Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Bekas Gedung Kedubes Inggris Dijaga 24 Jam

Meski Sudah 3 Tahun Kosong

Jumat, 30 Desember 2016, 10:07 WIB
Bekas Gedung Kedubes Inggris Dijaga 24 Jam
Foto/Net
rmol news logo Hari sudah sore. Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Sepeda motor tiba-tiba berhenti di depan pintu gerbang Kedubes Inggris. Mendengar suara motor, seorang petugas keamanan yang berjaga di balik gerbang lantas membuka lobang kecil dengan perlahan.

Karena yang berhenti salah seorang rekannya, akhirnya, pintu gerbang selebar tiga meter itu dibuka pelan-pelan. Usai motor masuk, pintu warna hitam itu buru-buru ditutup.

"Gedung sudah kosong sejak dua tahun lalu. Hanya petugas keamanan yang setiap hari ber­jaga di sini," ujar Fahru, salah satu petugas keamanan, kepada Rakyat Merdeka di bekas Gedung Kedubes Inggris, Rabu (21/12).

Karena sudah lama kosong, gedungseluas 4.185 meter persegi ini tidak terawat. Tembok setinggi tiga meter yang mengelilingi ge­dung juga terlihat kusam. Kawat berduri yang berada di atas tem­bok juga telah berkarat di makan usia. Cat tembok krem juga telah mengelupas di sana-sini.

Pepohonan tumbuh subur di halaman yang cukup luas itu. Karena tidak pernah dipotong, tumbuhan merambat hingga keluar tembok yang berbatasan dengan Bundaran Hotel Indonesia (HI).

Sedangkan pintu masuk be­rada di Jalan Prof Moh Yamin. Jalan tersebut menjadi satu-sat­unya akses menuju eks Kedubes Inggris. "Mulai Januari besok, jalan ini (Prof Yamin) akan diportal. Siapa pun tidak boleh masuk kecuali yang berkepentingan," ujar Fahru kembali.

Sore itu, jalan menuju bekas Kedubes Inggris sedang sepi. Pasalnya, tidak sembarang ken­daraan bisa melintas di jalan selebar enam meter itu. Apalagi, poltal dipasang sejajar menutupi jalan beraspal itu yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. "Hanya polisi dan wartawan yang boleh lewat sini," ujar Fahru.

Fahru mengatakan, seluruh staf Kedubes Inggris telah pindahke gedung baru di Patra Kuningan sejak 25 Juni 2013. "Sejak saat itu gedung dibiarkan kosong. Tapi Dubes Inggris masih sering ngontrol ke sini," sebut dia.

Kendati gedung telah lama kosong, kata Fahru, petugas keamanan tetap diminta untuk berjaga selama 24 jam. "Kami jaga berlima setiap shiftnya. Satu shift 12 jam," kata dia.

Pria yang mengenakan seragamputih ini tidak menge­tahui, kapan gedung itu akan dikosongkan karena belum ada perintah dari atasannya untuk pindah ke gedung baru yang be­rada di Patra Kuningan. "Padahal gedung yang baru dibangun lebih besar dari gedung ini. Dekat dengan Gedung Kedubes Australia," ujarnya.

Terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Gubenur DKI Jakarta Sumarsono menegaskan, status tanah bekas Kedubes Inggris adalah milik pemerintah pusat. Namun yang menjadi masalah saat ini, lanjutnya, bukan lagi soal status tanah tersebut, akan tetapi soal pembayaran sewa yang selama ini tidak pernah dibayarkan.

"Kemarin rapat di (Kementerian) Agraria. Tapi belum menyampaikan surat resmi. Memang baru dibahas kroscek data-data. BPN mengumpulkan orang-orang untuk pemeriksaan ulang (status tanah itu)," kata Sumarsono.

Sumarsono meminta kepada Kementerian Agraria untuk segera mengakhiri perjanjian pinjam-pakai dengan Kedubes Inggris. Sebab, bila tidak lagi digunakan, maka tanah tersebut harus dikembalikan kepada Pemerintah Pusat.

Dia menambahkan, ada indikasi sejak awal bahwa pihak Inggris sudah mengetahui po­sisinya hanya sebagai peminjam lahan tersebut. "Bahkan sempat menanyakan kami, harusnya membayar kok tidak ditarik, terus harus bayar ke mana," ucapnya.

Agar lahan tersebut bisa kem­bali ke pemerintah, Sumarno akan meminta bantuan kepada Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk melakukan diplo­masi terkait sewa lahan tersebut. "Apalagi tanah kedutaan kan sudah lama, 50 tahun lalu," tandasnya.

Bila nantinya lahan tersebut sudah tidak digunakan lagi, lanjut Sumarsono, Pemprov DKI Jakarta akan membangun ruang terbuka hijau (RTH).

Terkait keinginan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membeli lahan tersebut, Sumarsono menyatakan, Ahok ingin membeli lahan tersebut karena menerima informasi bahwa la­han eks Kedubes Inggris adalah milik Pemerintah Inggris. "Itu strategis untuk Pemprov miliki. Sayang kalau dijual kemudian dibeli orang lain," tandasnya.

Dia meyakini, bila Ahok mengetahui status lahan tersebut mi­lik Pemerintah Pusat, maka pasti akan melarang untuk melakukan pembelian. "Kejelasan dari BPN yang berbeda saja. Saya terima informasi ternyata memang milik pemerintah, sementara asum­si laporan yang masuk ke Pak Ahok statusnya sudah beralihke Inggris," ujarnya.

Sementara, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Djafar Muchlisin mengatakan, status lahan yang saat ini digunakan Kedubes Inggris bukan hak milik Kedubes Inggris, namun hanya hak pakai.

"Uang sewa yang dibebankan sebesar Rp 63.984 per tahun berdasarkan nilai jual objek pajak saat itu. Akan ada penin­jauan setiap 10 tahun sekali," urai Djafar.

Menurut Djafar, lahan tersebut dipinjamkan Pemerintah Pusat pada 1961. Mendapat pinjaman tanah, Kedubes Inggris wajib membayar sewa setiap tahunnya kepada pemerintah.

Dia menambahkan, jumlah uang sewa yang harus diba­yarkan itu tercantum di lembar ketiga sertifikat hak pakai yang dikeluarkan BPN.

Namun, sampai sekarang, pen­injauan harga sewa tidak pernah terjadi. "Pembayaran uang sewa tidak pernah dilakukan, dan tagi­han juga tidak pernah dilayang­kan," pungkasnya.

Latar Belakang
Pemprov DKI Anggarkan Beli Lahan Eks Kedubes Inggris Rp 470 Miliar

Polemik rencana pembelian lahan dan bangunan Kedutaan Besar (Kedubes) Inggris di ka­wasan Bundaran Hotel Indonesia (HI), bermula ketika Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok ingin menjadikan lahan seluas 4.185 itu sebagai ruang terbuka hijau (RTH), cagar budaya dan pusat pengawasan transportasi.

Rencana yang sudah dimulai sejak tahun 2013 ini, hampir terealisasi karena Pemprov DKI sudah menganggarkan pembe­lian lahan sebesar Rp 470 miliar dalam APBD DKI 2016.

Gubernur DKI Jakarta non-aktif Ahok menyatakan, bahwa Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Pemerintah Pusat sudah menyerahkan lahan bekas kantor Kedubes Inggris ke­pada Inggris. "Sebelum membeli lahan, kami sudah meminta rekomendasi BPN," ujar Ahok.

Rekomendasi BPN, lanjut Ahok, sudah ada sejak tahun 2015 dan menyebut lahan itu milik Inggris. BPN, lanjut dia, juga sudah menyuarakan boleh dibeli. "Malahan MoU pembelian itu dilakukan oleh Pak Jokowi, sudah jadi gubernur lho," tandasnya.

Bahkan, Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Jakarta Djafar mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi ingin membeli lahan eks Kedutaan Besar Inggris di Jakarta Pusat. Pembelian ini disepakati setelah Pemprov DKI Jakarta dan Kedutaan Besar Inggris menandatangani nota kesepahaman (MoU) pada 25 Agustus 2016 lalu. "Sudah, harga jualnya di posisi Rp 479 miliar," kata Djafar, September lalu.

Dana pembelian itu, lanjutnya, menggunakan anggaran Dinas Pertamanan dan Pemakaman pa­da APBD 2016. Setelah penan­datanganan MoU antara Djafar dan perwakilan Kedubes Inggris, akan dilakukan pelepasan hak pada 13 September 2016.

"Setelah penandatanganan itu, jeda waktu 10 hari. Setelah penandatanganan itu, mereka persiapkan berkas dan dicek notarisnya," tandasnya.

Namun, pembelian tersebut batal dilakukan karena ditolak DPRD DKI Jakarta. Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta Prabowo Soenirman mengata­kan, pembelian lahan Kedubes Inggris, terbilang mubazir.

Pasalnya, masih banyak lahan yang lebih murah dan sesuai peruntukan. "Lahan itu merupa­kan jalur perkantoran, atau zona merah, bukan zona hijau," ujar Prabowo.

Menurut Prabowo, dengan anggaran sebesar Rp 470 miliar, disayangkan jika membeli la­han di lokasi itu. Sebab, dengan anggaran sebesar itu, Pemprov bisa membeli lahan lebih luas di lokasi lain. "Dengan anggaran Rp 470 miliar untuk membeli la­han 4.000 meter persegi, artinya membeli tanah seharga Rp 100 juta per meter," tandasnya.

Tidak lama setelah adanya pe­nolakan dari DPRD, Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah mengungkapkan, lahan bekas Kedubes Inggris itu status la­hannya dimiliki Pemerintah Pusat. Informasi itu disampaikan berdasarkan temuan dari Badan Pertanahan Nasional.

"Jadi, menurut BPN, mereka (Kedubes Inggris) harus bayar sewa karena itu dulu tanahnya pemberian pemerintah," kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, Kamis (7/12).

Menurut Saefullah, pihak Pemprov DKI sudah sempat berdialog dengan pihak Kedubes Inggris. Dalam dialog yang juga diikuti pihak Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri itu, Saefullah menyebut pihak Kedubes mempertanya­kan tidak pernah ada penagihan uang sewa. "Mereka justru tanya harus bayar sewa ke siapa, kar­ena tidak ada tagihannya," cerita Saefullah.

Terpisah, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Pusat, Humaidi mengatakan, ser­tifikat lahan atas nama Kedubes Inggris dengan status hak pakai. "Hak pakai selama diperguna­kan atas nama Kedutaan Besar Inggris," ujar Humaidi.

Adapun sertifikat hak pakai itu, lanjutnya, telah diperoleh Kedubes Inggris pada 1960. Lahan tersebut diberikan pemer­intah kepada Kedubes Inggris.

Menurut Humaidi, hak pakai atas nama Kedubes Inggris berlaku selama dipergunakan. Apabila mereka mau melepaskanatau menjual, lanjutnya, harus ada rekomendasi dari dua kementerian. "Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang," urainya.

Menurut Humaidi, pihak Kedubes Inggris sudah mendap­atkan rekomendasi itu dari dua kementerian tersebut. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA