Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Berdiri Di Pinggir Rel, Bakal Kena Gusur Lagi

Memotret Sekolah Pemulung Dan Anak Jalanan

Minggu, 22 Juli 2012, 08:50 WIB
Berdiri Di Pinggir Rel, Bakal Kena Gusur Lagi
ilustrasi/ist
rmol news logo .Sekolah yang menampung anak pemulung dan anak jalanan bakal diratakan dengan tanah. Dianggap mencaplok lahan milik PT KAI.

Sri Rossyati memanggil dua anak laki-laki dan dua perempuan maju. Bocah-bocah yang lugu itu lalu berdiri di muka kelas. “Ayo anak-anak bernyanyi,” ujarnya.

Diiringi tepuk tangan, empat anak itu bernyanyi riang. Rossy mengajak anak-anak yang duduk di bangku ikut bernyanyi.

Kegiatan seperti ini biasa kita temui di kelas Taman Kanak-ka­nak (TK). Anak-anak itu memang murid TK Sekolah Darurat Kar­tini di Kampung Bandan, Ancol, Jakarta Utara.

Sesuai namanya, sekolah ini me­mang dibangun seadanya. Ba­ngunannya mirip bedeng. De­ngan setengah dinding dari tem­bok dan atap dari asbes.

Kelas yang satu dengan lainnya hanya dipisahkan tembok seting­gi pinggang. Suasana di dalam se­kolah riuh suara anak-anak. Suara Rossy nyaris tak terdengar ketika kereta melintas di rel yang hanya berjarak tiga meter dari sekolah.

“Inilah kegiatan yang saya la­kukan sehari-hari,” kata Rossy, guru sekaligus pendiri sekolah ini. Sekolah Darurat Kartini me­nampung anak-anak pemulung, anak jalanan dan kalangan tidak mampu lainnya.

Berdiri sejak 1990, sekolah ini membuka pendidikan anak usia dini (PAUD), TK, SD hingga SMA. Ada 596 siswa yang be­lajar di sini.

“Siswa PAUD hingga SMP masuk pagi hari. Sementara SMA masuk siang hari. Ini dilakukan karena kelas tidak muat,” kata Rossy yang mengenakan topi bun­dar dan pakaian hijau ini.

Selain Rossy dan saudara kem­barnya Sri Irianingsih, ada enam guru yang mengajar di sekolah ini. “Semua guru tidak dibayar,” kata Rossy.

Seorang guru mengajar be­be­rapa mata pelajaran. Rossy sen­diri mengajar Agama Islam, Ba­hasa Arab, Bahasa Indonesia, Ma­tematika, Ilmu Pengetahuan So­sial (IPS), Sains dan Pen­di­di­kan Karakter. Dua guru mengajar tingkat PAUD dan TK.

Siswa SD kelas 1 diajarkan mem­baca. Kelas 2 berhitung. Per­kalian baru diajarkan di kelas 3. Di kelas 4 siswa barulah di­ke­nal­kan dengan sejumlah mata pe­la­jaran. “Kita satukan saja. Kan pe­lajarannya itu-itu saja. Cuma di setiap kelas lebih mendalam pem­bahasannya,” kata Rossy.

Pola yang sama juga diterap­kan untuk siswa SMP dan SMA. “Masak iya belajar tiga tahun nggak lulus ujian. Kalau belajar sih pasti lulus,” ujarnya yakin.

Di luar pelajaran regular, siswa diajarkan sejumlah sopan santun. Misalnya table manner. Cara me­megang sendok garpu, gelas dan piring saat makan. Juga diajarkan cara melipat duduk, berbicara dan berinteraksi dengan orang lain.

Pelajaran tambahan itu, kata Rossy, untuk mengubah perilaku anak-anak jalan. Tujuannya agar mereka bisa berperilaku baik dan memiliki karakter.

Siswa di sekolah ini tak di­pungut bayaran. “Malahan me­re­ka dapat makan dan minum di­tam­bah susu dan bubur setiap harinya,” ujarnya

Semua makanan dan minuman dimasak sendiri orang dan siswa siswa yang sedang tidak ada pe­lajaran. Dana operasional sekolah ini berasal dari kocek Rossy, sau­dara kembarnya dan sumbangan dari keluarga.

Kata Rossy, empat anaknya yang sudah bekerja menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu sekolah ini. “Ada yang bekerja sebagai dokter kan­dungan, di perusahaan minyak asing hingga ada yang menjadi dosen,” katanya.

Satu-satunya bantuan dari pe­merintah yang diterima sekolah ini adalah mesin jahit. Bantuan itu dari Kementerian Sosial. Sis­wa bisa belajar menjahit sehingga bisa memperoleh penghasilan.

Rossy meyakini langkahnya mendirikan Sekolah Kartini yang memberikan pendidikan gratis kepada anak-anak dari ke­luarga miskin bisa turut men­do­rong munculnya generasi yang ber­kualitas.

Walaupun berasal dari keluarga miskin, anak-anak itu memiliki kepribadian, kepercayaan diri, kemampuan, dan keterampilan yang tak kalah dengan siswa yang belajar di sekolah yang lebih baik.

Kini berlangsungan pendidikan bagi anak-anak keluarga miskin ini terancam. Sekolah ini bakal digusur karena berdiri di area terlarang.

Kepala Humas Daops I PT Ke­reta Api Indonesia (KAI) Mateta Rizalulhaq mengatakan, lahan yang digunakan Sekolah Kartini adalah milik BUMN itu. Surat pemberitahuan penggusuran pun sudah dilayangkan 2 Juli lalu.

“Kalau tidak ada izin pasti di­bongkar. Tapi kalau ada izinnya mana mungkin dibongkar. Kita juga menghormati sehingga kita beri waktu tiga bulan untuk me­reka,” katanya. Sekolah Kartini di­berikan batas waktu hingga 9 Sep­tember 2012 untuk pindah.

Mateta menilai lingkungan tempat sekolah itu berdiri tak co­cok untuk pendidikan. Sebab berada di kawasan pergudangan. “Kami berikan waktu (untuk pindah). Jadi kami tidak aro­gan,” katanya.

Penggusuran ini, kata dia, un­tuk mendukung operasional PT KAI. “Ya nantinya mau meng­aktifkan kembali daerah itu atau akan dipergunakan untuk kereta api, apa saja.”

Mateta belum bisa memastikan kapan penggusuran dilakukan. Pihaknya juga tidak berkewa­ji­ban menyiapkan ganti rugi mau­pun relokasi sekolah yang digusur.

“Sesuai Pasal 34 Undang-un­dang Dasar 1945, anak-anak te­lantar diperlihara negara. Jadi re­lokasi itu kewajiban peme­rintah. Kalau ada upaya dari pe­merintah mungkin saja ada tem­pat relo­kasi. Itu kewajiban pe­me­rintah untuk mencerdaskan bangsa,” dalihnya.

Rossy menanggapi biasa ren­cana PT KAI menggusur Sekolah Darurat Kartini. Pasalnya, se­ko­lah yang didirikannya sudah lima kali digusur sebelum menempati lahan di pinggir rel Kampung Ban­dan. “Kalau digusur kami tinggal pindah. Yang penting anak-anak miskin bisa tetap sekolah.”

Bila penggurusan dilak­sa­na­kan, sekolah akan dipindahkan ke bawah kolong tol Jalan Lodan Raya. “Kebetulan orang tua mu­rid siap membantu memindahkan barang-barang sekolah,” kata Rossy.

Menurut dia, proses belajar tetap berjalan bila ada meja, bang­ku dan papan tulis. “Kalau su­dah ada itu proses belajar me­ngajar sudah bisa dilakukan, wa­laupun nggak ada gedung,” ka­ta­nya enteng.

Lulusannya Ada Yang Jadi Polisi Dan Tentara

Kenapa tidak pindah ke tem­pat yang lebih layak? “Kalau saya beli ruko dan belajar di ruko, anak-anak nggak akan boleh masuk ke ruko itu. Pa­kaian mereka kan seadanya, be­lum sampai (tempat belajar) su­dah diminta keluar oleh sa­t­pam,” kata Rossy.

Walaupun bangunan sekolah ini jauh dari layak, ia meng­klaim banyak anak didiknya yang berhasil menempuh pen­didikan sampai jenjang per­guruan tinggi.

“Siswa Sekolah Darurat Kar­tini yang sampai ke per­gu­ruan tinggi sekitar 25 persen, 70 per­sen bekerja, dan 5 persen kem­bali ke terminal,” ujar Rossy. Bah­kan, ungkap dia, ada yang diterima di kepolisian dan TNI.

Rossy sangat telaten mengu­rusi sekolah untuk kalangan papah ini. Setiap hari dia sudah tiba di sekolah ini saat matahari baru terbit. “Jam 6 pagi saya su­dah bersih-bersih sekolah, baru jam 5 sore pulang,” katanya. Se­telah selesai mengajar, ia pulang ke rumahnya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Hari Minggu yang meru­pa­kan hari libur sekolah di­man­faatkan Rossy untuk membeli keperluan anak-anak didiknya. Se­kolah Darurat Kartini me­nem­pati bangunan berukuran 40x10 meter. Letaknya di te­ngah-tengah kawasan per­gu­dangan Kampung Bandan.

Melihat dari bentuknya, ba­ngu­nan sekolah ini sepintas mi­rip gudang. Berbeda dengan gu­dang-gudang di situ yang ber­dinding suram, bangunan se­ko­lah ini dicat dengan warna ngej­reng: merah muda dan hijau cerah.

Di samping kiri sekolah di­ba­ngun bedeng kecil untuk me­ma­sak makanan. Bahan bakarnya menggunakan kayu. Beberapa siswa SD terlihat sedang me­masak. Masuk ke dalam seko­lah, terlihat meja dan bangku di­tata berbaris. Tempat ini di­pe­nuhi anak-anak didik tingkat PAUD dan TK.

Sekat-sekat antar kelas hanya berupa tembok setinggi satu me­ter. Ruang yang lebih besar digunakan untuk tempat belajar siswa SD hingga SMA.

Di ujung ruangan ditem­pat­kan beberapa lemari besi untuk menyimpan peralatan sekolah. Dua kamar mandi disediakan di bagian belakang kelas.

Dipindah Ke Sekolah Negeri, Murid Hanya Bertahan Sebulan

Pendidikan gratis sudah di­terapkan di Jakarta walaupun baru sampai level SMP. Tapi anak didik Rossy dari kalangan tidak mampu dan anak jalanan tetap memilih belajar di Sekolah Darurat Kartini. Kenapa?

Rossy menceritakan pada 2006 lalu sekolahnya digusur. Ba­ngunan sekolah rata dengan tanah. Karena tidak ada tempat belajar, ia memindahkan ratusan anak didiknya ke sekolah negeri.

Tidak sampai sebulan, anak-anak didiknya kembali men­ca­rinya. Mereka meminta belajar lagi di Sekolah Kartini . “Kare­na tidak ada pilihan lain akhir­nya saya membangun kembali sekolah dan menampung me­re­ka kembali,” tutur Rossy.

Dengan kejadian ini, ia meni­lai murid-muridnya lebih nya­man bersekolah di tempat ini di­b­anding sekolah negeri walau­pun sama-sama tak dikenakan biaya.

Walaupun sekolah negeri gra­tis, kata Rossy, orang tua mu­rid masih dikenakan sejum­lah biaya. “Kalau untuk kete­ram­­pi­lan me­reka bayar sendiri. Di­su­ruh me­nari, ya bayar lagi Rp 50 ribu. Ya, nggak mampu. Ak­hir­nya ke­luar dan putus se­kolah,” katanya.

Tidak hanya itu, orang tu juga perlu mengeluarkan uang untuk membeli Lembar Kerja Siswa (LKS). “Mana mungkin anak pe­mulung bisa bayar LKS yang bisa mencapai ratusan ribu ru­piah,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA