Sebuah lapangan di Jalan Raya Sambelia, dijadikan salah satu lokasi pos pengungsian. Di lapangan tersebut, puluhan tenda yang merupakan bantuan dari berbagai lembaga didiÂrikan. Selain sebagai tempat untuk tinggal sementara, tenda juga dipakai untuk dapur dan tempat ibadah.
Sayangnya, satu hal penting yang seharusnya ada justru tidak tampak. Fasilitas itu adalah toilet umum. Dari pengamatan
Rakyat Merdeka, Senin (27/8), fasilitas yang seharusnya jadi prioritas itu tak kelihatan sama sekali. Warga mesti kembali ke rumah yang kebanyakan sudah ambruk untuk buang air. Bahkan, ada yang buang air bukan di tempat seharusnya.
"Di sini nggak ada toilet umumÂnya. Kalau yang mau buang air, ya harus balik lagi ke rumah yang kebanyakan sudah rusak. Atau numpang rumah tetangga. Ada juga yang buang air sembaranÂgan," ujar Rosyid, salah seorang warga Desa Bagik Manis.
Rosyid merupakan salah satu warga yang terdampak gempa. Namun, rumahnya memang tidak rusak berat sepertikebanÂyakan rumah lainnya. Rumahnya masih berdiri tegak meski banyak retakan-retakan akibat berkali-kali gempa yang meÂlanda Lombok.
Meski demikian, dia mengaku masih belum mau tinggal di dalam rumah. Dia memilih memasang tenda di halaman rumahnya. Sesekali, dia pergi ke pos pengungsian yang berjarak 50 meter dari rumahnya untuk melihat sanak saudara, mauÂpun tetangganya yang terpaksa mengungsi.
Nursiwan, salah seorang pengungsi di pos pengungsi Desa Bagik Manis berharap, ada bantuan untuk toilet umum. Dia menuturkan, akan sangat merepotkan bagi warga yang ingin buang air jika tak ada toilet. Di sisi lain, wilayah tempatnya mengungsi pun terbilang kering.
"Kondisi begini, berharap sama kebaikan tetangga yang toiletnya masih bisa dipakai. Kalau nggak ada, buang air di tempat yang nggak seharusnya. Semoga ada yang mau memÂbantu," ujar Nursiwan, warga Desa Dara Kunci, Sambelia.
Keluhan kurangnya fasiliÂtas utama juga terdengar dari pengungsi di Desa Kekait, Kecamatan Gunung Sari, Lombok Barat. Abdul Waside, salah satu pengungsi di pos Desa Kekait mengatakan, kebutuhan air berÂsih terbilang belum mencukupi kebutuhan warga.
"Secara umum, Alhamdulillah bantuan cukup. Tapi kalau kekurangan pasti ada. Di sini kita kekurangan tenda. Saat ini, sebenarnya dicukup-cukupi. Di tenda ini saja ada 37 orang, terÂmasuk saya, dari 11 KK. Selain itu, kami kekurangan air bersih," kata Waside, saat ditemui.
Dia bilang, untuk menyiasati kekurangan air bersih tersebut, warga kerap mengambil dari sumur di rumah, maupun dari sungai yang berada di hutan. "Itu juga sebenarnya tetap kurang. Mungkin karena banyaknya pengungsi di sini. Ada 1400 dari 41 tenda," jelasnya.
Sebenarnya, sambung Waside, bantuan untuk penampungan air di pos pengungsian sudah diseÂdiakan. Namun, dia bilang, banÂtuan tersebut kerap tidak lancar. Karena, tidak tiap hari bantuan datang ke pos pengungsian yang ditempatinya.
"Penampungan air ada, tapi kadang-kadang nggak lancar. Mereka nggak tiap hari datang.Itu karena mereka kan haruskelilimg ke pos-pos lain. Makanya, kadang kami ngambil juga ke hutan. Kalau untuk minum cukup. Kalau untuk mandi harus antre cukup lama," bebernya.
Dia berharap, bantuan untuk air bersih dapat mengalir lancar setiap hari. Selain itu juga dia berharap mendapat bantuan tenÂda dari lembaga-lembaga donor. "Karena kita rencana mau balik ke rumah masing-masing. Kita mau pasang tenda di reruntuhan rumah," ujarnya.
Di pos pengungsian yang ditempati Waside, total terdapat 41 tenda. Ukurannya bervariasi. Tenda-tenda tersebut didirikan di sebuah lapangan yang beÂrada di sebelah kiri Jalan Raya Mataram-Tanjung, Lombok Barat. Masing-masing tenda dibagi kegunaannya, mulai dari tempat tidur, dapur, hingga temÂpat ibadah.
Sisa Material Dipakai Untuk Bangun Rumah Husein warga Dusun Kerujuk, Desa Persiapan Manggala, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, mengungkapkan keinginannya membangun tempat hunian sementara pasca gempa. Kata dia, tempat tersebut bisa saja di lokasi bekas hunian yang sebelumnya terkena gempa.
"Sekarang saya usaha ajalah nyari material dari sisa-sisa yang bisa dipakai untuk persiapan tempat hunian sementara. Mungkin kalau puing-puing ini bersih, baru bisa kita bangun. Harapannya, bisa tinggal lagi di tempat yang lama," tutur Husein, saat ditemui.
Dari pengamatan, rumah-rumah di dusun yang ditempati Husein dan warga lainnya mengalami kerusakan yang sangat parah. Bahkan, sebagian besar telah rata dengan tanah dan hanya menyisakan puing-puing. Hampir tak ada lagi material yang bisa diselamatkan.
"Ya kelihatan memang suÂdah hancur semua begini. Tapi kami tetap nyari, mungkin dari seng atau kayu yang kira-kira bisa dipakai lagi ya kami ambil. Bahkan sampai paku yang kalau bisa dipakai pun kami ambil," tuturnya.
Husein mengaku tidak berkeÂinginan tinggal di tenda mengÂingat pengalaman pada saat gempa 2013 lalu. Saat itu, dia dan keluarganya mesti tinggal di tenda pengungsian selama enam bulan. Tinggal di tenda pun membuatnya tidak nyaman.
"Karena kita juga kebiasaan tinggal kelompok dengan tetÂangga-tetangga yang sekarang ini. Kalau di tenda kan belum tentu bisa menampung. Lagi pula kondisi tenda kurang baik kalau kita tinggal terlalu lama," tandas Husein. ***