bulan terakhir.

"Ini terjadi karena biaya produksi dan pakan ternak yang naik, sedangkan harga jualnya ke pedagang anjlok," ujar Enggar.

Enggar mengatakan, bila masalah ini tidak diatasi dengan menaikkan batasan harga, maka akan berimbas pada keberlang­sungan usaha peternak dan ketersediaan barang ke depan.

Menurut Enggar, keputusan ini diambil usai dirinya bertemu dengan sejumlah pihak, mulai peternak, pengusaha telur dan ayam, pengusaha ritel, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Satuan Tugas (Satgas) Pangan.

"Dengan berbagai masukan, kami menetapkan harga batas bawah Rp 18 ribu per kilogram dan batas atasnya Rp 20 ribu per kilogram di tingkat peternak," jelas Enggar.

Sebelumnya, batas harga acuantelur dan daging ayam yang ber­laku adalah Permendag Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen. Berdasarkan regulasi itu, harga batas bawah telur dan ayam di tingkat peternak Rp 17 ribu per Kg dan batas atas telur Rp 19 ribu per Kg.

Direktur Perbibitan dan Produksi Ternak Kementerian Pertanian Sugiono menambah­kan, penurunan harga ayam broiler karena turunnya permint­aan. Sebab, selama September tidak ada kegiatan yang berlang­sung di masyarakat.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Sugiono menghimbau pembibit ayam agar mengatur jadwal setting (pengeraman) dan mengatur pasokan penyerapan ayam di cold storage sebagai penyangga stok jika dibutuhkan sewaktu-waktu.

Terpisah, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia menurun atau deflasi sebesar 0,18 persen selama September 2018. Deflasi terutama didorong oleh turunnya sejumlah harga pangan, seperti daging ayam, bawang merah, dan cabai rawit.

Penurunan harga barang-barang tersebut lebih tinggi dibandingkan Agustus 2018 sebesar 0,05 persen dan diband­ingkan September 2017 yang mengalami inflasi 0,13 persen.

Kepala BPS Suhariyanto men­gatakan, kelompok bahan maka­nan menjadi penyumbang utama deflasi selama bulan September dengan andil sebesar minus 0,35 persen dan mengalami deflasi hingga minus 1,62 persen.

Hal ini, kata dia, karena terjadi penurunan di berbagai aneka bahan makanan. "Harga daging ayam turun 0,13 persen, bawang merah minus 0,05 persen, ikan segar minus 0,04 persen, sayuran dan telur ayam masing-masing 0,03 persen, cabai rawit minus 0,02 persen," ujar Suhariyanto.

Selanjutnya, kata Suhariyanto, deflasi juga disumbang dari sek­tor transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar mi­nus 0,01 persen dengan deflasi sebesar minus 0,05 persen. "Ini terjadi karena tarif angkutan udara masih terus menunjukkan penurunan," sebutnya.

Sebaliknya, lanjut Suhariyanto, sektor pendidikan, re­kreasi dan olahraga mengalami kenaikan harga atau inflasi sebe­sar 0,54 persen dengan andil 0,04 persen.

"Hal ini karena ada peningkatanuang kuliah untuk akademi dan perguruan tinggi," terangnya.

Berdasarkan wilayah, dari 82 kota IHK, inflasi terjadi di 16 kota, dengan inflasi tertinggi di Bengkulu sebesar 0,59 dan inflasi terendah di Bungo sebe­sar 0,01 persen. Sedangkan 66 kota lainnya mengalami de­flasi. Tercatat, deflasi tertinggi di Parepare minus 1,59 persen, dan deflasi terendah di Tegal, Singkawang, Samarinda dan Ternate sebesar minus 0,01 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA