Jarum jam menunjukkan pukul 14.40 saat kereta Sawunggalih melaju pelan memasuki Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat. Tuas rem ditarik, kereta yang berangkat dari Kutoarjo, Jawa Tengah ini pun berhenti di lajur empat.
Ratusan penumpang berhamÂburan keluar dari gerbong kelas eksekutif dan bisnis. Rata-rata meÂreka membawa tas besar samÂbil menjinjing kardus. Umumnya penumpang tak ingin berlama-lama di stasiun setelah turun dari kereta. Mereka langsung menuju pintu keluar yang terletak di sisi timur stasiun.
Di tengah keramaian ratusan peÂnumpang yang berebutan keÂluar terlihat sesosok pria muda yang nampak kebingungan. SoÂrotnya matanya tampak kosong. Jalannya gontai sambil mengÂgenÂdong tas di punggungnya.
Pria berkulit gelap yang meÂngenakan kemeja merah ini berÂjaÂlan lambat menuju pintu keÂluar. Sesampai di pelataran staÂsiun, ia menyandarkan tubuhnya di tiang untuk melepas lelah seÂteÂlah sehaÂrian di atas kereta. “NungÂgu sauÂdara yang akan jemput,†kata Junaidi.
Pria berumur 22 tahun ini meÂngaku datang ke Jakarta karena diajak sepupunya untuk mencari kerja “Katanya kerja di sini gajinya besar.â€
Karena tergiur iming-iming gaji besar itulah pria asal PurÂwoÂkerto, Jawa Tengah ini memÂbeÂranikan diri merantau ke ibu kota dengan modal seadanya.
“SeÂmenÂtara ini saya akan meÂnginap di rumah saudara di PonÂdok Labu, (Jakarta Selatan). Soalnya uang hanya cukup untuk makan dan minum selama beÂberapa hari,†aku Junaidi.
Sebelum berangkat ke Jakarta, sehari-hari ia bekerja sebagai buÂruh tani menggarap sawah teÂtangga. Upahnya berkisar Rp 20-30 ribu per hari.
Dengan jenjang pendidikan hanya sampai SMA, Junaidi tak ingin muluk-muluk mencari pekerjaan di kantoran. “Kerja apa saja boleh, yang penting halal. Jadi kuli-kuli bangunan pun tak apa,†katanya.
Ia tidak punya target tinggi. Yang penting upah yang diteÂriÂmanya lebih besar ketimbang yang diterimanya di kampung. “Kalau ada yang gaji Rp 50 ribu sehari, saya juga mau,†katanya.
Nyali Junaidi langsung ciut ketika disinggung soal operasi yustisi yang kerap digelar PeÂmeÂrintah DKI Jakarta kepada penÂdatang baru pasca Lebaran.
“KaÂlau ada operasi saya pasrah saja. Bila dipulangkan ya diteÂrima,†katanya. Namun ia berÂharap tak terjaring operasi itu. “Moga-moga nggak kena razia,†katanya.
Sama seperti Junaidi, Zuliana, warga Semarang Jawa Tengah ini juga mencoba mengadu nasib di Jakarta setelah Lebaran.
Ia merasa penghasilannya seÂbaÂgai penjahit baju di kampung haÂlamannya tak mencukupi. “Dalam sehari paling dapet Rp 20 ribu. Uang itu habis untuk makan dan minum. Tidak ada sepeÂserÂpun untuk ditabung,†katanya.
Setibanya di Jakarta ia akan tinggal sementara di rumah salah satu temannya di Kramat, Jakarta Pusat. Rencananya di ibu kota dia hendak membuka usaha penjÂaÂhitan. “Tempatnya sih sudah ada, tinggal diisi peralatannya. MuÂdah-mudahan dalam waktu dekat sudah bisa membelinya,†katanya.
Wanita yang mengenakan baju warna coklat ini berharap usaha penjahitannya bakal ramai seÂhingÂga dia bisa memiliki pengÂhasilan “Sebagian penghasilan buat ditabung,†kata wanita laÂjang berusia 30 tahun ini.
Zuliana tak khawatir bakal terjaring operasi yustisi. Begitu mendapat tempat tinggal, ia akan mengurus izin tinggal sementara ke kelurahan. Dengan berbekal surat keterangan izin tinggal seÂmentara ini, dia yakin tak terkena operasi yustisi.
Ia belum berpikir untuk tinggal tetap karena masih akan mencoba peruntungannya di Jakarta. “Bila dalam waktu setahun usahanya tetap sepi. Saya terpaksa kembali ke kampung lagi agar tidak terlalu banyak pengeluaran,†katanya.
Senin siang, suasana di Stasiun Pasar Senen sangat ramai. SeÂjumÂlah kereta dari Jawa Timur dan Jawa Tengah menawarkan meÂnuÂrunÂkan penumpang di sini. PenÂdatang baru bercampur dengan peÂmudik yang baru balik kamÂpung halaman setelah merayakan Lebaran.
Para pendatang baru ini mudah dikenali karena biasanya mereka bingung begitu menginjakkan kaki di ibu kota. Mereka pun keÂrap bertanya kepada petugas keÂamaÂnan mengenai arah tujuan.
Setiap tahun ibukota diramaiÂkan penduduk baru pasca mudik Lebaran. Persoalan muncul keÂtika mereka tak memiliki kÂeÂahÂlian memadai untuk mengadu naÂsib di ibu kota.
Dinas Kependudukan dan CaÂtatan Sipil DKI Jakarta memÂpreÂdiksi jumlah pendatang baru yang mengadu nasib di ibukota tahun ini menurun.
Tahun 2011, jumlah pendatang baru di Jakarta mencapai 51.875 orang. Tahun ini diperkirakan haÂnya 36.847 orang. Turun 22.368 orang atau 37,77 dari tahun seÂbelumnya.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin IskanÂdar meÂngaÂtakan, sebagaian besar pendatang baru di kota-kota besar tidak diÂbekali keterampilan dan keÂahlian yang cukup untuk menÂcari peÂkerÂjaan yang layak.
Akibatnya, urbanisasi dapat menimbulkan gejolak sosial dan ancaman pengangguran yang tinggi di perkotaan termasuk JaÂkarta, Bandung, Surabaya, MeÂdan, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Ia menjelaskan, problem rutin paska mudik adalah meÂningÂkatÂnya jumlah arus balik sekaligus pengikut baru dalam arti urbaÂniÂsasi. Pendatang baru tanpa keÂteÂrampilan nekat berangkat ke kota-kota besar di tanah air.
“Alhamdulillah dari tahun ke tahun sebetulnya menurun tapi kita khawatir kalau terus menerus terjadi. Urbanisasi akan meÂniÂmÂbulÂkan gejolak sosial dan anÂcaman pengangguran yang tinggi di perkotaan,†katanya.
Untuk mengantisipas hal terÂsebut, lanjut Muhaimin, peÂmeÂrintah telah menyiapkan tiga langkah untuk mengatasi masalah yang timbul akibat urbanisasi pascamudik lebaran.
Langkah pertama, pemerintah daerah dengan otonomi daerah harus meningkatkan perencanaan ketenagakerjaan.
Perencanaan tersebut bisa beÂruÂpa investasi penciptaan lapaÂngan alternatif pekerjaan seÂmenÂtara maupun pekerjaan tetap, pemÂbangunan infrastruktur meÂlalui padat karya, dan pemÂbaÂnguÂnan alternatif tingkat kemandirian.
Kementerian akan membantu peÂmerintah daerah untuk memÂbuat perencanaan keÂteÂnaÂgaÂkerÂjaan yang baik, terutama di daeÂrah-daerah yang menjadi kantong tenaga kerja musiman di kota besar.
Langkah selanjutnya, pemÂbeÂrian program alternatif. Program itu seperti kewirausahaan, peÂlaÂtihan teknologi serbaguna, produktivitas padat karya, serta keÂgiatan-kegiatan penciptaan dan pembangunan ekonomi kawasan.
Langkah lainnya, kota-kota beÂsÂar harus mulai memperketat diri untuk tidak memudahkan orang pengangguran menumpuk di kota-kota besar. Menurutnya, kini sudah saatnya pemerintah memÂperketat operasi yustisi dan meÂlakukan dorongan transmigrasi ke kota-kota besar lainnya.
Bawa Surat Pindah, Lapor Ke Ketua RT
Berbeda dengan tahun seÂbelumnya, sikap Pemerintah DKI Jakarta mengenai peÂnÂdaÂtang baru “melunak†tahun ini. Mereka diterima menetap di ibu kota tapi dengan syarat.
Gubernur Jakarta Fauzi Bowo mempersilakan para penÂdatang dari daerah untuk ke JaÂkarta. Namun mereka harus meÂmenuhi persyaratan kepenÂduÂduÂkan dan pencatatan sipil.
“Jakarta ini bukan kota terÂtuÂtup dan tidak mungkin dijaÂdiÂkan kota tertutup karena Jakarta adaÂlah ibu kota negara,†katanya.
Pria yang ingin menjadi guÂbernur Jakarta untuk periode kedua ini mengatakan, setiap daerah mempunyai ketentuan yang harus dihormati. KÂeÂtenÂtuan itu terus mereka sosiÂaÂliÂsaÂsiÂkan ke semua pemudik dan juga mereka yang bermaksud untuk bermigrasi ke Jakarta. “Bagi mereka yang memenuhi persyaratan tersebut kita welcome,†katanya.
Selain memenuhi persyaratan yang diatur Dinas KeÂpenÂduÂduÂkan dan Catatan Sipil itu, lanÂjutnya, ada peraturan daerah yang mengharuskan seseorang yang datang ke Jakarta melapor ke ketua RT dalam waktu satu kali 24 jam.
Fauzi berharap para penÂdaÂtang mengurus persyaratan adÂmiÂnistrasi dan memiliki keahÂlian ketika menginjakkan kaki di ibu kota. “Pendatang baru yang ingin mengadu nasib tanpa memiliki keahlian tentu bisa menjadi beban baru bagi JaÂkarta,†katanya.
Ia juga berpesan supaya para pendatang mempelajari dan meÂmatuhi peraturan kepenÂduÂduÂkan dan pencatatan sipil di JaÂkarta. Pendatang baru yang meÂmenuhi persyaratan tidak akan mendapat halangan untuk daÂtang ke Jakarta. Sebaliknya, apaÂbila tidak memenuhi perÂsyaÂratan tersebut akan dikenai sanksi kependudukan.
“Kami akan menggelar opeÂrasi yustisi kependudukan. PenÂdatang yang tidak meÂmeÂnuhi syarat administrasi akan dipuÂlangkan ke kampung halaman mereka,†katanya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Purba Hutapea mengatakan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 menyebutkan setiap pendatang yang telah tinggal di suatu wiÂlayah harus melapor ke aparat setempat dalam waktu 24 jam. “Nanti kami akan meminta keÂpada para ketua RT untuk menÂdata warga pendatang,†ujarnya.
Ia menambahkan, bila ada pendatang yang ingin menetap sementara di Jakarta, bisa memÂbuat surat keterangan tinggal sementara.
Surat tersebut berlakunya selama setahun dan dapat dibuat di seluruh kelurahan di Jakarta, dengan melengkapi dokumen pendukung di antaranya surat pindah, jaminan tempat tinggal dan kerja.
Sedangkan bagi pendatang yang ingin tinggal tetap, di antaÂranya harus memiliki surat pinÂdah dari asal daerah, akta keÂlaÂhiran, dan catatan kepolisian. “Pendatang juga harus sudah puÂnya tempat tinggal dan peÂkerÂjaan,†katanya.
Selain itu, untuk antisipasi serbuan pendatang yang datang ke Jakarta, pihaknya akan meÂneÂrapkan Perda Nomor 4 tahun 2004, tentang Pendaftaran PenÂduduk dan Catatan Sipil.
“WarÂga yang terjaring dan tidak memiliki identitas di JaÂkarta,dan akan diancam sanksi berupa hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp 5 juta,â€terangnya.
Pihaknya berharap para haÂkim nantinya dapat memberikan hukuman yang maksimal, baik untuk hukuman denda maupun hukuman kurungan kepada para pendatang tanpa izin, agar meÂnimbulkan efek jera bagi para pendatang yang tidak memiliki identitas. [Harian Rakyat Merdeka]
BERIKUTNYA >
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.