Namun, mereka menghindari zona merah seperti bandara, terminal, stasiun dan pasar tradisionalagar tidak bentrok dengan ojek pangkalan (opang).
Jasa transportasi ojek berbasis aplikasi, Gojek hadir di Kota Solo sejak Mei 2016. Awal kemunculannya, baru ada tiga layanan yang bisa diakses pengÂguna, yaitu Go-Ride (layanan transportasi roda dua), Go-Send (layanan kurir atau pengiriman barang), dan Go-Shop (layanan belanja).
Kini, setelah lebih dari setahunberoperasi di Solo, jumlah pengemudi Gojek mencapai ribuan orang. Sehingga, cukup mudah bagi masyarakat yang ingin memesan transportasi roda dua ini. Pengguna bisa cepat mendapatkan ojek yang dipeÂsannya itu.
Tapi, di Solo, para pengemudi ojek online jarang bergerombol di tempat-tempat zona merah seperti, pasar tradisional, termiÂnal dan stasiun kereta. Mereka lebih memilih menunggu di tempat-tempat yang rindang, agak menjauh dari tempat keraÂmaian penumpang.
Untuk mencoba,
Rakyat Merdeka memesan melalui layanan aplikasi Go-ride pada pekan lalu. Tujuannya, Pasar Klewer menuju Hotel Alila -tempat pemilihan Presiden MK Asia-di Jalan Slamet Riyadi.
Dengan jarak sepanjang hamÂpir 7 Km itu, biaya yang harus dikeluarkan melalui pembayaran elektronik atau Gopay sebesar Rp 12 ribu. Sedangkan cara tunai Rp 18 ribu.
Namun, tidak semua pengeÂmudi ojek online berani mengambil penumpang tepat di depan Pasar Klewer. Pengemudi meminta pengguna terlebih dahulu bergeser ke arah peremÂpatan Ngarsopuro sejauh 100 meter. "Geser ke arah peremÂpatan Ngarsopuro, Pak. Tidak enak sama tukang becak," ucap pengemudi Gojek berinisial HK melalui sambungan telepon.
Setelah berjalan di tengah terik matahari selama 5 menit,
Rakyat Merdeka bertemu pengemudi ojek itu di pinggir perempatan jalan tersebut. "Seminggu lalu saya ribut sama tukang becak di Pasar Klewer," cerita HK.
Sebetulnya, HK mengaku kasihan dengan penumpang yang harus berjalan cukup jauh bila ingin menggunakan transportasi Gojek dari Pasar Klewer. Namun, hal itu terpaksa dilakukan karena dirinya tidak ingin terus-terusan ribut dengan tukang becak. "Saya hampir dikeroyok lima tukang becak yang mangkal di Pasar Klewer," ucapnya.
Namun, karena Heru menunÂjukkan KTP bahwa ia berasal dari Klewer, akhirnya seluruh tukang becak tidak jadi mengeroyoknya. "Saya minta gantian mereka untuk menunjukkan KTP, tapi malah ngeloyor pergi," ucapnya.
Dia menduga, tukang becak yang mangkal di Pasar Klewer bukan warga Solo asli. "Mereka berlagak yang punya wilayah, padahal bukan orang Solo," tandasnya.
Demi menghindari bentroÂkan dengan tukang ojek, becak maupun taksi konvensional, HK menyarankan agar seluruh pengemudi ojek online rajin bertegur sapa dengan mereka. Sebab, bila sudah saling kenal dan akrab, niscaya mereka tidak akan terus-terusan memusuhi pengemudi ojek online.
"Kuncinya komunikasi antar sesama biar saling menghargai," tandasnya.
HK mengakui, kehadiran ojek online di Solo cukup memÂbantu perekonomian warga kelas menengah-bawah. Sebab, penghasilan setiap bulannya bisa mencapai Rp 4 juta.
"Yang penting kita rajin menÂjaring penumpang setiap hari. Apalagi, bonus-bonus juga sering dapat," tuturnya.
Keberadaan ojek online di Solo juga ditanggapi positif oleh salah satu penggunanya yang berinisial N. Dia mengaku memÂpunyai pengalaman tidak menÂgenakan dengan ojek pangkalan. Pasalnya, dari Stasiun Solo Balapan ke Terminal Tirtonadi sejauh 1,5 kilometer, dikenakan biaya Rp 80 ribu. Dalam perÂjalanannya, pengemudi opang melewati jalur yang berbeda agar terasa lebih jauh. "Padahal kalau pakai ojek online hanya Rp 4 ribu," ujarnya.
Senada, penumpang lainnya berinisial S juga mengaku memÂpunyai pengalaman pahit saat menggunakan opang di Solo. Saat itu, dia harus membayar Rp 100 ribu saat naik opang dari Terminal Tirtonadi ke Bandara Adi Soemarmo sejauh 12 km. Padahal, bila menggunakan ojek online hanya Rp 23 ribu.
"Opang perlu dandan rapi dan tarif harus berdasarkan kilomeÂter, sebesar Rp 2 ribu per km bila mau laku dan bersaing dengan ojek online," sarannya.
Terpisah, Ketua Paguyuban Ojek Pangkalan (Opang) Solo Raya, Suhartomengaku siap mengÂgunakan aplikasi berbasis internet agar pelayanan maksimal.
"Kami siap jika ada pihak-pihak yang menawarkan aplikasi online. Asalkan aplikasi itu tidak bergabung dengan Gojek," ujar Suharto.
Namun hingga saat ini, kata Suharto, belum ada satu pihak pun yang menawarkan penggunaanaplikasi online kepada pihaknya. Suharto menyadari, persaingan dalam dunia usaha tidak bisa dihindari.
"Ojek pangkalan muncul lebih dulu, tapi tidak memiliki apÂlikasi seperti yang digunakan Go-Jek. Itu kelebihan mereka," tandasnya.
Jika terus bertahan dengan sistem ojek konvensional, dia yakin akan kalah dalam perÂsaingan. "Pendapatan bisa turun 50 hingga 70 persen" sebutnya. Suharto pun mengakui, hingga kini belum ada standarisasi tarif dan pelayanan yang diberikan tukang ojek konvensional.
"Tapi, bukan berarti anggota kami tidak terdata. Kami sudah mengantongi kartu identitas angÂgota," tandasnya.
Berdasarkan data Polresta Surakarta, saat ini di Solo terdapat 430 tukang ojek dari 28 pangÂkalan. Suharto menjelaskan, paguyubannya masih melakukan penolakan terhadap beroperasÂinya ojek online, yang sudah mengemuka sejak tahun lalu.
Suharto berharap, Pemkot Solo tidak memberikan izin ojekonline beroperasi. Sebab, menurutnya, keberadaan mereka merugikan ojek-ojek pangkalan.
Latar Belakang
Pemkot Solo Mau Bikin Peraturan Ojek Online Tak Mau Warga BentrokJasa transportasi kendaraan roda dua berbasis aplikasi online hadir di Solo sejak Mei 2016. Kehadiran transportasi umum yang akrab dikenal sebagai Go-jek ini di Solo, menyusul keberadaannya di Malang, Jawa Timur dan Samarinda, Kalimantan Timur.
Awal peluncurannya, pengÂguna hanya bisa mengakses tiga layanan, yaitu Go-Ride (layanan transportasi roda dua), Go-Send (layanan kurir atau pengiriman barang), dan Go-Shop (layanan belanja).
CEO Gojek, Nadiem Makarim mengatakan, tiga layanan itu selain memudahkan konsumen, diharapkan juga bisa membantu driver alias mitra Gojek mendapat penghasilan lebih tinggi, namun dengan waktu yang eksibel.
Menurut Nadiem, salah satu misi Gojek adalah memberikan solusi berbasis teknologi untuk membantu kehidupan sehari-hari masyarakat di seluruh Indonesia.
"Kami ingin masyarakat di Malang, Solo, dan Samarinda juga dapat merasakan kemudaÂhan dan kenyamanan layanan kami," ucapnya.
Tak pelak, kemunculan moda transportasi berbasis online itu, menimbulkan gesekan dengan ojek pangkalan, taksi konvenÂsional dan tukang becak yang telah lebih dulu ada.
Puncaknya, terjadi bentrokan antara sopir taksi dengan ojek online tanggal 15 Maret 2017 di Jalan Jenderal Sudirman. Saat itu, puluhan sopir taksi yang membawa pentungan, melakuÂkan pengusiran terhadap sejumÂlah pengemudi ojek online yang berada di Stasiun Purwosari.
Pengemudi ojek online lari tunggang langgang karena sopir taksi membawa pentungan. Namun, malang bagi salah satu penÂgojek online, karena tak sempat menyalakan mesin motornya, dia memilih meninggalkan kendaraannya itu. Akhirnya motornya dirusak pengemudi taksi.
Selang satu jam kemudian, giliran Ariel, seorang sopir taksi yang sedang beroperasi melewati jalan Selamet Riyadi di kawasan Stasiun Purwosari, mendapat serangan lemparan batu dari pengemudi ojek online.
Akhirnya, bentrokan terjadi di Jalan Jenderal Sudirman, tepat di depan Balai Kota Solo. Bermula saat seratusan sopir taksi, pengeÂmudi ojek pangkalan dan tukang becak sedang melakukan aksi unjuk rasa menolak keberadaan ojek daring di halaman depan Balai Kota Solo.
Massa yang telah terkoordinaÂsi dan masuk ke halaman depan Balai Kota Solo, buyar berlarÂian ke Jalan Jendral Sudirman saat melihat konvoi pengemudi ojek online. Bentrok pun terÂjadi. Seorang pengemudi ojek online yang tertinggal konvoi, menjadi bulan-bulanan sopir taksi. Pengemudi ojek online itu berkali-kali mendapat bogem mentah dari sopir taksi.
Melihat rekannya dipukuli, puÂluhan pengemudi ojek daring lainÂnya berusaha membantu. Namun, polisi yang berpatroli berhasil menghalau keributan. Bentrok tersebut menyebabkan kemacetan di Jalan Jendral Sudirman, depan Balai Kota Solo. Tidak lama kemudian, bentrokan berhasil direda dan tidak sampai meluas.
Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo menyatakan, tidak menolak ojek online beropÂerasi di Solo. Dia menegaskan, Pemkot hanya perlu melakukan tindakan dengan membuat peraÂturan untuk membatasi operaÂsional ojek online di Solo.
"Kami sedang mengkaji untuk membuat peraturan operasional ojek online," ujar lelaki berpangÂgilan Rudy ini.
Rudy belum bisa memastiÂkan, apakah peraturan tersebut bakal diwujudkan dalam bentuk Peraturan Wali Kota (Perwali), Surat Keputusan (SK), atau Surat Edaran (SE). Dia hanya menyebut akan mengumpulkan acuan hukum terlebih dahulu sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan.
"Kalau dari Permen Perhubungan ada guidance-nya, kami tidak akan kesulitan buat peraÂturan di daerah," tuturnya.
Kendati demikian, tambah Rudy, sebetulnya Pemkot Solo telah lama menolak kehadiran ojek online. "Solo yang hanya 44 kilometer persegi, tidak butuh ojek online," tegas kader PDI Perjuangan ini.
Terlebih, menurutnya, keÂberadaan ojek online menyÂalahi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Jadi, jangan ambil penumpangdi Solo. Kalau mau, jadi jasa antar makanan saja," usul pria yang pernah jadi Wakil Walikota Solo saat Jokowi menjadi Walikota Solo ini.
Rudy juga meminta pemerintah pusat merevisi peraturan mengenai ojek online. "Saya khawatir konflik horizontal kemÂbali terjadi jika pemerintah pusat tidak segera mengambil langkah tegas," tuturnya. ***
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.