Aktivitas perdagangan di Pasar Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat, berangsur sepi saat Asnawi, pedagang daging sapi di pasar itu masih menggelar lapak dagangannya. Belum ada tanda-tanda dia segera menutup lapaknya. Padahal, lapak-lapak penjual daging di sekitarnya sudah tutup.
Kemarin, menjelang sore, memang tak banyak lagi sisa daging yang ada di lapak Asnawi. Dilihat kasat mata, bahkan jumlahnya mungkin tak sampai 15 kilogram (Kg).
"Biasanya sampai habis," ucap Asnawi, di lapaknya yang bernama Kacung Jaya.
Daging-daging yang tersisa sudah terpotong menjadi beÂberapa bagian. Saat itu, masih ada sekitar lima potong daging di lapak Asnawi. Ada dua potong yang berukuran lumayan besar, sekitar lima Kg. Sedangkan yang lainnya berukuran masing-masing satu Kg.
Potongan-potongan daging itu terdiri dari beberapa bagian tubuh sapi. Ada daging yang berasal dari perut, hingga daging yang berasal dari kaki. Dua dagÂing berukuran besar digantung di pengait besi. Sedangkan poÂtongan kecil diletakkan di papan tempat pemotongan.
Seperti umumnya pedagang di los daging di Pasar Pondok Gede, Bekasi, lapak dagang Asnawi terbilang cukup nyaÂman. Mejanya dilapisi keramik putih yang mudah dibersihkan. Di atas meja itu, Asnawi daÂpat meletakkan segala alat yang diperlukan untuk berdagang daging, mulai dari golok hingga timbangan.
Sambil berharap pelanggan datang ke lapaknya, Asnawi mengungkapkan berkurangnya pembeli. Meski tidak terlalu besar, Asnawi merasa, amukan dolar AS beberapa waktu beÂlakangan, turut mempengaruhi penjualannya.
"Mungkin sedikit lebih sepi ya. Sebelum dolar AS setinggi sekarang ini, memang sudah agak sepi. Kalau normal gitu, biasanya kita bisa jual sampai 150 Kg. Kalau sekarang ini tak sampai segitu," ucap Asnawi.
Saat ini, Asnawi membanderol daging dagangannya Rp 110 ribu per Kg. Harga itu, menuÂrut Asnawi, sama saja dengan sebelum dolar AS menunjukÂkan keperkasaannya terhadap rupiah. Tak ada kenaikan atau penurunan harga.
"Saya jual masih segitu dari beberapa bulan ini. Nggak ada yang berubah. Tapi ya itu, cuma memang pelanggan aja yang agak berkurang," tambah Asnawi.
Meski tak berpengaruh besar, Asnawi tetap berharap rupiah tidak keok lagi terhadap dolar AS. Karena, menurutnya, bisa saja nantinya akan berimbas pada usaha yang dijalaninya. "Mudah-mudahan dolar turun, rupiah kita menguat. Siapa tahu nanti pelanggan jadi ramai lagi," harapnya.
Masih di Pasar Pondok Gede, suasana berbeda tampak di lapak-lapak dagangan selain daging. Toko-toko seperti beras, grosir minyak goreng maupun garam, hingga penjual telor masih terlihat sibuk. Bahkan, pembeli silih berganti masuk ke toko-toko tersebut.
Seperti yang terlihat di Toko Beras Makmur Jaya. Saat diÂdatangi, Makmur, sang pemilik toko sedang melayani salah seorang pembeli yang datang. Pembeli tersebut membeli beras jenis pera. Jenis beras yang sepeÂkan terakhir sedang mengalami kenaikan harga.
"Beras pera naiknya Rp 10 ribu per karung. Baru seminggu ini. Kalau yang lain belum ada perubahan. Masih sama saja. Nggak tahu besok, soalnya baru belanja lagi," ucap Makmur, kemarin
Sementara dari sisi pembeli, Makmur mengatakan, tidak ada perbedaan berarti. Pembeli yang datang ke tokonya tetap seperti biasa. Kata dia, jumlah beras yang dijualnya tetap lebih dari satu kuintal per hari.
"Kita kan jualnya mengecer juga, biasa jual lebih dari satu kuintal. Sampai sekarang juÂga masih di atas satu kuintal. Nggak ada beda," kata pria asal Sumatera Barat itu.
Harga Telur Ayam Malah Turun Komoditas telur ayam negeri, minyak goreng hingga garam batu mengalami hal yang sama. Andre, pemilik toko Anak Telor di Pasar Pondok Gede menyebut, harga telur ayam negeri justru menunjukkan tren penurunan. Begitu juga dengan jenis telur lainnya.
"Malah turun harganya beberapa pekan ini. Misalnya telur ayam negeri, beberapa hari turun terus dari Rp 24 ribu per Kg dan hari ini saya jual Rp 22 ribu per Kg. Yang lain juga sama, turun juga," ucapnya.
Di tokonya, Andre menawarÂkan beberapa jenis telur. Mulai dari telur ayam negeri, telur beÂbek, telur ayam kampung hingga telur puyuh. Dari pengamatan, stok telur di toko tersebut cukup banyak. Bahkan saat disamÂbangi, Andre sedang melakukan bongkar muat pasokan telur di tokonya.
"Stok di sini memang selalu banyak. Karena permintaan juga banyak. Jadi, sejauh ini memang nggak ada pengaruh dolar AS tinggi. Dari agen juga saya dapat telur masih murah," bebernya.
Sementara di Toko Grosir Sari, harga minyak goreng dan garam cenderung stabil. Minyak goreng curah dibanderol Rp 12 ribu per Kg. Sesangkan garam batu dijual Rp 12 ribu per plastik.Satu plastik berisi 12 garam batu berukuran sekitar 3x3x3 centimeter (Cm).
"Kalau dibilang harga naik karena dolar, nggak juga. Tapi memang, sekarang ini sama seperti toko-toko lain, agak sepi. Menurut saya, nggak ngaruh dari dolar juga. Saya sendiri ngerasa dari sebelum Lebaran, toko sudah mulai sepi," ucap Sari, pemilik toko.
Dia berharap, ada kebijakan dari pihak berwenang agar pemÂbeli kembali ramai. "Mudah-mudahan ada tindakan dari atas (pemerintah) supaya bikin pasar ramai lagi," tuturnya.
Latar Belakang
Usaha Tahu Sampai Elektronik Kena Imbas Dolar Ngamuk
Sembako Stabil
Harga daging dan sejumlah bumbu dapur lainnya cenderung stabil di tengah keperkasaan dolar AS. Tapi, efek negatif pelemahan rupiah tetap terjadi. Salah satunya pada produk yang memakai bahan baku impor.
Salah satunya yakni tahu dan tempe. Pengrajin tahu dan tempe harus memutar otak agar usahanÂya dapat terus bertahan.Dindin, pengrajin tahu di Ciracas, Jakarta Timur, berkeluh kesah terhadap situasi yang dialami pengrajin tahu sepertinya saat ini. Dia bilang, kondisi saat ini cukup memprihatinkan.
"Pedagang kecil ini kalau mau jujur kayaknya sudah ngap-ngapan (lelah). Jadi istilahnya sekarang ini kita bisa makan, besok kita nggak tahu, bisa apa nggak," cetus Dindin, saat ngoÂbrol-ngobrol belum lama ini.
Saat ini, kata dia, tidak ada kepastian mengenai kegiatan produksi usahanya. Dia menconÂtohkan harga bahan baku yang bisa naik dalam waktu singkat. Sementara di sisi lain, tak mungÂkin bagi produsen menaikkan harga jual secara mendadak.
"Contoh, misalkan bahan baku hari ini Rp 7 ribu, besok sudah naik. Padahal kita naikkan harga produk itu susah, bahkan bisa dibilang nggak mungkin. Nggak etis-lah kalau bahasa saya. Sebenarnya ngeliat kondisi begini juga sudah capek," keluhnya.
Pemerintah, menurut Dindin, tidak punya patokan terkait harga kedelai. Padahal, dia bilang, seharusnya pemerintah mengatur hal tersebut. Hal itu agar pengrajin sepertinya punya kepastian untuk produksi dan pemasaran hasil produksinya.
"Kan seharusnya ada. Mau dibikin harganya Rp 10 ribu kek, nggak masalah. Yang penting produsen punya patokan. Lah ini kok sampai sekarang malah nggak ada," protesnya.
Dia tak sependapat jika harga kedelai mengikuti tren naik tuÂrunnya nilai dolar ASterhadap rupiah. Seharusnya, pemerintah lebih tahu cara mengatasi "amuÂkan" dolar AS agar tak berimbas negatif pada dunia usaha kecil seperti yang dijalaninya.
"Kalau terpaku harga dolar, apa kita ini orang Amerika atau orang Indonesia. Kenapa kita terpaku kalau dolar naik. Itu kan urusan pemerintah yang lebih tahu dan bisa mengatasinya," ujarnya.
Jika itu sampai terjadi, yang jadi korban adalah pedagang-pedagang kecil. Dindin bilang, penghasilan pedagang kecil bahkan kadang tak cukup untuk makan sehari tiga kali. "Kasihan sama pekerja-pekerja pabrik tahu yang penghasilannya pas-pasan. Penghasilannnya cuma 10-20 ribu per hari," ujarnya.
Saat ini, untuk menyiasati tingginya harga kedelai, Dindin mengurangi ukuran tahu hasil produksinya. Jika biasanya dia memproduksi tahu dengan ukuran diameter 10 Cm, kini tahu yang diproduksinya hanya berdiameter 8 Cm.
Efek negatif serupa dirasaÂkan pedagang elektronik. Joni, pedagang elektronik di Glodok City, Jakarta Barat, mengatakan depresiasi rupiah yang saat ini terjadi membuat harga barang-barang elektronik termasuk kamera naik hingga 10 persen. Imbasnya penjualan produk tersebut menjadi lesu.
"Sekarang lagi lesu. Awalnya memang gara-gara ada jualan online. Tapi dengan depresiasi rupiah, jadi makin parah. Nggak tahu nanti ke depan bagaimana," ujar Joni.
Dia menuturkan, lantaran penjualan yang lesu, omzetnya kini turun hingga 50 persen. Namun dirinya mengaku hanya bisa pasrah dengan kondisi saat ini. Padahal, katanya lagi, pedaÂgang sudah berat dengan nilai rupiah Rp 14 ribu, apalagi jika menyentuh Rp 15 ribu.
Pedagang buah impor pun terpaksa menaikkan harga akiÂbat pelemahan rupiah. Ahmad, pedagang buah di Jakarta Timur mengatakan, harga buah impor mulai naik. Untuk buah impor kenaikannya berkisar Rp 10 ribu sampai Rp 20 ribu.
Ahmad menuturkan, terpakÂsa menaikkan harga buah ke pembeli agar tidak mengalami kerugian setelah mengeluarkan modal yang lebih besar dari biasanya. "Kalau buah naik, yakita naikkan harganya ke pembeli. Misalnya dari Rp 10 ribu menjadi Rp 13 ribu," jelas Ahmad, belum lama ini. ***