Kemarin siang, suasana kanÂtor penghubung yang beralamat di Jalan Kebon Kacang Raya, Nomor 32, Jakarta Pusat raÂmai. Puluhan orang hilir mudik memasuki rumah dua lantai itu. Mereka serius berbincang-bincang satu dengan yang lain. Wajah gelisah dan cemas tampak sekali di raut wajah para tamu yang rata-rata mahasiswa itu.
Sesekali mereka menanyakan kabar keluarga kepada petugas yang berjaga di meja recepsionis itu. "Sudah ada 100-an orang yang ingin diberangkatkan ke Palu untuk melihat keluargÂanya setelah musibah gempa dan tsunami," ujar Dwi Fara, Koordinator relawan di Kantor Perwakilan Pemprov Sulteng, di Jakarta, kemarin.
Kantor Penghubung Pemprov Sulteng berada persis di depan pusat perbelanjaan Thamrim City. Letaknya berhimpitan denÂgan rumah-rumah penduduk di sepanjang Jalan Kebon Kacang, Jakarta Pusat. Tepat di depan rumah terdapat plang kecil warÂna merah bertuliskan, "Badan Penghubung Provinsi Sulawesi Tengah."
Di depan kantor nyaris tidak menyisakan ruang sedikit pun untuk parkir. Lahan yang tidak terlalu luas itu penuh dengan beberapa kendaraan roda emÂpat dan dua. Kendaraan juga menyatu dengan teras rumah. Beberapa kursi yang tersedia di teras juga dipenuhi beberapa orang yang saling bercerita tenÂtang kondisi keluarga mereka setelah musibah gempa dan tsuÂnami. "Rata-rata mereka belum bisa berkomunikasi dengan keÂluarganya," ucap Fara kembali.
Masuk lebih dalam, langsung dihadapkan dengan tumpukan belasan karung berukuran beÂsar. Karung-karung tersebut berisi pakian layak pakai hasil sumbangan dari para donator yang ada di ibukota. "Pakaian belum bisa dikirimkan. Kami baru mendahulukan mengirim 32 dus air mineral dan obat-obatan melalui Bandara Halim Perdanakusuma," terang maÂhasiswi Universitas Persada Indonesia (UPI) YAIini.
Di tengah-tengah ruangan, disediakan sofa yang yang tidak terlalu besar. Kursi-kursi terseÂbut juga telah dipenuhi beberapa orang tua yang terus menanyaÂkan kabar keluarganya yang beÂrada di Palu. Mereka menunggu kabar sembari terus berdoa agar keluarganya diberi keselamatan atas bencana tersebut. "Kami di sini sudah seperti satu keluarga dan saling menguatkan satu denÂgan yang lain," ujar wanita asal Kabupaten Sigi, Sulteng ini.
Fara mengakui, keluarganya juga turut menjadi korban benÂcana gempa bumi dan tsunami. "Nenek saya belum ketemu sampai sekarang. Tapi kedua orangtua, kakak dan adik alhamÂdulilah selamat," ucap dia.
Wanita yang mengenakan baju warna putih ini mengeluhkan keluarganya belum menerima bantuan kebutuhan pokok, obat-obatan dan juga pakaian layak pakai, baik dari pemerintah mauÂpun donator. Pasalnya, seluruh akses jalan menuju daerahnya terputus total akibat gempa. "Kalau mau ke sana harus jalan memutar lewat gunung dulu seÂlama 2 jam. Sebelumnya hanya 45 menit," sebutnya.
Demi meringankan beban para korban bencana, kata Fara, beberapa relawan mahasiswa asal Sulteng di Jakarta beriÂnisiatif menggalang dana dalam moment car free day di Jalan Thamrin dan Sudirman, Jakarta Pusat. "Alhamdulilah sudah terÂkumpul uang Rp 17 juta. Uang akan dibelikan obat-obatan dan makanan pokok," ujarnya.
Namun demikian, dia berÂharap pemerintah bisa segera mengirimkan bantuan pokok dan juga obat-obatan ke seluruh korban gempa dan tsunami di beberapa daerah di Sulteng secara merata. Sebab, selama ini bantuan hanya terpusat di Kota Palu, sedangkan daerah lain belum tersentuh. "Yang penting bantuan harus merata ke seluruh daerah dan jangan terpusat di kota-kota besar saja," harap dia.
Terpisah, Gubernur Sulawesi Tengah Longki Djanggola menÂgatakan, pemerintah telah menÂetapkan masa tanggap darurat bencana gempa bumi dan tsuÂnami di Palu dan Donggala seÂlama 14 hari, sejak 28 September 2018 hingga 11 Oktober 2018. Selama masa tanggap darurat, kata dia, akan dipimpin oleh Danrem Korem 132/Tadulako, Sulteng. "Posko tanggap daruÂrat penanganan bencana gempa bumi dan tsunami berada di Makorem 132/Tadulako Kota Palu," ujar Longki dalam ketÂeranganya, kemarin.
Longki menyebut, jumlah korban gempa dan tsunami di Sulteng mencapai 48 ribu jiwa. Banyaknya jumlah pengungsi tersebut, kata dia, menjadi kendÂala tersendiri untuk menyalurkan bantuan karena pengungsi terseÂbar di banyak tempat. "Jangan dibilang Pemda enggak ada, enggak disentuh, semua yang terkumpul jadi satu pasti kami datangi, tapi kalau kecil-kecil enggak," ucapnya.
Longki mengakui, pemerintah daerah belum bisa menjangÂkau seluruh pengungsi korban gempa dan tsunami di Sulteng. Bahkan, ia mengaku belum bisa menjalin komunikasi dengan Bupati Donggala. "Kami masih belum bisa berkomunikasi denÂgan para bupati. Cuma kota Palu sama Bupati Sigi yang bisa dihubungi," ucapnya.
Saat ini, kata Longki, Pemda telah menyiapkan dapur umÂum di beberapa lokasi, yakni Watulembo, rumah dinas guberÂnur, dan sejumlah tempat lain. "Kami minta pemkot di beberapa daerah di Sulteng secara berjenÂjang mulai dari walikota dan bupati bisa berpatisipasi dalam menangani bencana gempa serta tsunami di Palu," harap dia.
Selain itu, Longki mengaku keÂsulitan dalam melakukan evakuasi warga di daerah terdampak gempa dan tsunami di Palu karena terkÂendala minimnya alat berat. Hal itu terjadi, kata dia, karena peÂnyediaan alat berat sulit dipenuhi mengingat matinya jaringan koÂmunikasi di Sulteng. "Bahan bakar untuk alat berat juga sulit didapatkan," keluhnya.
Longki menambahkan, salah satu alat berat yang sulit didatangÂkan adalah eskavator. Padahal kata dia, evakuasi korban dengan alat berat seharusnya dapat dipenuhi oleh lembaga teknis.
Kendati demikian, sambung Longki, Pemda sudah mendaÂtangkan enam unit eskavator untuk membantu evakuasi bagi para korban. Eskavator ini akan digunakan untuk mengevakuaÂsi korban gempa di kawasan Perumnas Balaroa yang menÂjadi salah satu korban terparah gempa bumi. ***