Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Badan Pengelola TIM Ngantor di Lantai 3 Gedung Bioskop XX

Melihat Aksi Penolakan Kebijakan Gubernur DKI

Jumat, 16 Januari 2015, 10:15 WIB
Badan Pengelola TIM Ngantor di Lantai 3 Gedung Bioskop XX
Taman Ismail Marzuki (TIM)
rmol news logo Tak ada negara atau bangsa menjadi sejarah tanpa kebudayaan menopangnya.” Kalimat itu ditulis di spanduk yang dibentangkan tepat di depan gerbang Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat. Tidak ada lagi seniman yang ramai berkumpul di pelataran tersebut.

Sedang colling down,” demikian diucapkan Sri Warso Wahono, seorang pelukis menjelaskan bahwa para seniman sedang istirahat untuk orasi kebudayaan lanjutan. Selama lima hari nonstop, puluhan seniman unjuk gigi di pelataran depan TIM.

Orasi kebudayaan, demikian tema besarnya. Tidak sembarang orasi, mereka mengangkat tema penolakan atas rencana Pemprov DKI Jakarta mengambil alih tata kelola TIM. Para seniman itu juga menolak Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 yang jadi dasar pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) pengelola Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) TIM.    

Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengungkapkan alasan terbitnya Pergub itu. Pihaknya berwenang membangun dan mengelola TIM, tetapi akan tetap melibatkan para seniman dalam pengembangannya.

Selama ini, tempat kesenian di pusat kota ini dikelola Badan Pengelola (BP) TIM. Badan itu berkantor di lantai tiga gedung panjang yang sebagian dipakai bioskop XX.  Nuansa kesenian kental terasa di pelataran gedung ini. Sejumlah anak terlihat latihan modern dance.

Sri Warso adalah salah satu anggota BP TIM. Pria kelahiran Solo, 17 Juni 1948 itu mengatakan para seniman menolak kawasan tersebut dikelola UPT Pemprov DKI Jakarta. Alasannya, kreativitas seniman akan mati pemerintah masuk dalam struktur pengelolaanya.

Selama ini, kata dia, TIM saat ini menggunakan sistem perdikan dalam pengelolaan aktivitas seni. Perdikan itu bebas merdeka sekalipun ada tata pemerintahan. Malahan, perdikan itu dilindungi raja, ini yang tidak disadari oleh pemerintah,” katanya.

Sri Warso mengkhawatirkan jika dikelola UPT maka tempat kesenian ini akan berorientasi bisnis. Sejak berdiri, TIM mampu memutar roda ekonominya tanpa mematikan aktivitas seni di dalamnya. Memang selama ini ada bantuan dana dari pemerintah yang besarnya Rp 5 miliar per tahun.

Namun, bebernya, dana semata-mata dipakai untuk menggelar kegiatan seni. Tapi juga membayar gaji 110 karyawan yang tiga di antaranya pegawai negeri sipil (PNS). Sri Warso mengatakan, kebutuhan dana TIM selama setahun mencapai Rp 17 miliar. Kita dapat model subsidi silang, itulah fungsi pemerintah (memberikan subsidi),” katanya.

Para seniman, kata Sri, dibuatkan klasifikasi pertunjukan. Tujuannya agar regenerasi seniman terus tumbuh. Ada yang mendapatkan subsidi penuh, ada separuh, dan ada juga yang biaya mandiri. Hingga saat ini, subsidi itu diatur BP TIM. Seniman biasanya pentas di Galeri Cipta, Graha Bakti Budaya, hingga teater kecil,” katanya.

Selama ini, kata Sri Warso, para seniman tidak dipersulit jika ingin melakukan pementasan di TIM. Jika ingin melakukan pameran lukis lukis di gedung Cipta 2, cukup mengajukan permohonan ke Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Nantinya, Dewan yang total memiliki 26 perwakilan seniman akan memutuskan seniman itu layak pentas atau tidak.

Sri Warso mengkhawatirkan kreatifitas seni akan mati jika TIM dibawah naungan UPT Pemprov DKI Jakarta. Pasalnya, jika ada UPT, pastinya posisi Dewan Kesenian berada di bawah UPT. Padahal, selama ini posisi dewan tersebut tepat di bawah Gubernur DKI Jakarta.

Posisi Dewan Kesenian, kata dia sangat kuat. Setiap putusan kegiatan seni dapat langsung diputuskan. Posisi pemerintah di dewan tersebut, adalah anggota ex officio  tanpa punya hak suara. Ia hanya mencatat putusan dewan dan melaporkannya kepada Gubernur DKI Jakarta. Disitu kita menjadi independen. Makanya saya tetap menolak UPT,” tegasnya.

Hingga petang menjelang, suasana TIM tampak tenang. Belum ada aktivitas seniman kembali melakukan orasi kebudayaan. Rencananya, orasi kebudayaan kembali dilakukan jika pemerintah tidak mencabut putusan penetapan UPT di TIM.

Sejak 9 Januari, seniman ibukota yang tergabung dalam Rumah Budaya Indonesia melakukan orasi budaya di pelataran TIM. Mereka menyerukan penolakan terhadap kebijakan Pemprov DKI Jakarta membentuk UPT untuk mengelola TIM.

Berbagai plang dan poster bertuliskan Menolak UPT: bertebaran di mana-mana. Ada juga poster bertuliskan "Seniman menolak penguasa arogan yang mengkerdilkan seni dan kebudayaan".

Menurut koordinator Rumah Budaya Indonesia Aidil Usman jika kebijakan ini didiamkan terus, akan berpengaruh terhadap aktivitas seniman.  "Di TIM sendiri terdapat banyak aset. Kalau UPT ini didiamkan bisa meningkatkan biaya retribusi gedung dan lain-lain. Aktivitas berkesenian juga bisa berhenti," ungkapnya.

Tak hanya Aidil, seniman lainnya yang tergabung dalam Rumah Budaya Indonesia adalah Abdullah Wong, Abdul Hadi WM, Dik Doang, Titarubi Tita, Lola Amaria, Leon Agusta, Nungki Kusumastuti, Cornelia Agatha, Frans Magnis-Suseno, Mathias Muchus, Meutia Hatta, Teater Syahid, Retno Maruti, Putu Wijaya, Ine Febrianty dan lain-lain.

Dalam orasi budaya Selasa malam, Ivanka bassis dari band Slank turut hadir. "Budaya adalah aset yang luar biasa bagi bangsa Indonesia. TIM harus dijaga dan dirawat. Semoga pemerintah menerima aspirasi kita malam ini," katanya.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat yang hadir di malam rembuk itu menjanjikan beberapa hal kepada para seniman. Termasuk meninjau kembali kebijakan mengenai Kepala UPT yang berada di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) dan bertugas mengelola TIM.

Kisruh dan aksi penolakan ini terjadi lantaranya terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ TIM. Dengan adanya Unit Pelaksana Teknis (UPT) di TIM akan tersedia anggaran rutin untuk pusat kesenian Jakarta itu. Selama, Pemprov DKI memang menyuntik dana ke TIM. Namun bentuknya hibah. Pola pemberian hibah ini hendak dihentikan.

UPT Ditolak, Usulkan Bentuk Badan Otorita

Perseteruan antara seniman Taman Ismail Marzuki (TIM) dengan Pemprov DKI mengenai pengelola pusat kesenian Jakarta itu belum mencapai titik temu. Para seniman, tetap menginginkan TIM dikelola secara independen lewat Badan Pengelola (BP) TIM dan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Sementara, Pemprov DKI juga belum bergeser dari keputusannya: TIM dikelola Unit Pelaksana Teknis (UPT). Pembentukan UPT ini mengacu kepada Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 yang diterbitkan pertengahan tahun lalu.

Alasannya perlu dibentuknya UPT agar pendanaan untuk TIM dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI bisa lebih stabil besaran dan periodisasinya. Sedangkan pendanaan lewat hibah yang selama ini berlangsung tidak bisa terus menerus dilakukan.

Sri Warso Wahono, salah satu anggota BP TIM menjelaskan, secara individu dia tetap menolak pembentukan UPT. Namun pihaknya siap berembuk dan mengusulkan pembentukan Badan Otorisasi Khusus Kesenian di Pemprov DKI Jakarta.

Badan tersebut, nantinya akan mengurusi soal aktivitas seni di ibukota, termasuk TIM. Dengan adanya badan otoritas tersebut, katanya, khusus soal pendanaan berkesenian di TIM, akan melalui tata cara berupa usulan pendanaan di DPRD DKI Jakarta. Ketemu anggaran, akan di-perda-kan melalui DPRD,” ujar Sri Warso.

Pemprov DKI dapat menaruh orang-orangnya untuk mengurusi pendanaan di TIM. Misalnya, dengan mengisi posisi bendahara, atau manajer administrasi. Sementara untuk kegiatan seni diserahkan perwakilan seniman di badan itu. Jangan PNS menentukan arah berkesenian,” tambahnya.

Untuk diketahui, selama ini TIM mendapatkan dana subsidi dari pemerintah sebesar Rp 5 miliar per tahun. Kebutuhan dana untuk mengelola TIM, mencapai Rp 17 miliar per tahunnya. Untuk menutupi kekurangan dana itu, seniman mengandalkan penjualan tiket pementasan maupun sewa gedung.

Sri mengakui dana dari pemerintah memang cukup membantu aktivitas di tempat kesenian ini. Namun dana itu cairnya dan baru dimulai pada bulan Juni itu. Ketiadaan dana bisa mengganggu pementasan yang digelar awal tahun. Biasanya, pementasan sebelum bulan Juni dilakukan dengan berutang. Ya subsidi itu kadang ditalangi seniman dulu, biasa hutang ke seniman lain,” katanya.

Sri Warso mengkhawatirkan pembentukan UPT di TIM bisa mempengaruhi aktivitas kesenian di tempat ini. Kata dia, tidak jarang pentas seni maupun pameran dilakukan dadakan setelah disetujui Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).  Takutnya, kalau dengan UPT harus proposal segala macam. Seni itu tidak selalu dijadwalkan harus bulan ini bulan itu,” pungkasnya.

TIM Mau Dapat Kucuran Dana Rp 100 Miliar

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta Purba Hutapea menyatakan, tujuan pembentukan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Taman Ismail Marzuki (TIM) untuk mengelola aset yang dikembangkan di situ. Pemerintah, sebut dia, akan menganggarkan dana sekitar Rp 100 miliar untuk perluasan dan perbaikan sarana dan prasarana di TIM.

"Jadi, (pembentukan UPT TIM) tujuannya untuk pengamanan aset dan anggaran karena Pemprov DKI telah menganggarkan ratusan miliar rupiah untuk TIM. Ini sesuai dengan tujuan Pergub itu," ujar Purba.

Menurut Purba, pembentukan UPT TIM tidak akan berdampak terhadap aktivitas seni yang dilakukan para seniman di tempat tersebut. Ia pun memastikan segala macam aktivitas seniman tidak akan terganggu dan akan berjalan seperti biasanya.

"Dalam Pergub, tidak ada maksud untuk mencampuri masalah seniman. Kami tidak akan mencampuri aktivitas seniman, apalagi mengerdilkan mereka," kata Purba.

Sekadar informasi, para seniman di TIM sepakat menolak Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ TIM yang akan mengambil alih pengelolaan TIM dari mereka.

Para seniman berpendapat, kehadiran UPT akan mengerdilkan kebebasan berkarya. Mereka menganggap keberadaan UPT secara otomatis akan memunculkan kekuasaan pemerintah di TIM. Dengan demikian, seniman tidak mendapat kebebasan untuk berkarya karena biasanya retribusi meningkat.

Iwan, salah satu seniman yang melakukan aksi penolakan UPT di TIM beberapa waktu lalu menyatakan kekhawatirannya jika UPT berpotensi mengerdilkan kebebasan berkarya para seniman. Nggak setuju. Biarlah TIM tetap menjadi TIM dan pemerintah tetap mengurus DKI Jakarta. TIM milik DKI tapi TIM juga milik Indonesia,” kata Iwan.

Iwan menambahkan, dengan adanya UPT otomatis kekuasaan dari dinas akan masuk ke TIM. Dengan demikian, seniman tidak mendapat kebebasan untuk berkarya karena biasanya retribusi meningkat.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh seniman lain, Amin. Menurut dia, kebijakan tersebut akan mengecilkan peran TIM. Selain itu, ia menilai pemerintah tidak terlalu memahami masalah kebudayaan.

Para seniman di TIM melakukan aksi penolakan terhadap kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berupa Peraturan Gubernur Nomor 109 Tahun 2014 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelola PKJ TIM. Penolakan tersebut dilakukan dengan pertunjukan musik, pembacaan puisi, dan pertunjukkan seni lainnya yang digelar di TIM.  ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA