Rusli menyeka keringat yang terus mengucur deras di keningnya. Debu yang mengotori telapak tangannya menempel di kening. Ia tak mempedulikan keningnya yang kotor. Dia kembali menyusuri pinggiran sungai Togorara bersama dua temannya.
Pria berperawakan kurus warga Desa Tubo, Ternate, Maluku UtaÂra ini sehari-hari mencari batu di suÂngai yang dipenuhi lava dingin bekas letusan Gunung Gamalama.
Sungai Togorara terbentuk dari aliran lava yang keluar dari kubuh Gunung Gamalama. Mei lalu, banjir lahar dingin menyebabkan 273 rumah rusak, 14 rumah hiÂlang, tiga jembatan rusak dan 15 orang meninggal dunia.
Material berat seperti batu-batuan memenuhi sungai ini. Bongkahan batu-batu besari ini menjadi mata pencarian Rusli dan kawan-kawan beberapa bulan terakhir.
Menggunakan palu besar, Rusli menghancurkan batu seukuran badan manusia. Dengan sekuat tenaga, palu dihantamkan ke batu besar itu. Bergantian deÂngan seorang temannya, Rusli memecah bongkahan itu.
Setelah 15 menit, bongkahan itu pecah menjadi beberapa baÂgian. Pecahan batu-batu itu lantas dikumpulkan ke karung bekas. Sebuah mobil bak terbuka sudah menanti untuk mengangkut batu-batu itu.
“Batu-batu ini mau dijual. Ada tempat yang siap menampung dan membeli batu-batu yang kami bawa ini. Lumayan hasilnya bisa untuk biaya hidup kami sehari-hari,†kata Rusli dengan nafas tersengal-sengal.
Menurut dia, banyak orang yang kini bekerja sebagai peÂngumÂpul batu. Ada yang bekerja berÂkeÂlomÂpok. Ada juga yang bekerja untuk pengepul batu. MeÂreka dibayar berdasarkan baÂnyaknya batu yang bisa diÂkumÂpulkan.
“Kalau kami bekerja secara kelompok. Kami mencari batu tiÂdak ada target. Kalau kami meÂrasa sudah cukup, akan langsung kami jual atau kami kumpulkan dulu di rumah,†jelasnya.
Selain mengumpulkan batu, warga juga menambang pasir yang memenuhi sungai Togorara. Pasir dari puncak Gunung GaÂmalama ini ikut terbawa banjir lahar dingin.
Berapa penghasilan dari meÂngumpulkan batu-batu ini? MeÂnurut Rusli, tak tahu persis berapa harga jual ke pengepul. Yang tahu temannya yang jadi sopir. “Kalau tiÂdak salah, terakhir kami jual bisa satu mobil sekitar Rp 300 riÂbuan,†beber bapak empat anak ini.
Pria yang rumahnya ikut hanÂcur saat banjir lahan dingin ini tak khawatir bencana itu kembali daÂtang saat dia sedang meÂngumÂpulkan batu. Alasannya, jarak antara sungai dengan jalan tak terlalu jauh.
“Bila tiba-tiba banjir lahar diÂngin datang, tidak terlalu jauh bagi kami untuk menyelamatkan diri. Kami hanya mencari yang di sekitar sini saja, bukan di sungai yang ada di puncak gunung sana,†ujarnya sambil menunjuk ke arah jalanan beraspal yang beÂrada persis di pinggiran sungai.
“Sebelumnya saya pernah jadi nelayan. Sebelum bencana, saya bekerja serabutan. Kini selagi ada kesempatan kenapa tidak disia-siakan,†katanya.
Dia juga pekerjaan meÂngumÂpulÂkan batu ini tidak melanggar peÂraturan. Alasannya, batu-batu yang diambil adalah hasil dari peristiwa alam yang terbawa saat banjir lahar dingin. “Ini toh punya alam, siapa saja berhak meÂngamÂbilÂnya,†katanya dengan mantap.
Namun, Kepala Balai Air KeÂmenterian Pekerjaan Umum MÂaÂluku Utara M Saleh Talib memÂbantah hal tersebut. Menurutnya, kegiatan yang dilakukan Rusli dan kawan-kawannya ilegal.
Pihaknya sudah berkali-kali meÂlarang warga untuk meÂnamÂbang pasir dan batu. Sosialisasi ke warga baik dengan bertemu langsung maupun dengan meÂmaÂsang spanduk mengenai larangan ini sudah dilakukan.
“Memang batu-batu itu terÂbÂaÂwa saat banjir lahar dingin terjadi. Tapi harus diingat, batu-batu yang berserakan itu memiliki manfaat sehingga tidak boleh diÂambil sembarangan,†ujarnya saat menerima kunjungan kerja Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Selasa lalu (3/10).
Batu-batu besar yang ada di seÂpanjang Sungai Togorara berÂfungÂsi menahan aliran derasnya aliran air ketika banjir lahar daÂtang. Keberadaan batu-batu terÂsebut, kata dia, bisa mengurangi keÂcepatan air yang datang.
“Bisa dibayangkan, bila tidak ada batu-batu penghalang seÂbeÂrapa kencang nanti aliran lahar dingin yang datang? Makanya kami sengaja tidak memberÂsihÂkannya, karena ada manfaatnya,†ujar Saleh.
Selain itu, pihaknya saat ini juga memanfaatkan batu-batu tersebut untuk melakukan norÂmaÂlisasi sungai paska bencana. Ada beberapa program rehabilitasi yang sedang dilakukan pihaknya untuk antisipasi terjadinya benÂcana susulan.
“Kami bangun tanggul setinggi lima meter di bantaran sungai guna mencegah terjadinya tanah longsor. Bila nanti terjadi banjir lagi, tanggul yang dibangun bisa mencegah lahar yang datang untuk tidak keluar ke arah jalan dan pemukiman warga,†ujarnya.
Menurut Saleh, berdasarkan peÂnelitian Badan Vulkanologi Maluku Utara masih ada sekitar 3 juta meter kubik lahar di punÂcak Gunung Gamalama. SeÂwaktu-waktu, bisa meluncur ke bawah melewati sungai-sungai yang selama ini menjadi aliran lahar dingin.
“Curah hujan tinggi saja bisa menÂjadi penyebab terjadinya banjir lahar, meskipun di puncak gunung sedang tidak terjadi letuÂsan dan gempa. Inilah yang kami khawatirkan saat ini, makanya teus mengebut pekerjaan ini,†tegasnya.
Bandara Sultan Babullah Rawan Tersapu Lahar
Saat banjir lahar dingin Mei lalu, warga Desa Tubo kehÂiÂlaÂngan tempat tinggal karena ruÂmahnya tersapu material dari puncak gunung Gamalama.
Setelah bencana, warga kemÂbali membangun rumahnya di seÂkitar daerah aliran sungai (DAS) Togorara. Tak sedikit yang membangun rumah di loÂkasi penampungan lahar dingin.
Pantauan Rakyat Merdeka, terlihat deretan rumah yang diÂbangun persis di bantaran sungai yang selama ini menjadi tempat aliran banjir lahar. Bahkan posisi rumah warga ini nyaris tidak memiliki jarak dengan pinggiran sungai.
“Itu yang juga kami sesalkan dengan sikap warga disini. PaÂdahal itu merupakan jalur benÂcana yang sangat meÂmÂbaÂhaÂyaÂkan masyarakat bila tetap tinggal di pinggiran sungai tersebut,†ujar Kepala Balai Air KeÂmenÂterian Pekerjaan Umum Maluku Utara M Saleh Talib.
Paska bencana pihaknya suÂdah membangun tanggul sand pocket (kantong lahar) di Desa Tubo, Ternate Utara, MaÂluku Utara. Tujuannya, bila terjadi banÂjir lahar dingin dalam voÂluÂme besar, kantong ini akan menÂjadi penampungan lahar.
Bila tidak dibendung, aliran lahar dingin dari puncak GuÂnung Gamalama bisa mengenai Bandara Sultan Babullah yang tidak jauh dari Sungai Togorara.
“Bila banjir lahar dengan voÂlume yang tinggi, sangat mungÂkin Bandara akan menjadi korÂban juga. Aliran air, bisa meÂnuÂtup Bandara yang posisinya meÂmang lebih rendah,†bebernya.
Karena itulah, pihaknya keÂmuÂdian membangun kantong-kantong untuk mengalihkan aliÂran lahar. “Kantong lahar ini bisa berperan untuk mengurangi voÂlume air yang mengalir seÂhingga tidak melebar dan menghantam apa pun seperti yang selama ini terjadi,†jelasnya.
Kantong lahar itu sendiri beÂrupa kumpulan dari batu-batu kali yang diikat dengan kawat dari besi menjadi tumpukan setinggi 5 meter. Kantong lahar itu dibentuk secara bertingkat seÂperti anak tangga. Posisinya berÂbatasan langsung dengan jalan raya serta pemukiman warga.
Sayangnya, setelah tanggul itu dibangun, kerusakan mulai terÂjadi. Beberapa tanggul seÂngaja diÂbongkar dan memÂbentuk seÂbuah celah untuk lalu lalang warga.
Di kawasan tanggul yang diÂjadikan kantong lahar ini masih berdiri beberapa rumah warga. Karena masih ada rumah di situ, diperlukan akses bagi warga untuk ke jalan raya.
“Ini yang kami khawatirkan. Kalau sampai tempat ini nanti menjadi kantong lahar, tentunya rumah yang ada di dalam sana akan tenggelam dan dipenuhi laÂhar yang ada,†tegas Soleh.
Matheus Stefi Pasimenjeku, anggota DPD asal Maluku Utara berjanji akan secepatnya berÂkoorÂdinasi dengan pemerintah daerah untuk mencari solusi masalah ini.
Bangun Tanggul, Butuh Rp 200 M
Kementerian Pekerjaan Umum Maluku Utara memÂbuÂtuhkan dana Rp 200 miliar untuk melaksanakan program antiÂsiÂpasi bencana banjir lahar dingin. Anggaran untuk itu sudah diajukan ke pusat.
Untuk apa saja? Kepala Balai Air Kementerian Pekerjaan Umum Maluku Utara M Saleh Talib mengatakan, ada beberapa rencana pembangunan fisik yang sifatnya mendesak dilaksanakan.
“Kami akan membangun peÂngendali aliran lahar berupa check dam/sabo dam dan ground sill di daerah aliran sungai,†jelasnya.
“Ada juga pembuatan alur sungai, pembuatan tangul peÂngarah, perkuatan tebing sungai, pembuatan jalan inspeksi serta perkuatan tanggul sand pocket (kantong lahar),†tambahnya.
Menurut Saleh, semua pemÂbaÂngunan itu sudah sesuai deÂngan kebutuhan pasca letusan Gunung Gamalama dan banjir lahar dingin. Apalagi, sampai saat ini, bencana masih meÂnganÂcam kawasan ini.
Menyikapi usulan tersebut, Anggota DPD asal Papua Ellion Numberi menilai tidak salah pihak PU mengusulkan proyek yang cukup besar di Maluku Utara. Apalagi bila tujuan untuk antisipasi bencana.
“Tapi, kita perlu melakukan kaÂjian dulu, apakah anggaran yang diusulkan sudah sesuai dengan proyek yang ada. Siapa tahu masih bisa diminimalisir dan juga dicari solusi yang lain,†ujarnya.
Hal senada disampaikan AngÂgota DPD asal Sulawesi Tengah, Malonda. Menurutnya, ancaman bencana ini tidak bisa dianggap remeh. Apalagi bencana yang terÂjadi sebelumnya cukup meÂnimbulkan kerugian, baik maÂteÂrial serta korban jiwa.
“Tentunya keselamatan warga harus menjadi prioritas utama, baik saat terjadi gempat atau pun antisipasi. Kami berharap, seÂmua pihak bisa melihat masalah ini secara bijak dan proÂporÂsioÂnal,†ujarnya. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.