Seluruh jendela kantor yang berdiri di kawasan pemukiman elite ini ditutup tirai warna putih. Pintu masuk juga tertutup rapat. Di depan kantor terdapat papan yang cukup besar. Tulisannya, "Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia". Di sampingnya terdapat tulisan, "Ikatan Istri Dokter Indonesia".
Masuk lebih dalam, seorang petugas resepsionis sedang berÂjaga. Petugas yang mengenakan hijab ini sibuk menerima telepon yang masuk. "Maaf, seluruh penÂgurus IDI tidak ada di kantor, ada rapat dengan DPR," ucap Alin, petugas resepsionis ini.
Sementara, di ruang depan tersedia beberapa kursi untuktamu. Satu banner warna putih tidak terlalu besar berdiri tegak di ruang tamu. Tulisannya, "The National Emergency Symposius," yang dicetak tebal warna merah. Selain itu, tidak terlihat banner lain.
Alin enggan menjelaskan lebih jauh soal penolakan PB IDI mengenai eksekusi kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. "Sama pengurus saja, lebih enak," elaknya.
Di tempat berbeda, Wakil Ketua Umum IDI Daeng MFaqih menegaskan, pihaknya tetap menolak sebagai eksekutor hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. Pasalnya, tindakan tersebut bertentangan dengan etika kedokteran.
"Profesi kami adalah dokter yang melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan," ujar Daeng di Jakarta, kemarin.
Dengan penolakan IDI, Daeng menyarankan pemerintah biÂsa menunjuk eksekutor selain dokter. Daeng menambahkan, seluruh dokter di Indonesia pasti merupakan anggota IDI dan terikat dengan etika kedokteran yang melarang dokter menjadi eksekutor hukuman kebiri.
"Mari kita bicarakan bersama, apakah memang mau tetap menÂjalankan hukuman kebiri ini atau tidak," ucapnya.
Menurut Daeng, dokter memiÂliki aturan yang tidak memperÂbolehkan melakukan hal-hal yang menghukum, menyiksa atau menyakiti. Penolakan sebaÂgai eksekutor, kata Daeng, bukan berarti dokter menolak hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. "Kami tidak menolak atau menerima hukuman kebiri. Kami hanya tidak bisa sebagai eksekutor," tandasnya.
Untuk itu, dia mengusulkan agar pelayan pada fasilitas kesehatan yang bisa melakukan huÂkuman kebiri. Hukuman kebiri dengan cara kimia, kata dia, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Sederhananya, dengan cara diÂminum dan tinggal diawasi oleh dokter atau pihak lain.
"Kalau suntik juga tidak perlu keahlian khusus. Siapa saja bisa. Bisa dilatih," tandasnya.
Dengan demikian, Daeng meÂminta pemerintah untuk mengÂhormati sikap IDI ini. "Etika adalah hal krusial di profesi kedokteran. Jangan sampai ada alasan dokter untuk melanggar etika," harap dia.
Terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh menilai, hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual tidak termasuk pelanggaran kode etik kedokteran. Pasalnya, hukuman dilakukan atas dasar tindakan hukum, bukan tindakan medis.
"Ada putusan hakim di situ," tandas Asrorun.
Menurut Asrorun, hukuman kebiri yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perlindungan Anak, bisa membawa efek jera terhadap pelaku kejahaÂtan seksual.
Selain itu, kata dia, hukuman kebiri juga sebuah upaya yang baik untuk melindungi para korÂban yang kebanyakan anak-anak. "Pemberlakuan hukum kebiri bisa menekan perilaku kekerasan seksual," tandasnya.
Terkait penolakan IDI, dia menduga, ada kesalahpahamandalam memandang hukum kebiri. "Jangan lihat sebagai tindakan meÂdis. Kalau masuk tindakan medis, harusnya jangan mau juga dong autopsi mayat. Itu juga melanggar kode etik kan," tutupnya.
Senada, Wakil Ketua KPAI Putu Elvina menyebut, jumlahkasus kekerasan seksual terhadap anak menurun pasca diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Putu menyebut, pada 2014, total kasus sebanyak 5 ribu kasus, menurun menjadi 4.309 kasus pada 2015 setelah wacana tentang hukuman kebiri dihembuskan. "Pada 2016 hingga April 1.134 kasus yang masuk," sebut Putu di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Menurut Putu, Perppu ini harus betul-betul memberikan efek jera terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. "Hukuman kebiri juga sudah diberlakukan di negara-negara lain dan berhasil mengurangi tinÂdak kekerasan seksual terhadap anak," ucapnya.
Dia mencontohkan, negara yang mengimplementasikan keÂbiri kimia yaitu, Korea Selatan. "Berhasil memberikan efek jera," sebut dia.
Sebelumnya, Perppu Perlindungan Anak memuat pemberaÂtan dan penambahan hukuman, mulai dari pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, penjara seumur hidup, hukuman mati, kebiri kimia, pengungkapan identitas pelaku, sampai pemasangan alat deÂteksi elektronik atau chip kepada pelaku kejahatan seksual.
LATAR BELAKANG
Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, Pemerintah Keluarkan PerppuKekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2010, terjadi 2.046 kekerasan terhadap anak, 42 persennya merupakan kejahaÂtan seksual. Pada 2011 menjadi 2.467 kasus, 52 persennya kejaÂhatan seksual. Sementara pada 2012, ada 2.637 aduan yang 62 persennya kekerasan seksual.
Pada 2013, jumlahnya seÂmakin meningkat menjadi 2.676 kasus, di mana 54 persen diÂdominasi kejahatan seksual. Kemudian pada 2014 sebanyak 2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual.
Puncaknya pada 2015, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30 persen kekerasan seksual dan sisanya kekerasan lain.
Dengan terus meningkatnya kasus kejahatan terhadap anak, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Perppu tersebut, huÂkuman bagi pelaku diperberat menjadi hukuman mati, hukuÂman seumur hidup, maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara. Selain itu, hukuman juga ditambah dengan kebiri kimia, pengungkapan identitas pelaku, sampai pemasangan alat deteksi elektronik atau chip pada pelaku kejahatan seksual.
Kebiri adalah tindakan beÂdah dan atau menggunakan baÂhan kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan atauÂpun manusia.
Kendati belum menjadi unÂdang undang, Perppu tersebut telah ditolak kalangan dokter. Mereka menolak menjadi ekseÂkutor terhadap hukuman terseÂbut. Para dokter yang tergabung dalam Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) akhirnya mengusulkan hukuman pengganti kebiri, dengan meÂnambah jumlah hukuman kurunganpenjara.
Ketua Biro Hukum Ikatan Dokter Indonesia, dr MNNazar mengajukan, alternatif dari keÂbiri untuk pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Sebab, sesuai kode etik, profesi dokter merupakan insan penyembuh.
"Seandainya kami lakukan eksekusi dan side effect timbul, bukankah yang mem-follow up, melakukan rehabilitasi dan menyembuhkan dokter. Ini konÂtradiktif," kata Nazar di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Untuk itu, Nazar mengusulkan agar pelaku kekerasan seksual pada anak yang sudah dewasa, diberikan pemberatan hukuman berupa tambahan setengah atau sepertiga dari pidana maksiÂmal. Hukuman ini bisa diterapkan padapelaku berusia deÂwasa, yang memiliki hormonal menggebu.
"Pelaku bisa diberikan huÂkuman maksimal 20 tahun, ditambah pemberatan hukuman 10 tahun penjara lagi untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat," saran dia.
Hukuman ini, lanjut dia, tidak dilaksanakan setelah terpidana keluar, tetapi ini kelanjutan huÂkuman, agar menjadi efek jera dan efek aman.
Dia menambahkan, berdasarÂkan data yang dimiliki, 56 persen kekerasan seksual pada anak disebabkan karena faktor keÂlainan mental.
Nazar pun menilai akan lebih aman jika pelaku diisolir di dalam sel penjara. "Ditambah lagi kerja paksa dan atau kerja sosial," kata dia.
Namun, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Abdul Malik Haramain menilai, jika Perppu tentang hukum kebiri disahkan, akan berkedudukan lebih tinggi dibanding kode etik dokter. "Jadi dokter seharusnya mau menjadi eksekutor hukuman bagi pelaku pencabulan itu," harap Malik di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Politikus PKB itu menamÂbahkan, hukuman kebiri akan berbeda jika dokter enggan melakukan eksekusi. Terlebih sebagai profesi medis, dokter dianggap bisa memahami konÂdisi pelaku jika nantinya dikebiri kimia. "Beda jika eksekutornya bukan dokter, akan jadi celaka," ucapnya. ***