Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Selasa (18/9), Setya Novanto kembali menyebut sembilan nama anggota dan bekas anggota DPR yang diduga menerima uang suap e-KTP. Mereka adalah, bekas Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap 500 ribu dolar AS, bekas anggota DPR M Jafar Hafsah 100 ribu dolar AS, dan Ade Komarudin 700 ribu dolar AS.
Kemudian, bekas anggota DPR Agun Gunandjar Sudarsa 1 juta dolar AS. Lalu, Melchias Markus Mekeng dan Markus Nari masing-masing 500 ribu dolar AS. "Mekeng dan Markus Nari diberi di ruangan saya, di Ruang Ketua Fraksi Golkar," sebut Novanto saat bersaksi.
Selain itu, Olly Dondokambey 500 ribu dolar AS, Mirwan Amir 500 ribu dolar AS dan Tamsil Linrung. "Uang tersebut diberiÂkan oleh Irvanto atas perintah dari pengusaha Andi Narogong," kata Novanto.
Sebelumnya, pada persidanÂgan di Pengadilan Tipikor, Maret 2018, Setya Novanto juga meÂnyebut Mekeng menerima aliran dana e-KTP 500 ribu dolar AS.
Bukan itu saja, nama Mekeng juga pernah masuk dalam dakÂwaan Jaksa KPK untuk beÂkas Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan bekas Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto. Dalam dakwaan tersebut, Mekeng disebut menerima duit 1,4 juta dolar AS dari Direktur PT Cahaya Wijaya Kusuma Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Setelah disebut-sebut dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Mekeng tidak tampak beraktivitas di ruang kerjanya yang berada di Lantai 13, Ruang 1325 B, Gedung Nusantara IDPR, Kompleks DPR/MPR Senayan, Jakarta, Rabu (19/9). Kendati tidak ada sang pemilik, ruangan tersebut masih saja raÂmai. Belasan orang hilir mudik memasuki ruang kerja Ketua Fraksi Golkar ini.
Karena ruangan tidak muat, beberapa kader Golkar memilih berdiskusi santai di depan ruÂang kerja tersebut. Sebuah sofa berukuran besar turut disediakan di tempat itu. "Pak Mekeng, Rabu ini tak masuk. Lagi meÂmenuhi panggilan sebagai saksi di KPK," ujar salah seorang staf Mekeng yang enggan disebutkan namanya.
Seperti diketahui, Rabu (19/9), Mekeng diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Idrus Marham dalam kasus suap pembangunan proyek PLTU-Riau 1 senilai 900 juta dolar AS.
Ruang kerja Mekeng lokasÂinya terpisah dengan ruang kerja anggota fraksi Golkar lainnya. Letaknya persis di depan pintu darurat. Di setiap lantai dijaga dua sampai tiga petugas pengaÂmanan dalam (Pamdal). Bila mendapat izin, baru dipersilakan masuk menuju ruangan angÂgota Dewan yang ada di lantai tersebut. "Pak Mekeng sudah lama menempati ruangan ini," ujar staf tersebut kembali.
Ruang kerja Mekeng terÂgolong paling luas dibanding ruangan yang ada di kanan dan kirinya. Luasnya dua kali lipat dibanding anggota DPR lainnya. Maklum saja, asalnya dua ruang, kemudian digabung menjadi satu ruangan.
"Dulu (ruang kerja) milik Airlangga Hartarto (Ketum DPP Partai Golkar). Karena jadi menÂteri, terus digabung menjadi satu karena kosong," ujar staf tersebut.
Pintu masuk telah diganti dengan bahan kayu warna geÂlap. Di tengah-tengah pintu ditempel papan kecil bertulisÂkan, Melchias Markus Mekeng, lengkap dengan nomor ruangan di atasnya.Tepat di belakang pintu masuk, terdapat ruang staf pribadi. Isinya lengkap, mulai dari meja, kursi hingga rak buku. Ruangan yang tidak terlalu luas itu penuh sesak dengan puluhan berkas yang tertumpuk di meja.
Masuk lebih dalam, terdapat meja bundar dari kaca, lengkap dengan kursi. Sofa besar juga tersedia di ruangan yang diguÂnakan untuk menerima tamu ini. Tak ketinggalan, sebuah televisi berukuran besar juga ditempatÂkan di ruang tersebut.
"Kami selalu ramai tamu, baik kader Golkar maupun staf Dewan," ujar staf ini.
Staf tersebut mengatakan, Mekeng seringkali bingung karena namanya terus disebut daÂlam kasus suap e-KTP. Padahal saat berjalannya proyek e-KTP, bosnya bukan sebagai anggota Komisi II DPR.
"Bapak waktu itu di Komisi XI DPR. Jadi nggakada kaitan sama sekali," ujar pria berumur 40 tahun ini.
Selama menjadi anggota Banggar, kata pria tersebut, Mekeng juga tidak pernah sekaÂlipun membahas proyek tersebut. "Bahkan, risalah rapat Banggar soal e-KTP juga tidak pernah ada," tandasnya.
Lebih lanjut, kata dia, ruang pimpinan Banggar DPR juga pernah digeledah KPK untuk mencari bukti dalam kasus e-KTP. Saat itu, KPK telah meÂnyita puluhan berkas di banggar, CPU komputer hingga dokumen penting lainnya.
"Hasilnya, Pak Mekeng sama sekali tidak terbukti membahas proyek tersebut," belanya.
Silakan Buktikan Di Depan Hukum Bagaimana tanggapan Mekeng? Dia mengaku curiga dengan langkah Setya Novanto yang berkali-kali menyebut dirinya menerima uang dalam kasus e-KTP.
Menurutnya, tudingan terseÂbut tidak masuk akal, dan telah melakukan kebohongan publik. "Apalagi Novanto sudah terÂbukti menerima uang senilai 7,3 juta dolar AS sesuai putusan pengadilan,kok malah melemÂpar ke orang lain," kata Mekeng di Gedung DPR, Jakarta, keÂmarin.
Bilapun keukeuh menuduhÂnya menerima uang, Mekeng bertanya di mana uang tersebut diserahkan, siapa yang menyÂerahkan dan dalam bentuk apa. "Ini harus dibuktikan di depan hukum," tandasnya.
Bila asal nuduh orang, Mekeng khawatir Novanto bisa gila sendiri karena menyebut-nyebut orang tanpa ada bukti. "Kalau seribu kali menuduh orang menerima sesuatu tanpa bukti yang ada, sama saja dengan pepesan kosong," ucapnya.
Kendati demikian, Ketua DPP Golkar ini menghormati langkah KPK yang memanggil beberapa kader Golkar sebagai saksi dalam kasus korupsi. Pasalnya, kata dia, KPK bila akan meÂmanggil orang yang akan menÂjadi saksi dalam kasus korupsi, tentu berdasarkan bukti-bukti yang ada dan berlaku bagi siaÂpapun, termasuk DPR maupun masyarakat umum.
"Jadi, biarkan saja karena sudah sesuai dengan mekanisme hukum yang ada," ujarnya.
Untuk mengantisipasi praktik korupsi, Mekeng mengatakan akan mengembalikan dana opÂtimalisasi daerah kepada peÂmerintah. "Kami juga telah mengintruksikan seluruh kader partai, baik pusat maupun darah untuk betul-betul mengawal dana tersebut secara transparan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan," pungkasnya. ***