Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Maaf, Seluruh Pengurus IDI Tidak Ada Di Kantor

Soal Hukuman Kebiri Belum Ada Titik Temu

Selasa, 26 Juli 2016, 09:46 WIB
Maaf, Seluruh Pengurus IDI Tidak Ada Di Kantor
foto:net
rmol news logo Kemarin, Kantor PB IDI sepi. Tidak terlihat aktivitas mencolok di rumah megah yang berlokasi di Jalan Sam Ratulangi Nomor 29, Menteng, Jakarta Pusat ini.

Seluruh jendela kantor yang berdiri di kawasan pemukiman elite ini ditutup tirai warna putih. Pintu masuk juga tertutup rapat. Di depan kantor terdapat papan yang cukup besar. Tulisannya, "Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia". Di sampingnya terdapat tulisan, "Ikatan Istri Dokter Indonesia".

Masuk lebih dalam, seorang petugas resepsionis sedang ber­jaga. Petugas yang mengenakan hijab ini sibuk menerima telepon yang masuk. "Maaf, seluruh pen­gurus IDI tidak ada di kantor, ada rapat dengan DPR," ucap Alin, petugas resepsionis ini.

Sementara, di ruang depan tersedia beberapa kursi untuktamu. Satu banner warna putih tidak terlalu besar berdiri tegak di ruang tamu. Tulisannya, "The National Emergency Symposius," yang dicetak tebal warna merah. Selain itu, tidak terlihat banner lain.

Alin enggan menjelaskan lebih jauh soal penolakan PB IDI mengenai eksekusi kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. "Sama pengurus saja, lebih enak," elaknya.

Di tempat berbeda, Wakil Ketua Umum IDI Daeng MFaqih menegaskan, pihaknya tetap menolak sebagai eksekutor hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. Pasalnya, tindakan tersebut bertentangan dengan etika kedokteran.

"Profesi kami adalah dokter yang melakukan tindakan untuk memberikan pertolongan," ujar Daeng di Jakarta, kemarin.

Dengan penolakan IDI, Daeng menyarankan pemerintah bi­sa menunjuk eksekutor selain dokter. Daeng menambahkan, seluruh dokter di Indonesia pasti merupakan anggota IDI dan terikat dengan etika kedokteran yang melarang dokter menjadi eksekutor hukuman kebiri.

"Mari kita bicarakan bersama, apakah memang mau tetap men­jalankan hukuman kebiri ini atau tidak," ucapnya.

Menurut Daeng, dokter memi­liki aturan yang tidak memper­bolehkan melakukan hal-hal yang menghukum, menyiksa atau menyakiti. Penolakan seba­gai eksekutor, kata Daeng, bukan berarti dokter menolak hukuman kebiri terhadap pelaku kejahatan seksual. "Kami tidak menolak atau menerima hukuman kebiri. Kami hanya tidak bisa sebagai eksekutor," tandasnya.

Untuk itu, dia mengusulkan agar pelayan pada fasilitas kesehatan yang bisa melakukan hu­kuman kebiri. Hukuman kebiri dengan cara kimia, kata dia, bisa dilakukan dengan berbagai cara. Sederhananya, dengan cara di­minum dan tinggal diawasi oleh dokter atau pihak lain.

"Kalau suntik juga tidak perlu keahlian khusus. Siapa saja bisa. Bisa dilatih," tandasnya.

Dengan demikian, Daeng me­minta pemerintah untuk meng­hormati sikap IDI ini. "Etika adalah hal krusial di profesi kedokteran. Jangan sampai ada alasan dokter untuk melanggar etika," harap dia.

Terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Asrorun Ni’am Sholeh menilai, hukuman kebiri kepada pelaku kejahatan seksual tidak termasuk pelanggaran kode etik kedokteran. Pasalnya, hukuman dilakukan atas dasar tindakan hukum, bukan tindakan medis.

"Ada putusan hakim di situ," tandas Asrorun.

Menurut Asrorun, hukuman kebiri yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Perlindungan Anak, bisa membawa efek jera terhadap pelaku kejaha­tan seksual.

Selain itu, kata dia, hukuman kebiri juga sebuah upaya yang baik untuk melindungi para kor­ban yang kebanyakan anak-anak. "Pemberlakuan hukum kebiri bisa menekan perilaku kekerasan seksual," tandasnya.

Terkait penolakan IDI, dia menduga, ada kesalahpahamandalam memandang hukum kebiri. "Jangan lihat sebagai tindakan me­dis. Kalau masuk tindakan medis, harusnya jangan mau juga dong autopsi mayat. Itu juga melanggar kode etik kan," tutupnya.

Senada, Wakil Ketua KPAI Putu Elvina menyebut, jumlahkasus kekerasan seksual terhadap anak menurun pasca diberlakukannya Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Putu menyebut, pada 2014, total kasus sebanyak 5 ribu kasus, menurun menjadi 4.309 kasus pada 2015 setelah wacana tentang hukuman kebiri dihembuskan. "Pada 2016 hingga April 1.134 kasus yang masuk," sebut Putu di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Menurut Putu, Perppu ini harus betul-betul memberikan efek jera terhadap para pelaku kekerasan seksual terhadap anak. "Hukuman kebiri juga sudah diberlakukan di negara-negara lain dan berhasil mengurangi tin­dak kekerasan seksual terhadap anak," ucapnya.

Dia mencontohkan, negara yang mengimplementasikan ke­biri kimia yaitu, Korea Selatan. "Berhasil memberikan efek jera," sebut dia.

Sebelumnya, Perppu Perlindungan Anak memuat pembera­tan dan penambahan hukuman, mulai dari pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun, penjara seumur hidup, hukuman mati, kebiri kimia, pengungkapan identitas pelaku, sampai pemasangan alat de­teksi elektronik atau chip kepada pelaku kejahatan seksual.

LATAR BELAKANG
Kekerasan Terhadap Anak Meningkat, Pemerintah Keluarkan Perppu


Kekerasan terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) pada 2010, terjadi 2.046 kekerasan terhadap anak, 42 persennya merupakan kejaha­tan seksual. Pada 2011 menjadi 2.467 kasus, 52 persennya keja­hatan seksual. Sementara pada 2012, ada 2.637 aduan yang 62 persennya kekerasan seksual.

Pada 2013, jumlahnya se­makin meningkat menjadi 2.676 kasus, di mana 54 persen di­dominasi kejahatan seksual. Kemudian pada 2014 sebanyak 2.737 kasus dengan 52 persen kekerasan seksual.

Puncaknya pada 2015, terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30 persen kekerasan seksual dan sisanya kekerasan lain.

Dengan terus meningkatnya kasus kejahatan terhadap anak, akhirnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Dalam Perppu tersebut, hu­kuman bagi pelaku diperberat menjadi hukuman mati, huku­man seumur hidup, maksimal 20 tahun dan minimal 10 tahun penjara. Selain itu, hukuman juga ditambah dengan kebiri kimia, pengungkapan identitas pelaku, sampai pemasangan alat deteksi elektronik atau chip pada pelaku kejahatan seksual.

Kebiri adalah tindakan be­dah dan atau menggunakan ba­han kimia yang bertujuan untuk menghilangkan fungsi testis pada jantan atau fungsi ovarium pada betina. Pengebirian dapat dilakukan baik pada hewan atau­pun manusia.

Kendati belum menjadi un­dang undang, Perppu tersebut telah ditolak kalangan dokter. Mereka menolak menjadi ekse­kutor terhadap hukuman terse­but. Para dokter yang tergabung dalam Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) akhirnya mengusulkan hukuman pengganti kebiri, dengan me­nambah jumlah hukuman kurunganpenjara.

Ketua Biro Hukum Ikatan Dokter Indonesia, dr MNNazar mengajukan, alternatif dari ke­biri untuk pemberatan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Sebab, sesuai kode etik, profesi dokter merupakan insan penyembuh.

"Seandainya kami lakukan eksekusi dan side effect timbul, bukankah yang mem-follow up, melakukan rehabilitasi dan menyembuhkan dokter. Ini kon­tradiktif," kata Nazar di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Untuk itu, Nazar mengusulkan agar pelaku kekerasan seksual pada anak yang sudah dewasa, diberikan pemberatan hukuman berupa tambahan setengah atau sepertiga dari pidana maksi­mal. Hukuman ini bisa diterapkan padapelaku berusia de­wasa, yang memiliki hormonal menggebu.

"Pelaku bisa diberikan hu­kuman maksimal 20 tahun, ditambah pemberatan hukuman 10 tahun penjara lagi untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat," saran dia.

Hukuman ini, lanjut dia, tidak dilaksanakan setelah terpidana keluar, tetapi ini kelanjutan hu­kuman, agar menjadi efek jera dan efek aman.

Dia menambahkan, berdasar­kan data yang dimiliki, 56 persen kekerasan seksual pada anak disebabkan karena faktor ke­lainan mental.

Nazar pun menilai akan lebih aman jika pelaku diisolir di dalam sel penjara. "Ditambah lagi kerja paksa dan atau kerja sosial," kata dia.

Namun, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Abdul Malik Haramain menilai, jika Perppu tentang hukum kebiri disahkan, akan berkedudukan lebih tinggi dibanding kode etik dokter. "Jadi dokter seharusnya mau menjadi eksekutor hukuman bagi pelaku pencabulan itu," harap Malik di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.

Politikus PKB itu menam­bahkan, hukuman kebiri akan berbeda jika dokter enggan melakukan eksekusi. Terlebih sebagai profesi medis, dokter dianggap bisa memahami kon­disi pelaku jika nantinya dikebiri kimia. "Beda jika eksekutornya bukan dokter, akan jadi celaka," ucapnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA