Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Perusahaan Travel Masih Cantumkan Tarif Dolar

Wajib Transaksi Pakai Rupiah Sejak 1 Juli

Senin, 27 Juli 2015, 11:24 WIB
Perusahaan Travel Masih Cantumkan Tarif Dolar
ilustrasi/net
rmol news logo Tri Astuti,  Assistant Manager Sales Haji dan Umrah Pan Travel menjaga  meja pendaftaran perjalanan haji khusus dan umroh. Di hadapannya tersedia berbagai brosur paket perjalanan ibadah yang ditawarkan perusahaannya.

"Silakan, mau umrah atau haji," ujar Tri menawarkan kepada Rakyat Merdeka yang datang ke kantor Pan Travel di Jalan Dr Saharjo Nomor 96A, Tebet, Jakarta Selatan.

Dengan semangat, Tri langsung menggambil salah satu dari lima jenis brosur yang tersedia di atas meja. Dia ambil yang berwarna emas. Brosur itu berisi tawaran paket "umrah reguler 2015" dengan lama perjalanan Jakarta-Madinah-Makkah 9 hari.

Paket perjalanan itu tersedia untuk Desember 2015. Begitu membuka brosur, ada tarif untuk tiga paket yang ditawarkan. Pertama paket gold dengan biaya maksimal 2.550 dolar AS  Paket silver 2.300, dolar dan paket bronze 2.050. Yang membedakan tarif ketiga paket adalah hotel yang dipilih untuk tempat menginap jamaah selama di Arab Saudi.

Dengan ramah, wanita berjilbab cokelat itu terus mempromosikan paket perjalanan umroh ini. Jari telunjuk Tri dengan lincah menunjuk daftar harga tertera pada brosur.

Pada daftar tarif di brosur apik itu ditempel stiker kecil bertuliskan peraturan Bank Indonesia (BI) No: 17/3/PBI/2015, tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Per 1 Juli 2015 transaksi harus menggunakan mata uang rupiah (IDR)," demikian kutipan Peraturan BI yang dicantumkan di stiker berukuran 4 cm itu.

Di paragraf terakhir di stiker itu diberitahukan bahwa pembayaran mata uang asing akan disesuaikan dengan kurs yang berlaku pada saat transaksi. Stiker itu terlihat agak miring. Seolah terburu-buru ketika menempelkannya.

"Ini (stiker) kita tempel karena perintah pemerintah. Saat ini seluruh transaksi harus menggunakan rupiah," ujar Tri yang telah bekerja di Pan Travel  belasan tahun itu.

Tri menjelaskan,  pihaknya mengikuti peraturan wajib transaksi memakai rupiah. Namun pihaknya belum membuat brosur baru yang mencantumkan tarif perjalanan umrah dalam mata uang rupiah. Ia menyebutkan brosur lama atau yang masih mencantumkan tarif dalam dolar AS masih banyak.

Untuk mematuhi ketentuan BI itu, pihaknya menyiasati brosur lama dengan menempelkan stiker yang memberitahukan aturan baru ini. "(Tarif perjalanan) yang pakai dolar masih banyak, sekarang nggak bisa lagi," katanya.

Tri menjelaskan, pengguna jasa travel yang masih memegang dolar akan diminta menukarkan dulu valuta asing itu  sebelum melakukan pembayaran via transfer ke Bank Syariah Mandiri. Untuk tarifnya yang harus dibayarkan, pihaknya  menggunakan acuan nilai tukar tertinggi. Tujuannya, agar tidak merugi jika belakangan nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah.

Pada brosur itu tidak tercantum satu pun jumlah biaya yang harus dibayarkan calon jamaah dalam mata uang rupiah. Alasan Tri,  pihaknya kesulitan harus mencetak tarif dalam mata uang rupiah karena nilai tukarnya berubah-ubah setiap hari. "Nanti kita kasih tahu jumlahnya (dalam rupiah) ketika mau transfer pembayaran," katanya.

Aturan baru BI ini, kata Tri, membuat perusahaan travelnya harus memantau nilai tukar rupiah setiap hari. Sebab pembayaran dilakukan dalam mata uang rupiah. Sebaliknya pengeluaran untuk tiket jamaah maupun akomodasi di Arab Saudi masih menggunakan valuta asing.

Dia  menyontohkan hotel di Arab Saudi hanya mau menerima pembayaran dengan mata uang negaranya: riyal. "Dolar itu untuk sebenarnya dipakau untuk acuan saja, karena stabil," jelasnya.

Mulai 1 Juli lalu,  masyarakat yang ingin melakukan perjalanan ke luar negeri menggunakan jasa perusahaan  perjalanan alias travel agent wajib melakukan pembayaran dalam mata uang rupiah.

Kewajiban ini tak hanya berlaku untuk perjalanan dengan tujuan wisata tapi juga termasuk ibadah, baik haji maupub dan umrah. Hal ini merupakan dampak dari aturan BI tentang kewajiban menggunakan rupiah untuk setiap transaksi di dalam negeri. Mulai 1 Juli 2015, setiap kegiatan transaksi di dalam negeri baik secara tunai maupun non tunai diwajibkan pakai rupiah.‎

Perusahaan biro perjalanan wisata dan ibadah, Maktour juga masih mencantumkan tarif dalam mata uang dolar dalam brosur penawaran ibadah. Misalnya, paket haji Al Hidayah selama 15 hari dengan tarif  24.200 dolar, Al Fath plus 25 hari seharga 18.200 dolar, dan Al Iman Plus 24 hari seharga 19.200 dolar. Meski begitu, pembayaran biaya perjalanan itu sudah menggunakan rupiah.

"Ini brosur lama. Sudah pakai rupiah, tapi acuannya tetap dolar," ujar Novi,  resepsionis Wisma Maktour yang terletak du Jalan Otista Raya Nomor 80, Jakarta Timur.

Nantinya, kata Novi, pembayaran yang diterimanya dari calon jamaah dalam  mata uang rupiah. Jumlah tersebut, akan disesuaikan dengan kurs dolar terkini. Hingga saat ini, kata Novi, belum ada masyarakat yang komplain atas peraturan baru BI ini.

Untuk diketahui, aturan yang menyatakan wajib transaksi pakai rupiah  tertuang dalam Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015, tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi yang melanggar, BI akan mengenakan sanksi baik denda mau pun kurungan penjara.

Kewajiban tersebut juga tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015, tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di dalam ketentuan umum, kewajiban penggunaan rupiah menganut azas teritorial, yakni selama ada di wilayah NKRI wajib menggunakan rupiah. Transaksi dan pembayaran, wajib menggunakan mata uang nasional Indonesia.

Transaksi di Pelabuhan Juga Wajib Pakai Rupiah


Bank Indonesia (BI) menegaskan seluruh transaksi keuangan di tanah air wajib menggunakan rupiah. Termasuk, aktivitas keuangan di pelabuhan.

Gubernur BI, Agus Martowardojo mengakui selama ini transaksi tarif jasa di pelabuhan yang dilakukan Pelindo memang menggunakan dolar AS (USD). Namun sejak 1 Juli transaksi harus dilakukan menggunakan Rupiah. "Pelindo enggak dikasih (kelonggaran)," tandas Agus.

Agus berharap, sebagai perusahaan plat merah, seharusnya Pelindo mendukung peraturan pemerintah. Sebab transaksi yang dilakukan di Indonesia harus menggunakan rupiah agar nilai tukar bisa menguat.

"Itu transaksi yang seharusnya (menggunakan rupiah) karena dilakukan di dalam negeri, karena itu juga dilakukan di negara lain di dunia," tutupnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menepis anggapan Pelindo II menolak menggunakan rupiah dalam bertransaksi di pelabuhan. "Bukan menolak, tapi bagaimana menyesuaikan diri," ujar pria yang akrab disapa JK itu.

Menurutnya, Pelindo hanya akan menggunakan mata uang asing jika bertransaksi dengan rekanan dari luar negeri. "Bahwa kalau transaksi dari luar, bisa sih pakai dolar. Tapi memerlukan aturan yang lebih jelas," tuturnya.

Dia menekankan, seluruh transaksi yang dilakukan di dalam negeri, baik tunai maupun non-tunai, wajib menggunakan rupiah. Itu untuk meminimalisir penggunaan mata uang asing di dalam negeri.

"Tentu bagaimana caranya (transaksi dalam negeri pakai rupiah). Karena kalau dolar masuk beli barang juga devisa masuk. Bagaimana aturannya kita lebih perjelas," tuturnya.

Sementara, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung niat pemerintah mewajibkan penggunaan mata uang rupiah dalam setiap transaksi di pelabuhan. Alasannya, langkah ini dinilai dapat memperkuat keuangan dalam negeri.

"Sebenarnya Undang-undang Mata Uang kita memang sudah mewajibkan untuk menggunakan rupiah dalam seluruh transaksi di Indonesia. Jadi, kalau aturannya mau lebih dijabarkan lagi dalam PP (peraturan pemerintah) dan permen (peraturan menteri), itu malah bagus," kata Ketua Apindo, Anton Supit.

Sebelumnya, diketahui bahwa semua transaksi di pelabuhan bongkar muat Tanjung Priok masih menggunakan dolar AS. Menurut Anton, banyaknya perusahaan yang memilih mata uang asing ini sebagai alat tukar disebabkan beberapa alasan.

Yang pertama adalah, karena mereka memiliki utang yang juga dalam bentuk dolar, sehingga membutuhkan cadangan yang cukup untuk membayarnya. Kedua, karena nilai tukar rupiah yang cenderung fluktuatif terhadap dolar, sehingga mereka khawatir akan merugi ketika membayar utang dalam dolar.

"Kedua hal di atas menjadi alasan utama mengapa mereka lebih memilih dolar. Namun, apa pun risikonya, rupiah memang harus jadi alat tukar wajib di pelabuhan. Selain karena perintah UU, ini juga demi menjaga kedaulatan ekonomi di republik kita," ujar Anton lagi.

Begadang Tempeli Pemberitahuan Aturan Baru BI


Penerapan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 17/3/PBI/2015, tentang kewajiban penggunaan rupiah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ternyata cukup membuat pusing perusahaan travel.

PT Pan Travel misalnya. Penyedia jasa perjalanan haji khusus dan umrah ini harus melemburkan belasan karyawannya untuk memasang stiker pada ribuan brosur yang sudah dicetak sebelum peraturan BI  diterapkan per 1 Juli lalu.

Alhasil, para pegawai kerja hingga malam hari demi menempelkan stiker berisikan pesan bahwa seluruh transaksi travel wajib menggunakan mata uang rupiah. Di brosur tersebut, seluruh tarif perjalanan masih menggunakan mata uang dolar AS. "Saya juga ikut begadang," ujar Tri Astuti,  Assistant Manager Sales Haji dan Umrah Pan Travel.

Tri menjelaskan, penempelan stiker Peraturan BI di brosur bertujuan agar calon jamaah haji khusus dan umrah melakukan pembayaran menggunakan rupiah. Selain itu, ada peraturan tegas jika brosur tidak menyantumkan rupiah di dalam brosur. "Nanti kalau cetak lagi, baru kita cantumkan (rupiah) saat ini masih transisi," katanya.

Untuk diketahui, aturan yang menyatakan wajib transaksi pakai rupiah ini tertuang dalam Surat Edaran BI (SEBI) Nomor 17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015, tentang Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi yang melanggar, BI akan mengenakan sanksi baik denda mau pun kurungan penjara.

Mengacu kepada  UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang BI dan UU  Nomor 07 Tahun 2011 tentang Mata Uang, BI mengeluarkan peraturan yang mewajibkan pencantuman harga barang dan jasa (kuotasi) hanya dalam rupiah.

Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia, Eko Yulianto mengatakan, pihak-pihak yang melanggar kewajiban penggunaan rupiah akan dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur dalam UU Mata Uang. Sanksi tersebut berupa kurungan maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp 200 juta.

"Kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi tunai berlaku sejak Undang-undang Mata Uang disahkan," jelas Eko.

Untuk pelanggaran kewajiban penggunaan rupiah untuk transaksi non-tunai, Eko mengatakan BI hanya akan mengenakan sanksi administratif. "Dalam bentuk teguran tertulis, denda berupa kewajiban membayar (1 persen dari nilai transaksi dan/atau maksimal Rp 1 miliar), terakhir larangan untuk ikut dalam lalu lintas pembayaran," terangnya.

Eko menjelaskan, penggunaan valas yang cukup besar, akan memberikan tekanan pada nilai rupiah. Jumlah transaksi valas per bulan mencapai 6 miliar dolar AS. "Ini transaksi yang jelas-jelas dalam negeri bukan di luar negeri. Cukup signifikan terhadap rupiah dengan jumlah transaksi sebesar itu," kata Eko.

BI akan mengawasi penerapan aturan wajib transaksi rupiah ini. "BI  melakukan pengawasan terhadap kepatuhan setiap pihak dalam melaksanakan kewajiban penggunaan rupiah," jawab Eko.

Menurut Eko,  pencantuman kuotasi dengan valas, kurs yang digunakan cenderung menguntungkan salah satu pihak. Eko memberi contoh implementasi peraturan ini kepada jasa travel yang sering menggunakan valas dalam pencantuman harga.

"Nanti di jasa travel yang mencantumkan harga valas akan disidak juga, bisa dicabut izin usahanya," pungkasnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA