Hampir seluruh bangunan di sekitar Museum Bahari dan Pasar Ikan itu sudah rata dengan tanah. Hanya bangunan kuno heksagon di depan Museum Bahari yang masih berdiri kokoh. Ini karena heksagon merupakan bangunan kuno yang akan difungsikan sepÂerti semula, yaitu sebagai tempat pelelangan ikan.
Lahan di depan museum yang sebelumnya dipenuhi kios, berubah menjadi lahan kosong. Tidak ada lagi kayu atau reruntuÂhan bangunan. Di kiri dan kanan lahan tersebut, terbentuk sebuah kolam hasil kerukan eskavator. Biasanya, ada empat ekskavator yang melakukan pengerukan hingga perataan tanah di Pasar Ikan. Tapi, eskavator itu sudah tidak terlihat lagi di kawasan ini.
Sementara itu, di kawasan Kampung Akuarium, selain masih banyak reruntuhan banguÂnan, terdapat enam tenda darurat dan belasan bangunan semi permanen. Enam tenda darurat tersebut berdiri tepat di tengah lahan yang telah digusur terseÂbut. Bendera partai dan sejumlah atribut LSM, masih berkibar di sekitar enam tenda itu.
Kemudian untuk gubuk atau bangunan semi permanen, disÂusun mengelilingi area lahan yang digusur. Kebanyakan gubuk itu berada di pinggiran area yang dulunya merupakan Kampung Akuarium. Gubuk itu berdiri ala kadarnya, bertiang bambu, berdinding papan, dan beratap terpal sisa gusuran. Ada yang berukuran 2 meter x 3 meter, dan 3 meter x 4 meter. Jumlah gubuk ini tampak lebih banyak jika dibandingkan dua bulan lalu.
"Memang lebih banyak. Soalnya banyak warga yang kembali ke sini dari rusun. Tenda tak muat lagi, jadi warga dirikan gubuk sebelum bulan puasa lalu," ujar Darmadiani, warga eks kampung akuarium pada Minggu (10/7).
Dia mengatakan, terdapat 292 warga eks kampung akuarium yang tinggal di wilayah tersebut saat ini. Kebanyakan, warga yang bertahan itu adalah yang bekerja di pelabuhan dan pabrik tak jauh dari sana. Mereka tidak mau pindah ke rumah susun (rusun) lantaran terpaksa keluar dari tempat kerjanya saat ini, atau minimal menambah pengeÂluaran untuk transportasi.
Selain itu, rusun yang ditawarÂkan pemerintah kepada warga, yakni rusun Marunda, Jakarta Utara, dan rusun Rawa Bebek, Jakarta Timur juga dianggap menambah beban ekonomi warÂga. "Rumah susun sama saja nyewa. Tinggal di rusun juga tidak gratis, setiap bulan harus bayar air, voucher listrik, sewa rumah. Apanya yang gratis," tandasnya.
Hidup di atas puing gusuran bukan keinginan Diani dan warÂga lainnya. Banyak kendala yang dihadapi selama beberapa bulan ini. Saat hujan datang, mereka bersiap mengalami kebocoran. Apalagi jika ada badai, atap gubuk terbang tertiup angin.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, papar Diani, kebutuhan makan sehari-hari merÂeka banyak yang masih menganÂdalkan sumbangan dari relawan. Untuk kebutuhan listrik, mereka mendapatkannya dari sumbangan warga Kampung Luar Batang. Hanya saja untuk air, warga harus membeli Rp 1.500 per derigen setiap harinya.
"Tiap hari kami beli air pakai gerobak, tapi itu juga bukan berarti kami tak keluar duit buat pangan. Kami masih butuh untuk beli beras dan kebutuhan lain karena kadang tidak mencukupi. Makanya yang punya duit, pilih buka warung," papar wanita berÂjilbab ini.
Selain digunakan untuk temÂpat tinggal, beberapa gubuk juga digunakan untuk berjualan. Aneka makanan dan minuman ringan, hingga makanan berat tersusun rapi pada meja dan ganÂtungan yang ada di depan gubuk mereka. Minuman ringan yang dijual kebanyakan masih dalam bentuk sachet.
Seorang warga Pasar Akuarium, Imran mengatakan, pendaÂpatan dari hasil warung nasi bisa digunakan untuk kebutuÂhan rumah tangga sehari-hari. Dalam sebulan, Imran menÂgantongi omset Rp 1 juta per bulan. "Lumayanlah penjualan di warung nasi," ujarnya.
Warung nasi Imran terbilang cukup kecil, ukurannya berkisar 3 x 4 meter, menu yang diseÂdiakan juga lebih sedikit dari warung makan pada umumnya. Warung itu didirikan Imran di atas tanah bekas rumahnya.
Imran yang sehari-hari bekerja sebagai ojek perahu ini mengaÂtakan, jika hanya mengandalkan uang dari hasil ojek, jelas tidak akan mencukupi kebutuhan keluarganya. Terlebih setelah Kampung Akuarium digusur, jumlah wisatawan yang meÂmakai jasanya menurun drastis. "Kalau sekarang, orang yang mau naik perahu kadang sebuÂlan satu orang, kadang juga tak ada. Serba sulit semuanya," curhatnya.
Kesulitan Imran juga karena tidak ada pasokan bahan pokok yang biasa didapatkan oleh warga eks kampung akuarium. Setelah penertiban, hampir setiap hari dia beserta warga lainnya mendapÂatkan sumbangan bahan pokok. Namun pada pertengahan Mei hingga akhir Juni lalu, bantuan sempat mandek. "Mulai banyak lagi ketika mendekati hari raya hingga sekarang. Alhamdulillah, keadaan jadi sedikit membaik," ucapnya.
Meski sudah membaik, bukan berarti Imran dan kawan-kawan bisa lega. Imran mengatakan, dari kabar yang beredar di masyarakat, Pemprov DKIberenÂcana kembali meratakan seluruh gubuk di Kampung Akuarium setelah Lebaran. "Memang masih kabar. Saya harap itu tidak beÂnar," harapnya.
Kalau jadi digusur, dirinya masih mengharapkan kompenÂsasi dari Pemprov DKI. Kompensasinya bisa berbentuk dana atau pengembalian rumah mereka. "Kalau rumah tidak bisa dibangun kembali, ya kami minta ganti rugi bangunan sesuai nilai jual objek pajak," tandasnya.
Menurut dia, ratusan warga RT 01, RT 11, dan RT 12 yang masih mendiami tenda dan bangunan darurat itu bertekad tetap bertahan. Dalam hal ini, warga berharap pemerintah mau memperhatikan hak warga yang telah bertahun-tahun tinggal di kampung akuarium, termasuk mengganti rugi bangunan dan harta benda mereka yang diluÂluhlantakkan alat berat.
"Kami kan tadinya punya bangunan, bukannya seperti binatang yang diusir, kemudian dilempar kandangnya langsung pergi. Bukan begitu caranya," tegasnya.
Hal senada disampaikan oleh Efendi Aspri, warga yang juga bertahan di lokasi penggusuran. Dia mendirikan gubuk seluas 5 x 5 meter di lahan bekas rumahÂnya yang dirobohkan buldoser. Gubuk itu berdinding papan dan spanduk bekas, serta beratap terpal. Lantainya keramik, penÂinggalan rumahnya. Di gubuk itu dia tinggal bersama lima anggota keluarga.
Efendi sebetulnya mendapat jatah Rusun Marunda. Namun setelah sebulan menempati rusun itu, dia kembali lagi ke Kampung Akuarium untuk bergabung bersama warga lain. "Rumah kok diganti rusun, kan tak wajar. Kalau rusun itu sewa, padahal kami punya rumah sendiri," ujar Efendi.
Sebagian warga yang bertahan di lokasi penggusuran telah mudik untuk merayakan Lebaran di kampung halaman. Efendi sendiri sudah pulang ke Serang, Banten sebelum Lebaran. Warga kompak pulang kampung secara bergiliran. "Sebagian warga pulang kampung, bergiliran, jaga-jaga karena takut dibongkar lagi," tuturnya.
Menurut Efendi, saudaranya di Serang, Banten telah meÂmintanya untuk kembali puÂlang dan meninggalkan Jakarta. Permintaan itu belum dia penuhi hingga haknya dipenuhi negara. Efendi memilih bertahan berÂsama ratusan warga Kampung Akuarium hingga haknya terÂpenuhi.
"Sama orang kampung disuruh pulang, tapi pulang bagaimana, di sini kami merasakan rakyat disÂengsarakan, rumah digusur, tidak dibayar," tandasnya.
Latar Belakang
Mau Dibuat Kawasan Wisata Maritim
Sore itu, tak tampak perahu neÂlayan melintas di kawasan Luar Batang. Hanya satu pekerja tamÂpak sibuk memperbaiki bagian luar perahu. Sisanya, tampak perahu-perahu kecil teronggok tanpa tuannya di dekat tanggul kawasan Luar Batang dan Pasar Ikan, Jakarta Utara.
Terletak di dekat Pelabuhan Sunda Kelapa, kawasan ini tampak tertutup puluhan kapal motor besar berbahan dasar kayu apabila dilihat dari sisi laut. Kapal-kapal besar tersebut berjejer memanjang di sekitar pelabuhan yang terletak di Teluk Jakarta ini.
Ada empat kawasan yang terkenal di sini, antara lain Kampung Luar Batang, Kampung Akuarium, Pasar Ikan, dan kaÂwasan Museum Bahari. Dari empat kawasan tersebut, hanya Kampung Luar Batang yang terÂpisah sendiri. Sementara itu, tiga kampung lainnya berada di sisi timur dan terpisah oleh muara selebar kurang lebih 10 meter.
Empat kawasan tersebut memiliki cerita dan daya tarik wisaÂta sendiri, misalnya kawasan Luar Batang yang memiliki daya tarik bagi para peziarah. Mereka tertarik untuk berziarah ke makam Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus, pendiri Masjid Keramat Luar Batang, yang berdiri di jantung kampung tersebut.
Makam Abubakar Alaydrus terletak di kawasan Masjid Luar Batang. Abubakar adalah ulama besar dari Yaman. Ia mulai menyiarkan agama Islam sejak tahun 1700-an di pesisir Batavia.
Kawasan Kampung Akuarium juga tak kalah unik. Menurut buku Kotapradja Djakarta-Raja: Tujuh Tahun Kotapradja, yang terbit pada 1952, dulunya kamÂpung itu adalah sebuah laboratoÂrium untuk meneliti alam bawah laut. Tempat ini didirikan pada 1922, hingga kemudian diopÂerasikan Kementerian Pertanian. Namun, tempat tersebut kini jauh dari fungsi sebenarnya. Tidak ada lagi aktivitas peneliÂtian di laboratorium itu.
Kawasan lainnya, yakni Pasar Ikan, dikenal dengan nama Vischmarkt dalam bahasa Belanda. Dilansir dari situs jaÂkarta.go.id, pasar ini pertama kali dibangun 1631 di sebelah timur Sungai Ciliwung, atau di atas panggung dengan atap. Pasar tersebut kemudian dipÂindah ke sebuah dermaga dan hingga sekarang ini. Namun, Pasar Ikan kini tak lagi menjual ikan sepenuhnya. Warung kelonÂtong memadati kawasan tersebut sebelum digusur.
Persis di pinggir Jalan Pasar Ikan, terdapat kawasan Museum Bahari. Tempat ini dulunya merÂupakan galangan kapal yang beÂralih fungsi menjadi museum.
Saat ini, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tengah menyusun rencana untuk menÂjadikan empat kawasan tersebut sebagai bagian dari wisata marÂitim internasional. Pembangunan tempat wisata tersebut pun harus "menelan korban". Sejumlah bangunan di empat kawasan tersebut digusur karena dianggap menyalahi aturan.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama sempat menÂgatakan, pihaknya akan menertÂibkan bangunan di Luar Batang yang menyalahi aturan, seperti bangunan yang berdiri di atas tanggul atau air laut.
Camat Penjaringan, Abdul Khalit mengatakan, penertÂiban hanya bertujuan mencegah air rob laut masuk dan memÂbanjir kawasan itu. Penertiban bukan untuk pencitraan Ibu Kota menjelang ASIAN Games 2018. "Pasar Ikan kalau tak di-sheet pile, airnya masuk tak bisa dipompa, tenggelam semua Jakarta," kata dia. ***